Senin yang lalu aku datang terlambat saat kuliah filsafat seni. Alasannya karena aku harus menunggu seorang teman lebih dari tiga puluh menit di pinggir jalan tanpa kabar. Ingin kutinggal ia saat itu tapi kuurungkan. Kubayangkan bila yang nebeng itu adalah aku. Pasti kecewa dan sedih. Tidak! Aku bukan seorang yang egois. Berusaha sabar dalam rasa kecewa yang mendalam. Aku ingin marah, tapi aku tak bisa. Entah kenapa sulit sekali bagiku untuk marah pada seseorang. Ya sudahlah... Aku harap peristiwa seperti ini tak terulang.
Terlambat setengah jam.. Oh tidak. Maafkan aku, Pak dosen! Bukan absen yang aku kecewakan, tapi sedikitnya ilmu yang kudapat jika aku terlambat. Hiks... Pertemuan kali itu begitu singkat. Namun aku sangat bahagia ketika mendapat tugas menuliskansebuah pengalaman di mana kita merasa menyatu dengan objek keindahan. Dan inilah yang aku tulis:
Terlambat setengah jam.. Oh tidak. Maafkan aku, Pak dosen! Bukan absen yang aku kecewakan, tapi sedikitnya ilmu yang kudapat jika aku terlambat. Hiks... Pertemuan kali itu begitu singkat. Namun aku sangat bahagia ketika mendapat tugas menuliskansebuah pengalaman di mana kita merasa menyatu dengan objek keindahan. Dan inilah yang aku tulis:
“Aku tak ingin gagal lagi. Aku harus kuat. Ini hanya masalah kesabaran dan kekuatan mental,” kataku lirih pada diriku sendiri sembari terus melangkah walaupun nafasku sudah mulai sesak akibat menipisnya kadar oksigen di ketinggian serta debu beterbangan yang tak terkira banyaknya..
Hal ini kulakukan semata-mata agar aku tetap kuat hingga akhir perjuangan nanti. Bukanlah suatu hal yang mudah berjalan di kemiringan enam puluh hingga tujuh puluh derajad dengan medan jalur lahar berpasir yang terbentuk dari bongkahan lahar yang membeku.
“Ini adalah jalan menuju surga,” batinku lagi. Semangat itu benar-benar memberikanku kekuatan untuk terus melangkah. Pelan tapi pasti. Tak suka ku berhenti berlama-lama di tengah jalan karena itu hanya akan membuang-buang waktu dan memberikan kesempatan pada dingin ‘tuk membekukan otot-otot kakiku yang telah panas melangkah. Sebentar lagi tanah tertinggi pulau Jawa akan kuinjak. Aku sudah berjalan lebih dari empat jam sejak tengah malam tadi. Sebentar lagi pagi. Aku harus cepat jika tak ingin melewatkan pesona matahari terbit dari surga pulau Jawa. Sebagian teman-temanku telah tiba lebih dulu di sana. Teriakan-teriakan mereka seolah-olah menjadi vitamin yang menyegarkan tubuhku. Lelah tak begitu kurasakan seperti setahun yang lalu ketika sesal berkecamuk di dadaku. Kelelahan fisikku saat itu menggagalkanku menggapai surga. Kali ini aku harus berhasil. Harus!
Air mataku menitik lembut membasahi pipi yang telah menjadi sarang debu-debu Mahameru. Teman-teman menatapku dan berteriak, “Nuruuul kamu nyampe puncak.” Aku masih tak percaya dengan keajaiban ini. Aku telah melewati bukit pasir raksasa dan kini aku berasa di puncaknya. Sebuah tanah datar yang cukup untuk bermain sepak bola. Aku berjalan terus seolah-olah masih terbuai mimpi di mana keindahan pertiwi hanya sebuah hayalan semu. Hingga akhirnya aku tiba di memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis aktivis dan pecinta alam era 60-an barulah aku menyadari dan langsung bersujud syukur kepada Sang Pencipta.
