15 Juni 2016

Nggunung sama Mantai - Travelingnya Ibu Hamil

Pikiran gila saya muncul kalau ingat perkataan dokter yang menangani saya melahirkan kapan hari. Dia bilang kontraksi rahim saya lemah, dan itu sedikit banyak telah menjawab pertanyaan saya selama ini kenapa dulu saat kehamilan pertama saya tidak merasakan kontraksi sama sekali hingga berujung operasi secar, kenapa saya juga tak merasakan kontraksi walau ke pantai dan naik gunung saat hamil kemarin. Kalau tau lebih awal kan saya mau naik gunung lagi (kemping maksudnya) pas usia kehamilan 7/8 bulan. Waktu itu pingin banget jalan-jalan tapi ga diizinkan suami. Hiks.. Kan seru di hutan/ bumi perkemahan dengan perut besar.

Ya tapi saya bersyukur selama hamil anak kedua sudah diizinkan jalan-jalan 2x sama suami. Saya paham kok larangannya itu demi kebaikan saya dan bayi. Karena dia sayang sama saya. ^^
Terima kasih untuk dua trip hamilnya yaa... :)



Seperti judulnya, ini trip ngidam awal kehamilan saya, yakni saat usia kehamilan 17 minggu atau 4 bulan. Saya ngidamnya ke gunung sih tapi oleh suami malah diajak ke pantai. Ya manut saja daripada nggak kemana-mana. Kami pergi ke Pantai Gatra yang lagi hits di Malang. Tempatnya  bersebelahan dengan Pantai Sendang Biru/ Pulau Sempu. Di Gatra kita bisa sekalian ke beberapa pantai di sebelahnya termasuk ke Pantai Tiga Warna yang lagi naik daun juga. Berhubung Pantai Tiga Warna merupakan area konservasi kita tidak boleh kemping di sana. Untuk ke sana pun harus dengan pemandu dan waktunya dibatasi. Intinya sih dengan membayar tiket masuk ke Gatra + biaya guide ke Pantai Tiga Warna kita bisa kemping (buka tenda), bisa jalan-jalan juga ke pantai-pantai di sebelahnya: Pantai Clungup, Pantai Watu Pecah, Pantai Mini, Pantai Savana.

Berhubung sudah terlalu sore, Pantai Tiga Warna jadi tak terlalu spesial, terutama buat saya, apalagi Gilang (usia 2,5 thn) menangis saat kena ombak. Maklumlah dia baru kali ini ketemu pantai. Sore itu dengan serunya kami trekking ke atas bukit. Niatnya sih mau menyaksikan matahari terbenam, apa daya begitu sampai puncak bukit ternyata posisi tenggelamnya matahari tertutup bukit lain, bukan di lautan nan jauh di sana. Tiwas lari-lari euy! Haha iya saya hamil 4 bulan dan naik-naik bukit sambil lari. Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. ^_^

Enaknya kemping di Pantai Gatra itu menurut saya suara ombaknya tidak terlalu menakutkan seperti ombak pantai selatan lainnya karena ombaknya sudah pecah agak jauh di sana. Jadi ombak yang sampai ke bibir pantai itu tinggal riak-riak kecil aja sehingga suaranya cukup syahdu dan pasti aman buat yang nggak bisa berenang seperti saya. Malam itu lumayan syahdu. Hanya ada beberapa tenda saja. Tidak ada yang bising. Kita bisa menikmati kabut laut, dan bintang.
Pagi dan siang harinya pun saya nikmati dengan susur pantai, berenang-renang kecil, yahhh pokoknya jalan sampai capek lah. Sampai kaki sudah berat melangkah. Semuanya berjalan baik dan menyenangkan. Terima kasih suami, anakku, dan tim.



Untuk trip kali ini saya menghabiskan banyak waktu googling pengalaman bumil bumil lainnya yang juga mendaki gunung sebagai referensi. Sedikit sih, tapi cukup menginspirasi. Salah satunya bumil yang sukses naik Gunung Rinjani dan Gunung Semeru. Dua kali mendaki saat hamil euy. Dan itu sukses membuat saya merengek cantik ke suami minta diantar naik gunung. "Ngga perlu sampai puncak Yah, yang penting ngerasain naik gunung atau kemping tipis-tipis, ya ya?" 

