30 Maret 2009

Touring ke Probolinggo


Foto-foto lain bisa dilihat di sini.


Sabtu, 28 Maret 2009
Liburan akhir pekan yang kuhabiskan di Probolinggo bersama mba Devim dan teman-teman di sana. Berangkat Sabtu, 28 Maret 2009 naik motorku si cencen (nama motorku) dari Sidoarjo, boncengin Tias. Sabtu sore aku, Tias, Mei, dan Mba Devim menyempatkan melihat sunset di pelabuhan. Tapi sayangnya kami sedikit terlambat. Setelah magrib kami berempat menyempatkan jalan-jalan di alun-alun kota Probolinggo. Setelah itu aku dan Tias langsung tidur pules di rumah Mei sampe pagi.


Minggu, 29 Maret 2009

Pagi itu aku, Tias, dan Mei ke pelabuhan lagi untuk mengagumi pesona fajar dari laut. Memang indah... Dengan warna-warna langit yang tak bosan dipandang mata. Di pelabuhan yang dalam masa pembangunan itu juga banyak orang yang memancing, berenang, pacaran, bahkan bermain-main bersama keluarga.

Setelah itu kami kembali ke rumah Mei dan sarapan. Kami bergerak cepat agar tak terlalu siang ke tempat wisata berikutnya. Tidak kusangka personel yang tadinya hanya empat orang kini bertambah tiga orang lagi menjadi tujuh orang. Kami segera menuju tempat wisata di Probolinggo.

Pertama, kami menuju air terjun Darungan yang terletak di desa Bremi, kecamatan Krucil, kabupaten Probolinggo. Kami menempuhnya satu jam naik motor dari Probolinggo melewati desa-desa yang entah apa namanya. Ada yang menarik di perjalanan, yaitu banyaknya orang yang mandi dan mencuci di sungai pinggir jalan, bahkan buang hajat. Dan mereka seperti itu tanpa aling-aling sehingga siapapun yang lewat dapat melihat mereka. Sebagian ada yang mandi memakai "kemben" dan sarung, tapi sebagian yang lain langsung telanjang. Ah.. porno! Kulihat rumah-rumah mereka, oh bagus-bagus kok. Trus kenapa?? Kata Mz Gatot (teman dari Probolinggo) mereka kesulitan air. Ah bingung!!! Tiba di tempat parkir air terjun kami masih harus berjalan kaki selama satu jam di antara rimbunnya pepohonan dan semak Argopuro. Berjalan mendaki.. menyeberangi sungai berbatu,,, hingga akhirnya sampai di lokasi. Tempatnya masih sangat asri di antara tebing-tebing dan hutan-hutan. Kami bahkan sempat berjalan mendaki hingga puncak air terjun. Pacet-pacet penghianat "mencucup" darah kami bahkan sampai di dalam pakaian sekalipun.


Kedua, wisata yang kami datangi adalah air panas dan ranu segaran. Dengan membayar Rp 2000,- kita sudah diperbolehkan masuk. Lumayanlah setelah bercapek-capek ria di air terjun kini kami dapat melemaskan otot-otot dengan berendam di air panas.

Ketiga, yaitu ranu agung. Sekitar seperempat jam dari kantor kecamatan Tiris dengan motor. Jalannya lumayan berbatu-batu dan meliuk-liuk. Kami memarkir motor di rumah penduduk karena tidak mungkin membawanya hingga ke danau. Untuk sampai di danau kita harus berjalan turun ke bawah. Jalurnya berbatu-batu. Sekitar 10-15 menit berjalan kita sampai di danau yang dikelilingi bukit dan tebing. Mungkin warga di sana masih sangat lugu kali ya... Masa ada orang mandi cewek cowok di tempat yang sama. Mungkin sebuah pemandian umum yang digunakan warga desa. Namun anehnya mereka seperti tidak malu-malu. Yang perempuan telanjang dada dan yang lelaki justru telanjang bulat. Benarkah tempat ini masih di Jawa Timur. Oh Indonesiaku.....
Tiba di ranu kami langsung menikmati durian yang kami beli di pinggir jalan tadi. Lalu aku ikut-ikutan Mz Ambon main "gethek" semacam rakit yang terbuat dari bambu. Awalnya sih aku nggak berani, tapi karena merasa begitu asik akhirnya kau ketagihan. Padahal aku ga bisa berenang. Entah bagaimana nasibku apabila kami jatuh ke danau yang entah berapa kedalamannya.