Saat aku telah benar-benar sadar kusaksikan keindahan bumi pertiwi ke segala penjuru. Udara dingin benar-benar menusuk tulang. Berangkap-rangkap jaket yang kukenakan tak mampu menghangatkan tubuhku. Hingga ingus yang keluar dari hidungpun tak kurasasan. Meski dingin begitu menusuk tapi rasa gembira yang begitu membuncah membuatku bertahan menyaksikan lukisan cahaya ufuk timur. Sembari berjingkrak-jingkrak bibirku selalu tersenyum dan berteriak-teriak tak karuan sebagai ungkapan rasa puasku. Perlahan-lahan semburat kuning muncul menyapu sisa-sisa malam. Warna-warna indah terbentuk menghiasi langit timur membentuk siluet-siluet gelap. Lukisan Sang Maha Pencipta penuh dengan nilai estetis. Lalu aku sedikit berlari ke arah selatan. Garis-garis pesisir dan pantai Samudera Hindia dapat ditangkap oleh kedua mataku. Hamparan awan putih nan mempesona menyelimuti lautan.
“Hwaaa….. aku fotoooo!” teriakku sambil berlari ke arah keluaranya letusan dari kawah Jonggring Saloka. Aku berpose narsis dan tersenyum lebar menyambut wedhus gembel yang berwarna gelap. Kemudian orang-orang bergantian berfoto dengan latar belakang letusan asap Mahameru. Ketika letusan itu mereda maka yang lain harus menunggu lima belas hingga dua puluh menit lagi pada letusan berikutnya.
Kemudian aku kembali memuaskan mataku dengan pemandangan-pemandangan indah. Kali ini aku menatap ke arah jalan yang kulalui tadi. Dapat kulihat savana di antara bukit-bukit kokoh di bawah sana. Kemudian berganti menatap kepulan asap Gunung Bromo di kejauhan. Puncak-puncak gunung lain di Jawa Timur pun kelihatan di antara hamparan-hamparan awan yang enggan menghilang. Aku hanya dapat ternganga dan mengatakan, “Subhanallah….”
Saat turun pun tiba. Hari semakin siang. Sinar matahari begitu menyengat kurasakan di ketinggian 3676 meter meski rasa dingin tak kunjung pergi. Kucium memoriam Soe Hok Gie sebagai tanda penghormatanku. Kutatap puncak sekali lagi sebelum akhirnya aku berbalik dan mulai menuruni jalanan berpasir dan berbatu yang berbahaya. Batuan-batuan besar siap menggelinding ke bawah dan menghantam siapapun yang menghalanginya. Jurang-jurang menganga siap menanti mereka yang tidak berhati-hati. Jalur-jalur yang hampir sama juga tak kalah berbahaya untuk menyesatkan siapapun yang lengah. Bersyukur ada teman-teman yang mendampingiku hingga aku tak perlu khawatir.
Meski saat naik begitu berat tetapi Mahameru mempunyai keunikan tersendiri. Aku dapat berlari-lari saat turun dan perosotan seperti dulu waktu kecil. Bila semalam aku menempuh waktu lima jam hingga puncak kini jalanan itu dapat kuturuni kurang dari satu jam sambil berteriak-teriak meski masker menutupi sebagian wajahku. Pelindung mata sampai pekat berdebu. Pasir dan kerikil masuk ke dalam sepatu dan celanaku. Namun aku benar-benar menikmatinya, apalagi sembari berkejaran dengan teman seperjalanan dengan tawa, lelah, dan cinta.
Hal ini kulakukan semata-mata agar aku tetap kuat hingga akhir perjuangan nanti. Bukanlah suatu hal yang mudah berjalan di kemiringan enam puluh hingga tujuh puluh derajad dengan medan jalur lahar berpasir yang terbentuk dari bongkahan lahar yang membeku.
“Ini adalah jalan menuju surga,” batinku lagi. Semangat itu benar-benar memberikanku kekuatan untuk terus melangkah. Pelan tapi pasti. Tak suka ku berhenti berlama-lama di tengah jalan karena itu hanya akan membuang-buang waktu dan memberikan kesempatan pada dingin ‘tuk membekukan otot-otot kakiku yang telah panas melangkah. Sebentar lagi tanah tertinggi pulau Jawa akan kuinjak. Aku sudah berjalan lebih dari empat jam sejak tengah malam tadi. Sebentar lagi pagi. Aku harus cepat jika tak ingin melewatkan pesona matahari terbit dari surga pulau Jawa. Sebagian teman-temanku telah tiba lebih dulu di sana. Teriakan-teriakan mereka seolah-olah menjadi vitamin yang menyegarkan tubuhku. Lelah tak begitu kurasakan seperti setahun yang lalu ketika sesal berkecamuk di dadaku. Kelelahan fisikku saat itu menggagalkanku menggapai surga. Kali ini aku harus berhasil. Harus!
