Di Indonesia ketika tiba hari raya haji atau hari raya Idul Adha hampir setiap daerah pasti melakukan penyembelihan hewan kurban sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Dan kini saat peradaban sudah semakin maju, agama Islam berkembang pesat, serta tingkat perekonomian sebagian masyarakat yang meningkat tentunya menjadi salah satu faktor meningkatnya kwantitas masyarakat yang menyembelih hewan kurban baik dilakukan di rumah-rumah maupun diserahkan ke masjid-masjid terdekat agar dapat dibagi-bagi secara merata kepada warga yang lebih membutuhkan.
Sungguh teladan yang baik dalam bersikap. Namun, ternyata perasaan miris muncul ketika kita melihat banyak masyarakat yang saling berebut daging dan saling berdesak-desakan yang kita ketahui dari televisi, internet, maupun media cetak. Ini benar-benar fakta yang sangat menyedihkan di balik agungnya suasana lebaran haji. Misalnya saja ricuh pembagian daging di di kantor Pengadilan Negeri (PN) Surabaya di Jalan Arjuno hari yang meskipun tidak sampai menelan korban jiwa, tetapi pasti tidak sedikit wanita, orang tua, dan anak-anak yang terinjak-injak ribuan massa yang saling berebut. Begitu juga ricuh pembagian daging kurban di Masjid Agung Kauman Semarang . Anak-anak menangis karena didorong ribuan warga yang ingin mendapatkan daging kurban. Dan tentu masih banyak lagi peristiwa-peristiwa ricuh pembagian hewan kurban di berbagai tempat.
Melihat dari berbagai peristiwa di atas nampaknya Idul Adha memang menjadi ajang “perbaikan gizi” nasional oleh masyarakat menengah ke bawah dan kemungkinan besar sudah sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah makan daging kecuali dengan mengharap welas asih orang yang lebih mampu melalui momentum seperti ini. Seperti yang saya kutip dari Kompas.com salah seorang pengantre bernama Imronah (45) berkata, "Saya rela jauh-jauh datang ke Semarang demi anak saya di rumah agar dapat menikmati daging kurban, mau beli tapi tidak punya uang," katanya. Ini merupakan bukti bahwa mereka (para orang tua) rela antre berlama-lama bahkan saling berdesak-desakan demi anak-anak mereka. Hal lain tentu saja karena kondisi perekonomian mereka yang kurang. Tragis dan menyedihkan!
Sepertinya peristiwa seperti ini sudah menjadi agenda tahunan di Indonesia . Meskipun berkali-kali terjadi dan terulang kembali agaknya sikap antisipasi panitia terasa kurang. Tentu saja tidak sepenuhnya salah panitia kurban karena sebetulnya mereka hendak berbuat baik. Namun, mugkin karena sistem pembagian yang kurang tepat memberi celah warga masyarakat untuk berdesak-desakan. Selain itu masyarakat sendiri bersikap seperti itu karena rasa takut tidak akan mendapat jatah daging. Bagaimanapun caranya mereka harus dapat walaud engan berebut. Mungkin sebaiknya panitia memikirkan cara lain agar hal seperti in tidak terulang di tahun-tahun berikutnya, misalnya dengan pembagian kupon serta pembagian dengan didistribusikan ke daerah warga misalnya ke kecamatan masing-masing, biar warga ini tidak tumplek-blek di satu tempat. Lebih baik sedikit repot dan mengeluarkan biaya tambahan daripada harus ada korban jiwa dan seolah-olah tidak memanusiawikan manusia.
Terakhir bagi kita yang bisa merasakan nikmatnya daging kurban, bahkan mendapat berlebih sampai eneg karena terlalu banyak hendaknya bersyukur bahwa kita masih bisa makan daging baik di saat lebaran maupun hari-hari biasa. Jangan kita serakah dengan meminta daging kurban padahal kita mampu, atau jika kita mempunya rizki yang berlebih kita bisa menjadikannya sebagai ladang untuk berbuat kebajikan kepada yang lebih membutuhkan.
Selamat Idul Adha…… ^_^