Saya sedang hamil 5 bulan saat itu. Kebetulan sekali teman-teman suami berencana naik ke Gunung Arjuno via Purwosari, minimal mendaki sampai Pos V Mangkutoromo. Saat suami menawari saya untuk ikut, saya sempat ragu juga, tapi daripada ditinggal sendiri di rumah ya mending ikut (hhh egoisnya saya). Tapi kami sepakat bahwa akan mendaki semampu saya saja.

Teman-teman kerja suami saya sungguh perhatian. Mereka membantu setiap langkah saya. Mereka masih tidak percaya bahwa saya yang saat itu sedang hamil malah asik dan semangat mendaki. Saya yang sudah lama tidak latihan fisik dan lama tidak mendaki gunung merasa kalau kaki lebih berat. Saya tertinggal di belakang. Untungnya semua berjalan santai. Belum lagi mereka suka sekali dengan Gilang yang ikut mendaki juga tapi di atas gendongan ayahnya. "Bunda, ayo jalan," kata-kata Gilang ii yang bikin semua tertawa dan membuat saya semangat terus walau pinggang sakit juga. Ealaahh emak-emak banget. Hihi..

Saya tertipu. Di catper-catper online yang saya baca katanya trek jalur pendakian Arjuno via Purwosari ini tergolong landai sampai pos V. Saya sudah membayangkan bahwa hari itu kami akan berjalan kurang lebih 4-5 jam dan akan menginap di Pos V. Ternyata kenyataan sangat jauh dari ekspektasi. Hujan mulai turun sejam sebelum sampai di Pos II. Saya mulai mengkhawatirkan Gilang. Anak sekecil itu harus merasakan udara dingin dan basah hujan karena egoisme orang tuanya. Saya kira dia akan menangis tapi ternyata dia malah keasikan dibawah payung ayahnya. Malah ayahnya nggak boleh menutup payung walaupun hujan sudah reda. 

Saya sendiri merasa tubuh semakin berat. Jalur tanah itu mendadak penuh air dari atas. Sepatu Karrimor Boulder saya yang anti air pun sudah banjir air sampai ke dalam-dalamnya. Kaki semakin berat, trek menanjak, perut lapar. HHhh lengkap! HIngga akhirnya tas saya jatuhkan begitu saja kurang lebih 20 meter sebelum sampai Pos II. Lalu si mbak cantik temennya suami langsung mengambil alih tas saya dan membawanya ke pos. Aiiihh malunya! :p
Malam itu saya memutuskan bahwa pendakian saya kali ini, saat saya hamil lima bulan, saat saya membawa anak pertama saya yang berusia 2,5 tahun, berakhir di sini. Meskipun belum terlalu tinggi, belum bertemu pinus merkusi, belum bertemu halimun, belum memeluk kabut, saya sudah ikhlas dan cukup bahagia. Menyenangkan punya pengalaman mendaki tipis-tipis saat hamil lima bulan. Menyenangkan bermandi hujan saat berangkat dan pulang. Menyenangkan memilikimu, Suami dan anakku.

Mendaki gunung saat hamil? Kenapa tidak. (Jangan ditiru! Bila meniru, resiko ditanggung sendiri ya, kondisi setiap orang tidak sama, diskusikan dengan dokter dan keluarga)

12 Juni 2016

Lintang Jati - Anak Kedua yang Sukses Lahir Pervaginam Pasca Secar #VBACStory

Siang itu (26/5) akhirnya air mata saya tumpah setelah sedari pagi sok santai dengan perkataan bu dokter spog yang menyarankan saya untuk operasi secar lagi di kehamilan kedua ini. Saya memeluk suami erat sekali sambil menangis. Tanpa kata. Suami pun hanya mengelus punggung saya. Saya yakin dia paham apa yang saya tangisi. Dia tahu benar kalau saya ingin sekali melahirkan normal pervaginam. Bu dokter yang sedari awal kehamilan berkata bahwa saya bisa melahirkan normal mendadak menyuruh saya secar sebelum tanggal 1 Mei 2016 sebelum 'sakit' katanya. Alasannya bayi saya terlilit tali pusat di lehernya dan jarak dengan operasi sebelumnya terlalu dekat. Btw, anak saya yang pertama lahir secar 10 Juli 2013 jadi menurut ilmu kedokteran sekarang saya sudah aman untuk melahirkan normal dengan catatan harus melahirkan di RS dalam pantauan dokter.

