14 Oktober 2010

Tipisnya Penggambaran Tokoh dalam Cerpen Dodolitdodolitdodolibret Karya Seno Gumira Ajidarma


-->
Cerpen Dodolitdodolitdodolibret karya Seno bercerita tentang seseorang yang sangat menghargai arti pentingnya cara berdoa yang benar. Dia yakin dengan berdoa secara benar, seseorang akan mendapatkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan, bahkan mampu berjalan di atas air. Kemudian tokoh tersebut, yang bernama Kiplik, bertekad membagikan ilmunya kepada orang lain yang kemudian menjadi murid-muridnya, termasuk sembilan orang penghuni pulau yang dianggapnya belum bisa berdoa dengan benar.
Dengan memerhatikan secara cermat tokoh-tokoh yang dimunculkan Seno, muncul sebuah pertanyaan tentang siapa sebenarnya tokoh-tokoh tersebut, bagaimanakah rupa mereka, seberapa tinggi atau pendek mereka, bagaimana cara mereka berpakain, apa jenis kelamin mereka, dan lain sebagainya. Meskipun begitu, ide pokok pengarang tetap mampu dituangkan dalam bentuk cerpen sejak kalimat pertama hingga kalimat terakhir.
Sejatinya, tokoh adalah salah satu unsur pembangun sebuah cerita. Bahkan Kuntowijoyo pernah berujar bahwa cerita pada dasarnya berkisah tentang tokoh, tentunya tanpa mengabaikan elemen cerita seperti alur, latar, dan konflik. Dari ujaran Kuntowijoyo tersebut dapat ditarik simpulan bahwa fungsi tokoh itu sangat penting. Tak ada kisah tanpa tokoh.
Sementara itu, Seno seolah-olah menipiskan penggambaran tokoh dalam cerpen Dodolitdodolitdodolibret. Kiplik, misalnya, tak digambarkan dengan jelas bagaimanakah wajahnya dan apa pekerjaanya, padahal dalam cerpen tersebut dikatakan bahwa ia memiliki banyak murid dan sanggup menyewa kapal beserta awaknya1. Mungkinkah wajahnya itu tampan sehingga tidak ditakuti orang, ataukah wajahnya itu jernih sehingga dipercaya orang ? Di samping itu meskipun tidak digambarkan secara jelas, pengarang tetap mengarahkan pembaca untuk memahami sifat tokoh Kiplik, yakni sedikit dari dialog yang diujarkannya dan banyak dari paparan pengarang mengenai Kiplik. Kiplik dikenal sebagai seseorang yang baik hati, peduli pada orang lain, suka mengembara, juga memiliki kesabaran yang luar biasa2.
Tokoh lainnya, orang yang percaya pada Kiplik atau murid-murid Kiplik juga tidak dijelaskan identitas dasar seperti jenis kelamin, umur, sifat keseharian, dan pekerjaan. Pembaca hanya tahu mereka percaya kepada Kiplik tapi tidak tahu bagaimana karakter mereka. Begitu juga yang terjadi pada awak kapal dan sembilan orang penghuni pulau. Seno tidak menjelaskan mengapa penghuni pulau tersebut hanya sembilan orang, apa jenis kelamin mereka, serta bagaimana rupanya. Seno hanya sedikit memberitahu karakter sembilan orang penghuni pulau tersebut sebagai orang-orang yang rajin bekerja dan berdoa3.
Dalam hal ini, meskipun tokoh dan penokohannya tidak digambarkan dengan jelas, cerpen Dodolitdodolitdodolibret tetap mampu membawa konsep yang diinginkan pengarang dan dapat diterima pembaca. Pembaca tidak akan mengalami kesulitan dalam menangkap garis besar yang ingin diungkapkan pengarang.
Hal seperti itu lazim dilakukan Seno dalam karya-karyanya yang lain. Sebut saja cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku, cerpem pilihan Kompas 1993, yang juga tidak menggambarkan tokoh cerita secara detail. Hanya ada Alina dan tokoh Aku di cerpen tersebut. Dan Seno tidak pernah mendeskripsikan seperti apakah Alina, apakah ia berjerawat, berjilbab, gadis desa, atau gadis kaya. Meski begitu, cerpen tersebut tetap mampu mengajak pembaca merasakan kegemparan akan hilangnya sepotong senja. Yang penting adalah suasana dan alur kisah penuh kegemparan yang menakjubkan itu.
Jika ditilik ke belakang, ternyata Seno –menurut pengakuannya– adalah orang yang malas untuk mengarang nama atau menyesuaikan nama dengan karakter tokohnya supaya menyakinkan. Karena itulah dia asal saja memberi nama tokoh-tokohnya alias memberi sembarang nama. Namun, menurut saya sebenarnya Seno ini tidak hanya asal mengarang. Seperti pemberian nama Kiplik pada cerpen Dodolitdodolitdodolibret seolah-olah telah dipikirkan dengan sangat mendalam nama apa yang cocok untuk tokoh tersebut yang tidak menonjolkan warna kedaerahan, yang mendukung tidak disebutkannya nama daerah atau tempat berlangsungnya peristiwa. Bisa dikatakan bahwa cara pemunculan tokoh seperti ini tidak main-main. Hanya saja, bagi Seno, tokoh tidak seberapa penting. Yang terpenting adalah cerita, sehingga tokoh dan penokohan bias dimainkan sesuka Seno.
Barangkali eksistensi tokoh tidak terlalu penting dalam cerpen masa kini, juga Dodolitdodolitdodolibret. Selain karena ruang penceritaan yang tidak terlalu lebar, mungkin juga karena ingin mengangkat nilai estetis dari sisi yang lain seperti alur, bahasa, atau konflik. Namun, dalam hal ini bukan berarti tokoh dihilangkan dari elemen pembentuk cerpen. Tokoh tetap ada, tapi cara penokohannya itu yang diubah menjadi garis besar riwayat atau identitas tokoh sehingga pembaca kehilangan detil penokohan. Sekali lagi, yang terpenting adalah gagasannya.