Syahdan, di tahun 991 M lahirlah seorang
bayi dari pasangan Udayana dan Mahendradatta ke dunia ini. Bayi berdarah
campuran Bali dan Jawa tersebut diberi nama Airlangga yang kelak namanya akan
hidup sepanjang masa. Untuk memperingati momen tersebut, ayah Airlangga,
Udayana membangunkan sebuah candi di sisi barat Gunung Penanggungan. Candi itu
berupa petirtaan (pemandian) yang disebut Petirtaan Jolotundo. Candi ini
dibangun pada tahun 997 M sebagai simbol kasih sayang kepada Airlangga. Dan di
saat Airlangga sudah besar ia sering sekali pergi ke candi ini untuk
menyejukkan jiwanya.
Selain Petirtaan Jolotundo, ada candi lagi
yang usianya hampir sama tua, yakni Candi Belahan atau Sumber Tetek. Candi ini
bisa juga disebut Petirtaan Belahan. Dibandingkan candi-candi lain yang ada di
sisi barat Gunung Penanggungan, kedua candi ini menurut saya paling tua karena
candi-candi yang di sisi barat Gunung Penanggungan (kecuali Jolotundo) dibangun
pada masa kerajaan Majapahit. Jika Petirtaan Jolotundo dibangun oleh Udayana
pada masa pra-Kahuripan, maka Candi Belahan dibangun oleh Airlangga, anak
Udayana, pada tahun 1009 Masehi atau pada masa Kerajaan Kahuripan.
Candi Belahan terletak di lereng timur
Gunung Penanggungan, tepatnya di Dusun Belahan, Wonosunyo, Gempol, Kabupaten
Pasuruan, 5 km arah barat dari jalan raya Surabaya-Gempol (masuk di jalan
samping Pom Bensin yang menghadap ke timur, 100 meter selatan Apolo). Candi ini
berada di ketinggian 700 m dpl sehingga udara di sekitarnya begitu sejuk dan
pemandangan alamnya juga indah. Candi ini memiliki lebar 5x5 meter dan sebagian
besar tersusun dari bata merah. Ada dinding bata merah dan di depannya terdapat
dua arca wanita, yang kemungkinan adalah istri Prabu Airlangga, yakni Dewi Sri
dan Dewi Laksmi yang melambangkan kemakmuran. Dari puting payudara arca Dewi
laksmi inilah keluar air mancur sehingga warga sekitar lebih akrab dengan
sebutan Candi Sumber Tetek. Ada juga arca wisnu mengendarai Garuda, namun arca
ini sudah diamankan di Trowulan. Selain sebagai tempat mandi oleh para istri
dan selir Airlangga, candi ini menjadi tempat bertapa Airlangga dan tempat
diperabukannya/ dimakamkannya Airlangga tahun 1049 M.
Kata Mas Caliyono, juru kunci Candi
Belahan, candi ini belum pernah dipugar. Hanya diperbaiki di beberapa bagian
seperti pembuatan pagar kawasan candi dan pembetulan bagian putting arca Dewi
Laksmi. Kalau ke sana, coba perhatikan baik-baik bagian putingnya, ternyata ada
pipa paralon di dalamnya. Ketika saya tanyakan kepada Mas Caliyono katanya tadinya air yang keluar dari puting jatuhnya ke kaki arca Dewi Laksmi. Karena dikhawatirkan dapat merusak kaki patung, maka tim Arkeologi berinisiatif untuk memasang pipa di bagian puting patung agar aliran air jatuh ke kolam, bukan ke kaki. Ini dilakukan kira-kira tahun 1968.
Ketika saya ke sana, pemandian ini ramai
oleh pemuda dan anak-anak kecil setempat. Mereka mengasyikkan diri dengan
berenang, mandi bersabun, bahkan foto-foto. Tidak jarang warga sekitar juga
mengambil air dalam wadah jerigen besar. Kemakmuran yang terbawa dari zama
Kahuripan. Hmm.. tiba-tiba pikiran saya melayang ke zaman Kahuripan sebelum dibelah
menjadi Kerajaan Jenggala dan Dhaha (Kediri). Mungkinkah, nama “Belahan” pada candi
merupakan simbol pembagian/pembelahan kedua wilayah tersebut? Kok ya kebetulan sekali
karena batas kerajaan Jenggala dan Kediri juga terletak di sekitar daerah
Brantas dan Porong, mungkin juga Gempol yang berjarak dekat dengan Porong. Ah,
siapa tahu… J
Kesan saya, sangat disayangkan jika candi
bersejarah ini terlantar begitu saja, dan tidak banyak diketahui orang. Di sana
tidak ada tulisan mengenai sejarah candi yang ditempel di mading sebagaimana
biasa ada di tempat wisata candi-candi lain. Lalu, jalan menuju Candi Sumber
Tetek ini juga bisa dibilang sulit walaupun dekat dengan jalan raya. Jalannya
berupa aspal rusak parah sehingga tersisa makadam yang sedikit susah dilalui
motor atau mobil. Hal ini sangat kontras dengan Candi Jolotundo yang ada di
sisi barat Gunung Penanggungan.