Lepas pukul 4 sore kami baru kembali ke Probolinggo. Akibatnya setelah magrib kami baru tiba di rumah Mei. Hikksss.... kemaleman pulang ke Sidoarjo. Apalagi cuma motoran berdua ama Tias. Udah gitu temen-temen di sana mewanti-wanti kalo di jalan itu bahaya dan banyak "begal". Hwaaaaaaaaaa.......

Mau tidak mau kami harus pulang malam itu juga. Aku buta arah jika di perjalanan malam hari. Alhasil aku hanya mengikuti petunjuk arah di pinggir jalan yang menuju arah Sidoarjo. Ingin ngebut tapi jalanan gelap sehingga si cencen kesakitan melaju di jalanan yang tidak mulus. Sekitar dua jam aku dan Tias tiba di Sidoarjo dengan selamat dan tanpa nyasar. Alhamdulillah

27 Maret 2009

Menyatu dengan Mahameru

Senin yang lalu aku datang terlambat saat kuliah filsafat seni. Alasannya karena aku harus menunggu seorang teman lebih dari tiga puluh menit di pinggir jalan tanpa kabar. Ingin kutinggal ia saat itu tapi kuurungkan. Kubayangkan bila yang nebeng itu adalah aku. Pasti kecewa dan sedih. Tidak! Aku bukan seorang yang egois. Berusaha sabar dalam rasa kecewa yang mendalam. Aku ingin marah, tapi aku tak bisa. Entah kenapa sulit sekali bagiku untuk marah pada seseorang. Ya sudahlah... Aku harap peristiwa seperti ini tak terulang.


Terlambat setengah jam.. Oh tidak. Maafkan aku, Pak dosen! Bukan absen yang aku kecewakan, tapi sedikitnya ilmu yang kudapat jika aku terlambat. Hiks... Pertemuan kali itu begitu singkat. Namun aku sangat bahagia ketika mendapat tugas menuliskansebuah pengalaman di mana kita merasa menyatu dengan objek keindahan. Dan inilah yang aku tulis:



















“Aku tak ingin gagal lagi. Aku harus kuat. Ini hanya masalah kesabaran dan kekuatan mental,” kataku lirih pada diriku sendiri sembari terus melangkah walaupun nafasku sudah mulai sesak akibat menipisnya kadar oksigen di ketinggian serta debu beterbangan yang tak terkira banyaknya..

Hal ini kulakukan semata-mata agar aku tetap kuat hingga akhir perjuangan nanti. Bukanlah suatu hal yang mudah berjalan di kemiringan enam puluh hingga tujuh puluh derajad dengan medan jalur lahar berpasir yang terbentuk dari bongkahan lahar yang membeku.

“Ini adalah jalan menuju surga,” batinku lagi. Semangat itu benar-benar memberikanku kekuatan untuk terus melangkah. Pelan tapi pasti. Tak suka ku berhenti berlama-lama di tengah jalan karena itu hanya akan membuang-buang waktu dan memberikan kesempatan pada dingin ‘tuk membekukan otot-otot kakiku yang telah panas melangkah. Sebentar lagi tanah tertinggi pulau Jawa akan kuinjak. Aku sudah berjalan lebih dari empat jam sejak tengah malam tadi. Sebentar lagi pagi. Aku harus cepat jika tak ingin melewatkan pesona matahari terbit dari surga pulau Jawa. Sebagian teman-temanku telah tiba lebih dulu di sana. Teriakan-teriakan mereka seolah-olah menjadi vitamin yang menyegarkan tubuhku. Lelah tak begitu kurasakan seperti setahun yang lalu ketika sesal berkecamuk di dadaku. Kelelahan fisikku saat itu menggagalkanku menggapai surga. Kali ini aku harus berhasil. Harus!