Pantang menyerah! Toh ini masih jauh dari tanggal perkiraan lahir saya (HPL 9 Mei 2016). Kali ini saya nggak mau langsung percaya. Saya pun minta rujukan ke puskesmas dan saya dirujuk ke RSUD Sidoarjo. Kontrol pertama di-USG dan hasilnya tali pusat tidak melilit leher bayi saya, ia hanya lewat saja. Yap, hanya lewat. Ketuban bagus, posisi bayi bagus dan sudah masuk panggul. Yes, kesempatan melahirkan normal masih ada meskipun dokter juga berkata bahwa bisa jadi secar lagi kalau ada indikasi medis. No problem dokter, yang penting sekarang semuanya aman. -Senyum lebaaarr banget- hehehe...

Seminggu kemudian di usia kehamilan 40w5d saya ke RSUD lagi dan mulai dag dig dug ser kok belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Lagi-lagi dokter bilang, ditunggu ya, semuanya bagus. Jedieennkk. Haha.. Mana cuti suami sudah habis. Keesokan harinya sudah harus kerja. Suami minta kejelasan tapi dokternya santai aja. Saya mbatin alhamdulillah masih ada kesempatan satu minggu lahi. Semoga secepatnya. Aamiin.

Selasa, 17 Mei 2016 siang hari saat saya di toko dan bungkus-bungkus paket, punggung pinggang rasanya capeek sekali. Sore sebelum mandi saya bilang ke Ibu kalau bagian pinggul mulai berat tapi nggak mules. Ibu yakin itu kontraksi. Dan saya pun percaya meskipun nggak tau kontraksi itu seperti apa. Dua kali hamil baru kali ini saya mengalami kontraksi tapi ragu. Malam harinya selepas isya rasa sakit mulai bertambah. Alhamdulillah karena punya tanggungan kirim paket sepatu ke Palembang saya pun berangkat dulu ke toko lalu ke JNE.

Sepulang dari JNE sekitar pukul 8 malam rasa berat di pinggul makin bertambah. Semakin malam semakin sakit dan semakin intens. Awalnya setengah jam sekali lalu lama-lama sakit setiap 15 menit sekali. Anak saya yang pertama, Gilang, sudah tidur sejak pukul 10 malam. Saya pun harus tidur juga agar tidak kelelahan. Apa daya tiap kontraksi datang saya selalu terbangun lalu pindah duduk ke sofa seolah-olah sedang menahan pup. BTw saya pun beberapa kali ke kamar mandi untuk BAK dan BAB seperti yang saya baca di buku.

Rabu, 18 Mei 2016
Pukul 1 malam Gilang terbangun minta pipis. Tapi setelah itu dia nggak bisa tidur lagi mungkin karena melihat saya kok tiap sepuluh menit bolak balik pindah dari kasur ke sofa. Bisa jadi juga dia merasa adiknya mau keluar kali ya. Sampai akhirnya suami saya pulang kerja. Melihat saya kontraksi dia kaya orang bingung. Nggak ngerti apa yang harus dilakukan. Lucu mukanya, hehe.. Begitu lendir darah keluar saya akan ke RS karena sudah diwanti-wanti dokter bahwa saya harus melahirkan di rumah sakit.

