19 April 2012

Candi Belahan, Simbol Lahirnya Dhaha dan Jenggala

Syahdan, di tahun 991 M lahirlah seorang bayi dari pasangan Udayana dan Mahendradatta ke dunia ini. Bayi berdarah campuran Bali dan Jawa tersebut diberi nama Airlangga yang kelak namanya akan hidup sepanjang masa. Untuk memperingati momen tersebut, ayah Airlangga, Udayana membangunkan sebuah candi di sisi barat Gunung Penanggungan. Candi itu berupa petirtaan (pemandian) yang disebut Petirtaan Jolotundo. Candi ini dibangun pada tahun 997 M sebagai simbol kasih sayang kepada Airlangga. Dan di saat Airlangga sudah besar ia sering sekali pergi ke candi ini untuk menyejukkan jiwanya.
Selain Petirtaan Jolotundo, ada candi lagi yang usianya hampir sama tua, yakni Candi Belahan atau Sumber Tetek. Candi ini bisa juga disebut Petirtaan Belahan. Dibandingkan candi-candi lain yang ada di sisi barat Gunung Penanggungan, kedua candi ini menurut saya paling tua karena candi-candi yang di sisi barat Gunung Penanggungan (kecuali Jolotundo) dibangun pada masa kerajaan Majapahit. Jika Petirtaan Jolotundo dibangun oleh Udayana pada masa pra-Kahuripan, maka Candi Belahan dibangun oleh Airlangga, anak Udayana, pada tahun 1009 Masehi atau pada masa Kerajaan Kahuripan.
Candi Belahan terletak di lereng timur Gunung Penanggungan, tepatnya di Dusun Belahan, Wonosunyo, Gempol, Kabupaten Pasuruan, 5 km arah barat dari jalan raya Surabaya-Gempol (masuk di jalan samping Pom Bensin yang menghadap ke timur, 100 meter selatan Apolo). Candi ini berada di ketinggian 700 m dpl sehingga udara di sekitarnya begitu sejuk dan pemandangan alamnya juga indah. Candi ini memiliki lebar 5x5 meter dan sebagian besar tersusun dari bata merah. Ada dinding bata merah dan di depannya terdapat dua arca wanita, yang kemungkinan adalah istri Prabu Airlangga, yakni Dewi Sri dan Dewi Laksmi yang melambangkan kemakmuran. Dari puting payudara arca Dewi laksmi inilah keluar air mancur sehingga warga sekitar lebih akrab dengan sebutan Candi Sumber Tetek. Ada juga arca wisnu mengendarai Garuda, namun arca ini sudah diamankan di Trowulan. Selain sebagai tempat mandi oleh para istri dan selir Airlangga, candi ini menjadi tempat bertapa Airlangga dan tempat diperabukannya/ dimakamkannya Airlangga tahun 1049 M.
Kata Mas Caliyono, juru kunci Candi Belahan, candi ini belum pernah dipugar. Hanya diperbaiki di beberapa bagian seperti pembuatan pagar kawasan candi dan pembetulan bagian putting arca Dewi Laksmi. Kalau ke sana, coba perhatikan baik-baik bagian putingnya, ternyata ada pipa paralon di dalamnya. Ketika saya tanyakan kepada Mas Caliyono katanya tadinya air yang keluar dari puting jatuhnya ke kaki arca Dewi Laksmi. Karena dikhawatirkan dapat merusak kaki patung, maka tim Arkeologi berinisiatif untuk memasang pipa di bagian puting patung agar aliran air jatuh ke kolam, bukan ke kaki. Ini dilakukan kira-kira tahun 1968.
Ketika saya ke sana, pemandian ini ramai oleh pemuda dan anak-anak kecil setempat. Mereka mengasyikkan diri dengan berenang, mandi bersabun, bahkan foto-foto. Tidak jarang warga sekitar juga mengambil air dalam wadah jerigen besar. Kemakmuran yang terbawa dari zama Kahuripan. Hmm.. tiba-tiba pikiran saya melayang ke zaman Kahuripan sebelum dibelah menjadi Kerajaan Jenggala dan Dhaha (Kediri). Mungkinkah, nama “Belahan” pada candi merupakan simbol pembagian/pembelahan kedua wilayah tersebut? Kok ya kebetulan sekali karena batas kerajaan Jenggala dan Kediri juga terletak di sekitar daerah Brantas dan Porong, mungkin juga Gempol yang berjarak dekat dengan Porong. Ah, siapa tahu… J

Kesan saya, sangat disayangkan jika candi bersejarah ini terlantar begitu saja, dan tidak banyak diketahui orang. Di sana tidak ada tulisan mengenai sejarah candi yang ditempel di mading sebagaimana biasa ada di tempat wisata candi-candi lain. Lalu, jalan menuju Candi Sumber Tetek ini juga bisa dibilang sulit walaupun dekat dengan jalan raya. Jalannya berupa aspal rusak parah sehingga tersisa makadam yang sedikit susah dilalui motor atau mobil. Hal ini sangat kontras dengan Candi Jolotundo yang ada di sisi barat Gunung Penanggungan.