Air mataku menitik lembut membasahi pipi yang telah menjadi sarang debu-debu Mahameru. Teman-teman menatapku dan berteriak, “Nuruuul kamu nyampe puncak.” Aku masih tak percaya dengan keajaiban ini. Aku telah melewati bukit pasir raksasa dan kini aku berasa di puncaknya. Sebuah tanah datar yang cukup untuk bermain sepak bola. Aku berjalan terus seolah-olah masih terbuai mimpi di mana keindahan pertiwi hanya sebuah hayalan semu. Hingga akhirnya aku tiba di memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis aktivis dan pecinta alam era 60-an barulah aku menyadari dan langsung bersujud syukur kepada Sang Pencipta.

Saat aku telah benar-benar sadar kusaksikan keindahan bumi pertiwi ke segala penjuru. Udara dingin benar-benar menusuk tulang. Berangkap-rangkap jaket yang kukenakan tak mampu menghangatkan tubuhku. Hingga ingus yang keluar dari hidungpun tak kurasasan. Meski dingin begitu menusuk tapi rasa gembira yang begitu membuncah membuatku bertahan menyaksikan lukisan cahaya ufuk timur. Sembari berjingkrak-jingkrak bibirku selalu tersenyum dan berteriak-teriak tak karuan sebagai ungkapan rasa puasku. Perlahan-lahan semburat kuning muncul menyapu sisa-sisa malam. Warna-warna indah terbentuk menghiasi langit timur membentuk siluet-siluet gelap. Lukisan Sang Maha Pencipta penuh dengan nilai estetis. Lalu aku sedikit berlari ke arah selatan. Garis-garis pesisir dan pantai Samudera Hindia dapat ditangkap oleh kedua mataku. Hamparan awan putih nan mempesona menyelimuti lautan.

“Hwaaa….. aku fotoooo!” teriakku sambil berlari ke arah keluaranya letusan dari kawah Jonggring Saloka. Aku berpose narsis dan tersenyum lebar menyambut wedhus gembel yang berwarna gelap. Kemudian orang-orang bergantian berfoto dengan latar belakang letusan asap Mahameru. Ketika letusan itu mereda maka yang lain harus menunggu lima belas hingga dua puluh menit lagi pada letusan berikutnya.
Kemudian aku kembali memuaskan mataku dengan pemandangan-pemandangan indah. Kali ini aku menatap ke arah jalan yang kulalui tadi. Dapat kulihat savana di antara bukit-bukit kokoh di bawah sana. Kemudian berganti menatap kepulan asap Gunung Bromo di kejauhan. Puncak-puncak gunung lain di Jawa Timur pun kelihatan di antara hamparan-hamparan awan yang enggan menghilang. Aku hanya dapat ternganga dan mengatakan, “Subhanallah….”

Saat turun pun tiba. Hari semakin siang. Sinar matahari begitu menyengat kurasakan di ketinggian 3676 meter meski rasa dingin tak kunjung pergi. Kucium memoriam Soe Hok Gie sebagai tanda penghormatanku. Kutatap puncak sekali lagi sebelum akhirnya aku berbalik dan mulai menuruni jalanan berpasir dan berbatu yang berbahaya. Batuan-batuan besar siap menggelinding ke bawah dan menghantam siapapun yang menghalanginya. Jurang-jurang menganga siap menanti mereka yang tidak berhati-hati. Jalur-jalur yang hampir sama juga tak kalah berbahaya untuk menyesatkan siapapun yang lengah. Bersyukur ada teman-teman yang mendampingiku hingga aku tak perlu khawatir.