Pukul setengah tiga pagi saya diantar ke RSUD oleh Ayah Arief dan Gilang. Saat dicek ternyata sudah bukaan 2. Alhamdulillah. Saya pun kemudian diinfus (dilihat oleh GIlang lho) lalu diantar ke ruang VK Bersalin. Sebenarnya saya sudah tau kalau di VK Bersalin hanya pasien yang boleh masuk, keluarga menunggu di luar. Tapi waktu itu rasaya berat dan kangeeen sekali dengan Gilang. Anak umur belum genap tiga tahun sudah mengantar bundanya ke RS dan tidak rewel sedikitpun. Masya Allah. Sampai jumpa lagi ya sayangku..

Singkat cerita saya sudah di ruang VK Bersalin. Di sana saya bersama ibu-ibu lain yang juga mau melahirkan. Kami semua di ruangan yang sama jadi satu sama lain bisa saling melihat, bisa menyaksikan proses kelahiran ibu satu dan lainnya. DI situ kami cuma disuruh tidur. Saya sudah tidak bisa tidur. Rasa seperti ingin pup semakin intens. Perut nggak mulas seperti yang dikatakan orang-orang. Pinggul aja beraaattt. Sampai saya takut mau pup. Takut jalan lahir bengkak karena ngeden.


Pukul 8 pagi di VT dan saya masih bukaan 5. Ya Allah ternyata di-VT itu rasanya sangat tidak nyaman. Saya kira cuma dua jari dokter/ bidan masuk gitu aja, ternyata semacam 'diobok-obok' dan sakiiit. Setelah di-VT saya ngaji lagi. Iya saya ngaji sejak masuk ruang vk bersalin tadi pagi. Dapat inspirasinya dari seorang teman di fb. Intinya dengan ngaji itu kita pasrah sama Allah. Benarlah, saya merasa lebih pasrah sama Allah. Sakit juga nggak begitu terasa. Sakitnya biasa aja kok menurut saya.

Pukul 11 siang saya di VT lagi dan alhamdulillah sudah bukaan 9. Ketuban saya pun dipecahkan. Lalu ditinggal. Sejam kemudian dicek kok nggak ada kemajuan. Dokter sudah bilang saya bisa disecar lagi kalau nggak ada kemajuan. Waduuhhh mendadak saya sedih dan kepingin nangis. Saya langsung telpon ibuk dan suami minta doa. Suami bilang, "Bunda pasti bisa". Tapi pas dicek lagi tetap nggak maju-maju. Saya dapat dua kali suntikan di infus, entah suntikan apa. Yang pasti, setelah disuntik itu rasa sakitnya mendadak meningkat berkali-kali lebih sakiiittttt. Tapi tetap nggak nambah nih pembukaan. Kasur sebelah sudah ganti dua orang melahirkan, saya malah belum. Dan rasa sakit itu makin bertambah-tambah sampai setengah 3 sore yang entah kenapa mendadak ada dokter cantik lain datang dan mengenalkan dirinya pada saya dan berkata mau membantu saya. Saya pasrah.

Tiba-tiba sakit itu sudah memuncak rasanya. Seperti ada sesuatu yang sangat besaaarr yang mau keluar dari anus. Yes, yang sakit itu anus menurut saya. Perut biasa-biasa saja. Di situ saya mulai tidak bisa mengontrol diri. Saya teriak, "sakiiittt suster, ini sudah apa belum". Hihii... Saya pun disuruh megangin kaki, mengangkat kepala, mingkem, dan ngeden saat puncak gelombang cinta itu datang. Lumayan lama sampai 5 menitan/ beberapa kali puncak kontraksi saya ngeden tapi nggak keluar-keluar. Saya ambil nafas, saya fokus, pokoknya ngeden habis ini harus keluar. Krek... Wuah diepis juga saya tapi akhirnya adek Lintang lahir dengan menangis. Ya Allah leganyaaa....

