Hari itu kira-kira pukul 10.00 pagi kami bertemu di Terminal Bungurasih. Trip akhir minggu yang kami rencanakan sejak sebulan yang lalu akhirnya terlaksana juga. Sudah sebulan aku tidak bertemu dengannya. Dan hari ini aku kembali menatap wajahnya yang kuyu, mungkin karena perjalanan jauh dari Jakarta. Aku kembali merasakan tetes-tetes air hujan yang segar setelah sekian lama diterpa kemarau tak berkesudahan. Kami tiba di Probolinggo setelah sekitar tiga jam terguncang-guncang dalam bus ekonomi bertarif Rp 14.000,00 yang penuh sesak mulai dari penumpang, penjaja makanan, hingga pengamen yang bahkan membuatku semakin merasa berisik.
Dari terminal Probolinggo kami naik angkutan wana hijau jurusan Cemoro Lawang. Angkutan ini sudah penuh sesak dengan berbagai jenis manusia. Ada bapak-bapak necis berkacamata hitam yang nampak seram dengan kumis tebal, ada sepasang kekasih yang hendak mencumbu Bromo atau sekedar mencari tempat dingin, ada ibu-ibu yang membawa sayur belanjaannya, dan masih banyak lagi jenis manusia yang menarik untuk diamati. Sayangnya saat itu aku harus duduk di bagian depan karena penuhnya penumpang. Mil demi mil jalan kami lalui. Melintasi jalan beraspal mulus yang berkelak-kelok di antara bukit hijau nan kokoh dan jurang-jurang dalam. Kabut putih tebal begitu mempesona menyebar di sela-sela pepohonan. Namun keindahan itu seolah ternoda oleh sekian pasang kekasih yang bercumbu tanpa malu-malu di pinggir jalan dan tanpa malu-malu pula berpelukan atau berciuman.
Dua jam kemudian aku sudah berada di kamar hotel Cemara Indah bertarif Rp 75.000,00. Harga ini untuk kamar ekonomi karena memang hanya kamar itu yang tersisa. Sore yang dingin di kawasan Bromo begitu aku nikmati. Sudah lama aku tidak merasakan belaian kabut yang mendinginkan kalbu. Terakhir aku bercumbu dengan kabut sebulan lalu ketika aku mendaki Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Sore hingga malam aktivitasku hanya makan dan jalan-jalan.
Malam harinya hujan kembali turun dengan deras. Muncul perasaan was-was akankah esok hari kudapati fajar sempurna dari Penanjakan. Aku takut kabut enggan membagi keindahan fajar ufuk timur yang merekah kepadaku. Semoga saja tidak. Aku berharap Bromo menerima kehadiranku dengan ramah....
Pukul 03.30 pagi sopir jeep mengetuk pintu kamarku, pertanda sebentar lagi jeep yang akan kami tumpangi akan segera berangkat. Setelah mencuci muka sekenanya aku menuju jeep dan tak berapa lama kemudian aku sudah berada di dalamnya dan meluncur melewati lautan pasir Bromo menuju Penanjakan. Pagi itu seperti biasanya, Penanjakan penuh dengan manusia.
Riuh suara mereka memekakkan telingaku. Entah mengapa aku kurang begitu menyukai keramaian. Betapapun indah pemandangan dari tempat itu kurasa tak seindah dan senyaman menanti fajar di puncak gunung sepeti yang kulakukan selama ini. Tepat pukul 05.20 sunrise yang dinanti banyak orang muncul. Senyum hadir di wajah-wajah yang didera dingin. Di ufuk timur... cahaya merekah indah, di ufuk timur... pegunungan Argopuro hadir, di ufuk timur... awan-awan membagi keindahan mentari untukku. Di sisi selatan Gunung Bromo, bathok, dan Semeru berselimut gumpalan kabut putih nampak cantik dan anggun. Semeru, kenangan akan Soe Hok Gie.... Bromo dengan kawahnya yang, dan Bathok yang ingin kudaki hingga puncaknya.
Bromo pun menjadi sasaran kami berikutnya. Meniti anak tangga sampai di bibir kawahnya. Dan kaldera yang menganga dalam menyambut kami bersamaan dengan menyemburnya asap tebal dari dasar kawah. Gunung Batok berdiri kokoh memanggil-manggil namaku. Aku tahu ia merindukanku tuk menjejakkan kaki di tanah tertingginya. Sabar ya sayang... musim hujan nih :D
Siang harinya aku kembali tergoyang-goyang dalam angkutan menuju Probolinggo. rencananya aku langsung pulang ke Sidoarjo, tapi akhirnya aku menginap sehari di Probolinggo di rumah Mbak Devim.
http://alam204.multiply.com