Meski saat naik begitu berat tetapi Mahameru mempunyai keunikan tersendiri. Aku dapat berlari-lari saat turun dan perosotan seperti dulu waktu kecil. Bila semalam aku menempuh waktu lima jam hingga puncak kini jalanan itu dapat kuturuni kurang dari satu jam sambil berteriak-teriak meski masker menutupi sebagian wajahku. Pelindung mata sampai pekat berdebu. Pasir dan kerikil masuk ke dalam sepatu dan celanaku. Namun aku benar-benar menikmatinya, apalagi sembari berkejaran dengan teman seperjalanan dengan tawa, lelah, dan cinta.

23 Maret 2009

Damai

Malam ini aku, Tias, dan mz Kohan sedang ngobrol sembari melahap bulatan2 bakso di halaman fakultas teknik Unesa. Ngapain yah...? hehe.. cuman cangkruk ga jelas.. menikmati sepinya malam yang lama kurindukan. Ah damainya..

Padahal tugas filsafat bahasa sedang menantiku di rumah. Pak dosen maafkan aku ya..

Aku cinta damai..

18 Maret 2009

Aksi Baksos JPers "JP Amazing Charity 2009"


Foto-foto lain bisa dilihat di sini.



Berdiri susah, mau duduk susah, apalagi mau tidur lebih susah lagi. Itulah nasib kami, JPers Surabaya dalam kereta ekonomi untuk mengikuti kegiatan baksos di yayasan Himmata, Plumpang, Jakarta Utara. Berangkat jam 15.30 dari stasiun Pasar Turi tiba di stasiun Pasar Senen sekitar pukul 8 pagi. Ternyata di sana sudah menunggu Mz One, dan Mz Jiteng untuk menjemput kami.

Untuk pertama kali aku menginjakkan kakiku di Jakarta, dan tempat pertama adalah Plumpang yang kondisinya menurutku sangat miris dan lingkungannya tidak sehat. Selokan-selokan lebar tanpa penutup di depan rumah warga, lapangan sepak bola yang banjir bercampur sampah-sampah, dan pemukiman dengan gang-gang sempit.

Yayasan Himmata, sasaran utama kami, sudah ramai oleh cerah ceria anak-anak dalam acara baksos yang dikemas menarik oleh teman-teman JPers. Sudah ada pembagian tugas di sana-sini. Dan aku?? Banyak bengongnya. Nyawaku belum kembali masih bergoyang-goyang di kereta, capek juga di kereta tanpa tempat duduk lebih dari 12 jam. Salut melihat teman-teman JPers dalam aksi baksos ini, mereka mampu menghidupkan suasana sehingga adik-adik menjadi senag dan terhibur. Pendidikan kebersihan pun mereka bagi kepada adik-adik. Om dan tante riang mengajak adik-adik bernyanyi. Aku?? Hanya menghabiskan makanan saja.


Selesai acara, sebelum pulang kami berkumpul di sanggar Himmata, di sana ada pemandangan menakjubkan dan hanya bias dilihat beberapa tahun sekali, itupun kalau beruntung. Komandan JPers menangis!! Ya itulah fenomena menakjubkan yang kumaksud. Tidak kusangka hati komandan begitu lembut sampai-sampai terbawa suasana perpisahan itu. Lalu acara bersalam-salaman dan foto bareng. Hiksss….. terharuu…

Dari Plumpang kami tancap ke Pasar Festifal di Jaksel hingga malam, lalu ke Scoutshop milik Mz Aji di Cibubur. Seperti biasa, pasti akan terukir kisah-kisah lucu dan unik jika JPers saling berkumpul.

Terima kasih teman-teman di Jakarta yang menerima kedatangan kami…
Maaf kami merepotkan. Hiks….

@ Mba Ade Gappala: makasih dianterin mandi
@ teman-teman Gappala yang ketemu di Pasfes: Salam Kenal dari Nurul Aneh
@ Mz Dhe2, Mba QQ, Mz Amsi, Bang Cepot: Makasih ya dah datang dan ketemu Nurul di Pasfes
@ Mz Arief: Maaf yang spesiaaaaallll banget yah karena sering kucuekin, swear ga sengaja!

17 Maret 2009

Aksi Tanam 2000 Pohon


Foto-foto bisa dilihat di sini.

Sore itu aku, Mz dadank, Tias, Mz Wahyu, Mz Hero, dan Mz Mbenk berangkat ke Malang naik motor star dari rumahku di Sidoarjo. Niatnya besok mau ikutan aksi tanam 2000 pohon di pos II lereng gunung Arjuno jalur Lawang. Biar nggak telat kami perwakilan dari JPers menginap dulu di rumah Mz Tovik. Sekitar jam 9 malam Mba Devim datang juga dari Probolinggo. Setelah itu kami beli makan sampai hamper tengah malam.

Keesokan harinya, 8 Februari 2009 pagi-pagi kami berangkat ke PT. Otsuka. Acara ini dipanitiai oleh Pecinta Alam Indrialoka PT. Otsauka Lawang. Mz Kohan dan Mz Doi pagi itu juga bergabung. Mereka berdua datang langsung dari Surabaya. Ditambah Mz Aji dari Jakarta semakin lengkaplah tim JPers yang ikut kegiatan mulia ini. Dengan banner JPers yang keramat ini kami menjadi tim paling narsis di tempat itu. Tim lain duduk-duduk ngobrol, sedang kami foto-foto terus tanpa malu.

Diikuti oleh sekitar 300 peserta teman-teman pecinta alam se-Malang Raya acara ini insya Allah sukses. Kami menikmati berjalan beramai-ramai sampai pos II dan bersama-sama pula menanam 2000 pohon untuk penghijauan.



Setelah makan siang dan pembagian hadiah kami kembali ke PT Otsuka dan seperti biasa lagi-lagi foto-foto narsis dan ngobrol asik sampai akhirnya kami harus kembali ke rumah Mz Tovik. Malamnya kami hendak melepas kepulangan Mz Aji, tapi sungguh suatu khilaf akibat kecapekan kami telat. :D Maaf ya Mz….

Pulang jam 10 malem dari rumah Om Silo, masih sempat foto-foto di depan masjid Cheng Hoo di Pandaan. Fiuhh….. dan akhirnya aku tiba di rumah tepat jam 12 malem. Ngantuk.. capek.. tidur…!!

16 Maret 2009

Mendaki Ego


Senyum adalah sesimpul bahagia yang terucap lewat guratan wajah. Terukir dari hati yang ikhlas dengan kerendahan hati...
Tangis adalah air mata pedih yang membasahi pipi, menitik, karena goresan luka di hati, sesak yang tak tertahan...

Sebuah pendakian kulakukan karena aku "ingin". Ingin yang berbagai macam bentuknya dan harus diwujudkan dengan berbagai cara. Salahkah jika kulakukan saat musim hujan? Toh ada banyak orang yang mendaki di saat musim hujan.
"Udan. Jangan sampai rasionalmu terkalahkan oleh ego," sebuah SMS masuk ke nomorku saat baru beberapa meter aku melangkahkan kaki menapaki jalan di gunung ini. Kalimat pendek yang bermetamorfosa menjadi badai yang membawa pedih ke dalam hati. Melakukan sesuatu hal tanpa dukungan seorang sahabat. Sedihnya... :(

Saat sahabat sudah tidak berarti dalam sebuah perjalanan
Saat ia tidak dibutuhkan lagi
Saat sendiri mulai merajai
Saat sendiri adalah kebutuhan
Itu hanyalah ego jiwa manusia



Benarkah aku egois Ya Allah? Sahabatku sendiri yang mengatakan hal ini...
Ampuni aku atas kekhilafan ini.
Terima kasih karena Engkau menganugerahkan aku teman, kakak, sahabat yang baik seperti mereka, sahabat yang selalu menegurku dalam salahku dan selalu mengajakku dalam berbuat kebaikan.
Aku sayang mereka Ya Allah...
Lindungilah mereka dari segala marabahaya, dan kumohon berilah yang terbaik buat mereka, Amin.