Lintang, lahir 3,1 kg
Bayi saya kemudian dilap sama perawat-perawat di sana, ditimbang, segala macam. Tidak langsung diberikan ke saya. Belum selesai. Plasenta saya belum juga bisa keluar. "Bu, tahan sedikit ya," kata bu dokter cantik sambil memencet-mencet perut saya kenceeeng dan sakitnyaa luar biasa. Tangannya masuk ke jalan lahir mengobok-obok bagian dalam mencoba melepas plasenta saya. Saya yang merasa kesakitan jadi tidak rileks, kaku, mungkin bu dokternya jadi kesusahan. "Bu, ayo dibantu, tahan sedikit, kontraksi ibu lemah, ini balapan sama darahnya ibuk." Hhhh... Setelah agak lama dengan tanagn kanan memegang kasur, tangan kiri memegang selang infus sambil meringis-meringis saya pun melihat bu dokter memegang plasenta saya. Setelah itu masih masuk lagi entah diapakan, mungkin dibersihkan. Hhh... Beluuuummm selesai prosesinya bu ibuu. Masih kurang satu prosesi lagi yaitu penjahitan perineum. "Dokter, itu njahitnya dibius kan ya?" tanya saya lugu. Katanya sih di mati rasa. Yap, memang beberapa saat nggak sakit cuma berasa benang ditarik-tarik aja tapi begitu sudah mau selesai alias menjahit bagian kulit wuaahh sakit lagi. Cekiittt cekiiittt... Sampai tangan saya penuh cap gigi saya karena saya gigit.  Tapi setelah prosesi penjahitan selesai ya sudah, hilang semua rasa sakit. Bayi diletakkan di dada saya untuk dilakukan IMD.


Malam harinya saya dipindah (jalan sendiri) ke ruang nifas. Tentunya bersama bayi saya, Lintang Jati. Saat ia menangis untuk ganti popok atau minta nenen ya harus saya lakukan sendiri. Dia tidur seranjang sama saya malam itu meskipun ada box bayi di sebelah ranjang saya. Saya merasa lega dan bahagia cuma kangen aja sama mas Gilang di rumah.

Lintang 24 hari, 4 kg
Sebenarnya, melahirkan normal ataupun secar (dengan indikasi medis) sama saja. Yang penting ibu dan bayi sehat dan selamat. Namun, saya lebih memilih normal karena panggilan hati dan keyakinan bahwa saya bisa. Keyakinan itu saya barengi dengan pemberdayaan diri (tapi ga maksimal, hiks) dan doa sama Allah. Saya nggak ikut kelas kehamilan di manapun tapi saya rajin baca, saya makan apa saja yang baik, saya rutin senam kehamilan, saya naik gunung saat usia kehamilan lima bulan (eh ini enggak termasuk ya), saya pasrahh sama Allah dan minta doa dari banyak orang. Syukurlah bisa melahirkan normal. Saya juga yakin suami saya pun senang karena bebannya nggak seberat saat saya usai melahirkan secar dulu. Seminggu setelah pulang dari RS saya nyuci sendiri, setrika sendiri, kontrol ke RS sendiri, bisa ngopeni dua anak sekaligus. Coba kalau saya secar lagi? Banyak pekerjaan yang harus diambil alih suami. 

Sungguh Allah Maha Berencana.. Maha Berkehendak.. Maha Pengasih dan Penyayang.

Dan sungguh perjuangan ibu melahirkan sangat berat. Makanya berbakti yaa sama ibu.

Nb: Teruntuk ibu dokter yang menyuruh saya secar lagi, saya tidak marah, saya hanya kecewa karena ibu dokter mudah sekali menyuruh saya sc hanya karena sekali periksa nampak lilitan tali pusat sedang di mesin USG yang lain dengan dokter lain ternyata tali pusat itu hanya lewat. Barangkali ibu dokter terlalu gegabah. Ada satu lagi, kata-kata ibu dokter, "Lebih baik dioperasi sebelum sakit. Nanti kalau kita coba normal, lalu sakit, trus ibu nggak tahan dan minta secar, seperti kasus tadi malam ada pasien ga kuat nahan sakit jam 3 pagi minta disecar, itu kan malah merepotkan. Dokter juga manusia yang butuh istirahat". SAYA JUGA MANUSIA, SEORANG IBU, SESEORANG YG INGIN BERUSAHA DULU SEKUAT TENAGA MENGEJAR SEGALA KEMUNGKINAN SEBELUM BERAKHIR DI MEJA OPERASI.