Kalau saja semua pendaki tidak membuang
sampah sembarangan di gunung, orang lain tidak perlu repot-repot bersih gunung.
Barisan Tenda |
Namun, hal itu sekarang jadi kian mustahil
karena semakin banyak penggiat alam, yang berasal dari berbagai kalangan dan
latar belakang, kini mendaki gunung. Sebenarnya siapapun sah-sah saja mendaki
gunung, yang penting setiap orang punya KESADARAN dan ETIKA berinteraksi dengan
alam.
Tapi jujur, hati saya tak semulia mereka
yang selalu aktif bersih gunung. Saya enggan ikut acara bersih gunung. Seperti
yang saya katakan, kita nggak perlu bersih gunung kalau semua pendaki gunung
selalu membawa sampahnya kembali pulang.
Fasilitas dan
Kesadaran Menjaga Fasilitas
Hemat saya, orang-orang malas mengambil
air di danau dan mengangkatnya ke toilet. Padahal jarak toilet dan danau hanya
terhitung belasan meter. Anehnya, beberapa memilih menggunakan tisu basah (lalu
tisunya dibiarkan di situ) atau memilih tidak menyiramnya sama sekali padahal
mereka buang hajat. Astagaa.. Kebacut tenan tho yo!
Kemarin ada beberapa teman berhati mulia saat kemping di
sana sempat bersih-bersih toilet itu, disiram dengan banyak air dan disikat, eh
nggak lama sudah kotor lagi. Hiks.. Oh iya, ada lagi, di tanjakan, semak-semak,
dan di balik pohon depan toilet itu juga banyak ranjau yang tidak dikubur. Huh,
pendaki kok jorok!
Ayolah, Kawan, kita sudah punya fasilitas,
kenapa sih kita nggak mau menjaga fasilitas itu agar tetap utuh dan bersih.
Bayangkanlah betapa nyamannya kita menggunakan fasilitas itu kalau fasilitas
itu terawat dengan baik. Dengan adanya toilet itu kita nggak perlu lagi
menggaruk-garuk tanah dan mencari semak untuk buang air. Pendaki mancanegara
yang ke Kumbolo pun pasti akan menaruh simpatik jika fasilitas yang ada tetap
bersih.
Masalah Klasik yang
Tak Kunjung Selesai: SAMPAH
Keharusan menuliskan daftar logistik
bawaan pendaki di pos perizinan pendakian
bisa dibilang formalitas saja. Pasalnya saat turun dari Gunung Gede
Pangrango dan Gunung Semeru saya tidak mendapatkan pemeriksaan apakah sampah
saya bawa turun atau tidak. Pencataan logistik dan jumlahnya pun asal-asalan
saja tanpa ada pengecekan. Jadi?
Tumpukan Sampah foto: Ferdi |
Kembali ke Ranu Kumbolo. Ya, maklum saja,
tempat indah ini seringkali dijadikan tempat untuk event-event besar semacam jambore
dan pendakian massal. Setelah acara itu lagi-lagi sampah menumpuk dan terserak.
Saya bukan orang yang anti pendakian masal kok. Bukan salah acaranya, tapi
salah orang yang meninggalkan sampahnya begitu saja.
Di suatu jambore di Ranu Kumbolo, ada
lomba untuk mengumpulkan sampah paling banyak. Yang paling banyak dan berat
menurut timbangan akan mendapatkan hadiah dari penyelenggara. Oke.. Bagus. Setidaknya
ada usaha untuk membersihkan lingkungan Kumbolo. Tapiiii… Sayangnya usaha
bersih-bersih itu selesai sampai di situ. Jadilah kantung-kantung sampah itu terkumpul
dan menggunung di sana, tidak dibawa turun.
Salah manajemen nih. Kenapa kantung
kresek tidak dibagikan saat penutupan sebelum turun gunung untuk mengumpulkan
sampah sebanyak-banyaknya dalam perjalanan ke Ranupani? Lalu di pos perizinan
baru sampah-sampah itu ditimbang dan siapa yang paling banyak mendapat sampah
mendapat hadiah. Ide ini lebih bagus bukan?
Oke, WTF lah dengan hal itu. Mari buktikan
ke masyarakat bahwa pendaki adalah orang-orang yang santun terhadap alam, yang
mendaki tanpa merusak dan mengotorinya. Membawa kembali sampah, mengubur hajat
dan sisa makanan, serta tidak vandalis. Dengan begitu gunung kita akan lebih
indah. Itu mudah kok, Kawan. Dan saya yakin, kalau kita membiasakan diri
seperti itu, kita akan malu dan enggan membuang sampah sembarangan walau hanya
satu bungkus permen. Mari menularkan kebiasaan baik. Salam.