04 Januari 2010

Pendaki Nekat, Pendaki Egois

Salah satu hobi saya selain makan dan tidur adalah mendaki gunung. Kegiatan ini sudah saya lakoni sejak empat tahun lalu saat kelas I SMA dan tergabung dalam organisasi pecinta alam. Pokoknya sejak saat itu saya suka sekali mendaki, ikut-ikutan milist, tambah-tambah teman mendaki, baca-baca catatan perjalanan orang baik di buku maupun blog. Semua itu saya maksudkan untuk menambah wawasan saya mengenai dunia yang saya cintai ini.

Dari banyak membaca, mendengar, dan melihat itu memang banyak ilmu yang saya dapatkan. Namun ternyata tidak sedikit juga kejanggalan-kejanggalan yang saya temukan, yaitu tentang keegoisan. Padahal sejatinya para pendaki akrab dengan kata membuang jauh-jauh keegoisan dari dalam diri. Namun, masih banyak juga pendaki egois yang tidak merasa bahwa dirinya egois. Salah satu bentuk ketidaksadaran itu bisa berupa kenekatan tanpa persiapan yang matang saat mendaki.

Salah satu contoh adalah alm.Hanafi yang tanggal 17 Desember kemarin meninggal di Semeru saat mengikuti acara napak tilas So Hok Gie. Menurut berbagai cerita yang saya dengar di sana, ada yang menyebutkan bahwa Hanafi meninggal karena hipoxia dan hipotermia, ada juga yang bilang karena kondisi fisik yang tidak bagus tapi tetap memaksakan diri dan tidak memberitahukan kepada orang lain termasuk panitia. Menurut saya mungkin saja Hanafi berpikir kalau ia mengadu sakit dia tidak akan bisa sampai ke puncak, mungkin juga dia berpikir tidak ingin merepotkan orang lain, dsb yang hanya diketahui sendiri olehnya. Sadar atau tidak ini adalah bentuk keegoisan pada diri sendiri dengan mengabaikan keselamatan. Sebenarnya banyak kasus seperti ini yang kadang terjadi pada diri kita dan tidak kita sadari. Berusaha mendaki hingga puncak, padahal puncak bukanlah tujuan akhir perjalanan.

Beberapa hari setelah itu ada juga yang tersesat di Gunung Panderman dan terperosok ke jurang hanya gara-gara kenekatan. Kalau tidak salah namanya Imam. Awalnya dia dan rombongannya bertemu dengan rombongan pendaki lain saat turun. Karena ingin cepat sampai bawah ia mengikuti jalan pintas yang diberitahukan rombongan yang naik tadi, tapi sebelumnya Imam dkk belum pernah lewat jalur tersebut, dan tersesatlah mereka. Jurang menghambat mereka di tengah jalan dan Imam nekat menuruninya padahal sudah dilarang oleh teman-temannya. Hasilnya ia terperosok dan patah tulang kaki bagian kanan.

Oya September lalu saya naik Gunung Lamongan di Lumajang, Jatim (maaf contoh lagi). Tidak terlalu tinggi memang, hanya sekitar 1600-an mdpl dan cuma butuh 4 jam untuk mencapai puncaknya. Waktu itu saya berbarengan dengan rombongan dari Lamongan sekitar 40 orang. Nampaknya masih SMA. Mungkin dari sispala. Saya melihat mereka diajak berjalan malam dan tiba di Pos Watu Gede tempat saya dkk mendirikan tenda kira-kira pukul 12 malam, mungkin lebih. Lalu tidak tidur dan pukul 2 dini hari melanjutkan perjalanan dengan harapan saat fajar mereka sudah tiba di puncak. Saya masih tidur waktu itu dan merasa terganggu dengan keramaian yang mereka buat. Yang ada di pikiran saya saat itu kenapa adik-adik pendaki ini diajari kakaknya untuk berjalan di malam hari, kayak babi hutan aja. Hehe.. Lalu saat turun baru saya tahu sebagian dari mereka cuma memakai sandal, celana pendek, dan kaos pendek. Padahal jalur di situ didominasi bebatuan lepas yang lumayan menyulitkan. "Kasihan adik-adik ini," pikir saya.

Sedih kan kalau mendengar cerita seperti itu? Sangat disayangkan bila hal ini terus-terusan terjadi. Sangat disayangkan kalau masih banyak pendaki yang mendaki tanpa persiapan yang memadai baik fisik, mental, dan perbekalan. Dan sangat-sangat disayangkan kalau pendaki hanya berpikir bahwa puncak adalah adalah tujuan akhir, puncak adalah tujuan terpenting. Makna mendaki gunung tidak terbatas pada puncak, bisa melalui kebersamaan, pengalaman, pelajaran, dan kesederhanaan.

Saya mungkin cuma pendaki cupu yang baru kenal dunia pendakian kemarin sore, tapi saya ingin menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Saya sadar bahwa saya bukan orang yang tidak egois, tapi saya ingin belajar menundukkan keegoisan ini. Mari belajar bersama-sama dan saling mengingatkan.

Teringat kalimat dari Mbah Jarody, "Gunung mempertemukan kita semua". Juga kalimat bijak dari mas Wiwid, "Keberhasilan sebuah pendakian bukanlah saat puncak bisa didapat, tapi bagaimana bisa kembali dengan selamat".