Air mataku menitik lembut membasahi pipi yang telah menjadi sarang debu-debu Mahameru. Teman-teman menatapku dan berteriak, “Nuruuul kamu nyampe puncak.” Aku masih tak percaya dengan keajaiban ini. Aku telah melewati bukit pasir raksasa dan kini aku berasa di puncaknya. Sebuah tanah datar yang cukup untuk bermain sepak bola. Aku berjalan terus seolah-olah masih terbuai mimpi di mana keindahan pertiwi hanya sebuah hayalan semu. Hingga akhirnya aku tiba di memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis aktivis dan pecinta alam era 60-an barulah aku menyadari dan langsung bersujud syukur kepada Sang Pencipta.
Saat aku telah benar-benar sadar kusaksikan keindahan bumi pertiwi ke segala penjuru. Udara dingin benar-benar menusuk tulang. Berangkap-rangkap jaket yang kukenakan tak mampu menghangatkan tubuhku. Hingga ingus yang keluar dari hidungpun tak kurasasan. Meski dingin begitu menusuk tapi rasa gembira yang begitu membuncah membuatku bertahan menyaksikan lukisan cahaya ufuk timur. Sembari berjingkrak-jingkrak bibirku selalu tersenyum dan berteriak-teriak tak karuan sebagai ungkapan rasa puasku. Perlahan-lahan semburat kuning muncul menyapu sisa-sisa malam. Warna-warna indah terbentuk menghiasi langit timur membentuk siluet-siluet gelap. Lukisan Sang Maha Pencipta penuh dengan nilai estetis. Lalu aku sedikit berlari ke arah selatan. Garis-garis pesisir dan pantai Samudera Hindia dapat ditangkap oleh kedua mataku. Hamparan awan putih nan mempesona menyelimuti lautan.
“Hwaaa….. aku fotoooo!” teriakku sambil berlari ke arah keluaranya letusan dari kawah Jonggring Saloka. Aku berpose narsis dan tersenyum lebar menyambut wedhus gembel yang berwarna gelap. Kemudian orang-orang bergantian berfoto dengan latar belakang letusan asap Mahameru. Ketika letusan itu mereda maka yang lain harus menunggu lima belas hingga dua puluh menit lagi pada letusan berikutnya.
Kemudian aku kembali memuaskan mataku dengan pemandangan-pemandangan indah. Kali ini aku menatap ke arah jalan yang kulalui tadi. Dapat kulihat savana di antara bukit-bukit kokoh di bawah sana. Kemudian berganti menatap kepulan asap Gunung Bromo di kejauhan. Puncak-puncak gunung lain di Jawa Timur pun kelihatan di antara hamparan-hamparan awan yang enggan menghilang. Aku hanya dapat ternganga dan mengatakan, “Subhanallah….”
Saat turun pun tiba. Hari semakin siang. Sinar matahari begitu menyengat kurasakan di ketinggian 3676 meter meski rasa dingin tak kunjung pergi. Kucium memoriam Soe Hok Gie sebagai tanda penghormatanku. Kutatap puncak sekali lagi sebelum akhirnya aku berbalik dan mulai menuruni jalanan berpasir dan berbatu yang berbahaya. Batuan-batuan besar siap menggelinding ke bawah dan menghantam siapapun yang menghalanginya. Jurang-jurang menganga siap menanti mereka yang tidak berhati-hati. Jalur-jalur yang hampir sama juga tak kalah berbahaya untuk menyesatkan siapapun yang lengah. Bersyukur ada teman-teman yang mendampingiku hingga aku tak perlu khawatir.
Meski saat naik begitu berat tetapi Mahameru mempunyai keunikan tersendiri. Aku dapat berlari-lari saat turun dan perosotan seperti dulu waktu kecil. Bila semalam aku menempuh waktu lima jam hingga puncak kini jalanan itu dapat kuturuni kurang dari satu jam sambil berteriak-teriak meski masker menutupi sebagian wajahku. Pelindung mata sampai pekat berdebu. Pasir dan kerikil masuk ke dalam sepatu dan celanaku. Namun aku benar-benar menikmatinya, apalagi sembari berkejaran dengan teman seperjalanan dengan tawa, lelah, dan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar