24 Desember 2010

Wisata Bukit Kelam yang Bernasib Kelam




Alkisah suatu hari ada seseorang bernama Bujang Beji. Postur tubuhnya besar tinggi, menyeramkan, dan memiliki banyak bulu. Dia hendak meminang seorang putri keraton Sintang yang bernama Dara Juanti. Namun saat itu Putri Dara Juanti sedang berduka karena saudaranya laki-lakinya meninggal sehingga pinangan Bujang Beji pun ditolak. Dia pun marah. Lalu dia pergi ke Kapuas Hulu untuk bertapa. Sang putri bingung dengan apa yang dilakukan oleh Bujang Beji. Ia pun mengamatinya dengan kekuatan magis. Barulah ia tahu bahwa Bujang Beji hendak mengangkat sebuah bukit batu besar untuk menutup muara Sungai Melawi di daerah kekuasaan sang putri.
Demi menggagalkan Bujang beji dalam mengangkat bukit tersebut, Putri Dara Juanti menyuruh putri-putri kahyangan untuk menggoda Bujang Beji. Mengetahui hal tersebut membuat Bujang Beji marah. Ia lalu bertapa membuat tangga ke kahyangan. Ia ingin membuat perhitungan dengan mereka. Ketika hendak sampai atas, tangganya dimakan rayap. Ternyata ia lupa belum memberi sesaji kepada rayap. Gagallah rencananya tersebut.
Ia pun mengangkat bukit itu lagi. Kali ini Dara Juanti yang menggodanya. Ia sibakkan roknya dan memperlihatkan pahanya yang putih tanpa noda kepada Bujang Beji. Bujang Beji lalu meletakkan bukit yang diangkatnya dan mengejar sang putri. Setelah itu baru ia sadar bahwa ia telah dikuasai oleh hawa nafsu. Ketika hendak mengangkat bukit itu lagi, ia sudah tak sanggup. Maka keberadaan Bukit Kelam itu masih menjadi legenda hingga sekarang.
Itulah sedikit paparan singkat versi sejarah yang saya dengar dari Bang Edy, salah seorang dari Dinas Pariwisata Sintang saat mengantar saya ke Bukit Kelam. Saya mendengar cerita itu saat berada di sebuah pendopo pengamatan bukit di kejauhan. Setelah bersitirahat sebentar kami baru menuju ke bukit tersebut.
Sepi… Itulah suasana di depan pintu masuk tempat wisata. Tak Nampak ada geliat penjagaan ataupun wisatawan yang ada di dalamnya. Hanya beberapa orang penduduk lalu lalang di jalan depan tempat wisata. Di pagar semen bagian depan tempat wisata tertera cerita legenda Bukit Kelam dalam bentuk relief. Di dalamnya? Sepi dan terbengkalai. Sangat berbeda dengan yang tertulis dalam buletin pariwisata Kalbar yang saya dapatkan ketika di Bandara Supadio.
Untuk naik ke atas bukit, saya harus melewati jalan setapak yang dilengkapi trap-trap semen. Lumayan melelahkan. Untung saja pemandu wisata saya sangat menyenangkan dan komunikatif. Di atas saya sempat bertemu dengan sekumpulan anak muda yang baru turun kemah. “Kasihan ya, ga ada gunung seperti di Jawa,” pikir saya. Lalu ada air terjun (Cuma batu doang sama air seuprit, hiks) dan juga goa kelelawar yang bau pesingnya sangat menyengat. Kami tidak naik sampai ke atas bukit karena permasalahan waktu. Kabarnya di puncak ada banyak sarang walet. Tentu sarang ini ada yang menjaga dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi.
Menurut saya, walaupun bukit ini fenomenal—kabarnya ini merupakan bukit batu terbesar di dunia— jika tidak dikemas dengan menarik tentu tak akan banyak menarik minat pengunjung. Sejujurnya saya tidak “menemukan” apa-apa di bukit ini selain cerita dan keterbengkalaian. Hehe… Maaf ya Sintang.

Kemegahan Museum Kapuas Raya


Masih di Sintang untuk hari ketiga. Tujuan saya selanjutnya adalah museum Kapuas Raya. Saya membayangkan akan menemui kondisi yang sama seperti museum-museum yang pernah saya kunjungi di Jawa. Perjalanan dari Sintang ke museum ini sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya rusak, sehingga memperlambat laju kendaraan dan tentu saja mengocok perut saya. Akibatnya, saya muntah di selokan depan museum.

Megah.. Itulah kesan saya pada pandangan pertama (meski masih mual), bahkan sangat megah mengingat di sekitar tempat itu rumah penduduk biasa-biasa saja, dan masih banyak hutan. Mungkin ini seperti oase di tengah gurun pasir (lebay ga sih). Dan bayangan saya saat hendak berangkat lagi terpatahkan oleh kenyataan di depan mata.
Saya pun melangkah menuju pintu masuk museum. Di sana sudah menunggu seorang wanita muda (maaf, saya lupa namanya) yang nantinya akan menjelaskan isi museum kepada kami. Dia tersenyum sangat ramah menyambut kami, lalu membantu kami berfoto di depan pintu masuk. Dia memulai penjelasannya dari sini karena di pintu masuk dipasang tiga benda yang menunjukkan keberadaan tiga etnik besar di Sintang, yakni Tionghoa, Melayu, dan Dayak.

Selanjutnya kami diajak melihat foto-foto mengenai kegiatan sehari-hari suku-suku tersebut yang ada di lorong museum, lalu berlanjut ke ruang-ruang berikutnya. Menurut informasi, museum yang baru diresmikan 11 Oktober 2008 lalu ini memiliki sekitar 600 objek koleksi, seperti lukisan, benda-benda dari kayu, tembaga, tulang, ukiran, batu, keramik, dan perak.
Bangunan museum seluas 25x50 m2 tersebut memiliki tiga ruang utama: pertama, ruang sejarah yang berisi tentang sejarah kapan Sintang didirikan; kedua, ruang kebudayaan yang berisi tentang irama kehidupan tiga etnis besar mulai dari kelahiran sampai kematian; dan ketiga ruang tenun ikat yang berisi berbagai macam motif kain tenun ikat dan teknik pembuatannya (ditampilkan dalam dokumenter audio visual).
Sayangnya saya hanya sebentar di sana karena jadwal perjalanan yang begitu padat. Tapi saya sangat menyarankan siapapun yang di/ke/dari Sintang untuk mengunjungi museum ini. Museum ini keren! Gratis lagi. Yuk ke museum!
FYI:
Museum Kapuas Raya, Jl. Sintang-Putussibau Km 14, Kalimantan Barat
Waktu kunjungan:
Senin s.d. Jumat pukul 08.00 – 15.00 WIB
Sabtu dan Minggu pukul 09.00 – 15.00 WIB
Hari libur nasional TUTUP.

21 Desember 2010

Petualang ACI Macam-macam Rupa


Kalau ada sekelompok orang yang terdiri dari anak-anak muda gokil, jail, gratil, aneh, sok imut, urakan, tapi juga plus pinter, kreatif, berwawasan dan selalu berpikir positif, itu pastilah Petualang ACI. 66 orang petualang yang lahir dari sebuah hajatan besar detikcom, Aku Cinta Indonesia.
Komunitasnya sih biasa-biasa aja, maksudnya ngga ada anak pejabat tingginya gitu loh. Tapi justru eksis karena berasal dari segala kalangan dan dari seluruh penjuru tanah air. Petualang ACI menjadi begitu bhineka dengan segala kekhasan serta keberagaman cara berpikir dan bertingkah laku. Namun perbedaan yang ada tidaklah menjadi persoalan bagi mereka. “berbeda bukan berarti tak sama” kata mereka. “ibarat pelangi, warna berbeda justru saling melengkapi, memiliki peran yang sama”.
Keberagaman yang rupa-rupa memang. Sebut saja misalnya Petualang ACI yang dewasa (Agus), yang masih anak-anak (Juput), yang setengah dewasa (Endro), yang setengah anak-anak (Zulvi), yang gimbal (Bhaga), yang pasangannya (Kawanda), yang orang ketiga (Akbar), yang liar (Yudi), yang cunihin (Ewink), yang gila naek gunung (Dede), yang gila gadget (Gilang), yang gila iPad (Heri), yang gila futsal (Ipul), yang gila beneran (Daenk), yang disorientasi (Egir), yang korban (Darto), yang gigih (Gesang), yang gaya tapi banyak disensor (Prama), yang pengamen (Achin), yang pelukis jalanan (Dadang), yang penyair (Harley), yang saudagar (Amad), yang polos (Ayos), yang lebih bernyali (Endi), yang diem-diem tomboy juga (Mahe), yang OKB (Better), yang berbobot (Wahid), yang seniman campur sari (Simbah), yang sok alim (Hadi), yang ngaku-ngaku dayak (Nico Borneo), yang korban bencana (Nico Wijaya), yang pegawai negri (Tata), yang indescribable (Prabu), yang freelance (Calvin), yang kelamaan di aceh (Citra), yang pengen punya agen travel (Topik), yang wartawan tapi gak pernah jalan-jalan (Amir), yang sok seleb (Yuga), yang rajin belajar (Masnur). eh, ada lho Petualang ACI yang udah ikut pemilu enam kali, namanya Mbak Tuti.
Petualang ACI yang cewek juga manis-manis, lucu-lucu, apalagi kalo gelap. Mereka juga ngga kalah beragam, mulai dari yang lagi hamil (Rini), yang lagi puber (Terryna), yang lagi banyak duit (Ucy), yang lagi galau (Ida), yang maskulin (Titis), yang sok imut (Utine), yang pendiem (Sendi), yang -ngerasa- mirip Nadine (Tuteh), yang beruntung (Hanin), yang kurang beruntung (Halida), yang aneh (Nurul), yang jarang muncul (Deewardani), yang gak pernah muncul (Anti), yang rajin menabung (Aci), yang pelupa (Riri), yang TKW (Susan), yang oriental (Diana), yang pengen banget ke jakarta (Jeine), yang ndeso (Alya), yang penulis (Rinda), yang penulis juga (Nonadita), yang anak pesantren (Putri), yang sok eropa timur (Inka), yang suka mandi hujan (Atre), yang mau jadi agen wisata (Bella), yang pengen jadi guru (Desi).
Hmm.. memang beragam ternyata. Tapi bukan berarti ngga kompak, malah mereka kompak banget. Satu dateng semua dateng, satu jalan-jalan semua jalan-jalan, satu makan semua makan, satu pulang semua pulang. Sportif pula. Kalo ditanya, ‘ini coklat siapa..?’ langsung pada ngaku. Kekompakan itu mereka tunjukkan dengan selalu melakukan segala sesuatu bersama-sama. Bagi mereka, mengangkat meja berempat akan terasa lebih ringan daripada mengangkat filing-cabinet sendirian.
Banyak cara bagi mereka untuk terus membina kekompakan. Ada yang dengan membentuk boyband gaya new-kids-on-the-block (Bhaga, Yudi, Ewink, Dede, Endi, Dadang), yang setelah beberapa kali latihan vokal ternyata lebih mirip dengan Masnait Group. Ada pula yang dengan membentuk kelompok belajar online (Egir, Gilang, Amad, Daenk, Zulvi, Mahe, Mbak Tuti, Titis, Hanin, Atre, Tuteh). Nama mereka selalu meramaikan thread-thread di milis ACI dengan pembahasan-pembahasan yang tak pernah final. Bahkan dengan campur tangan Dosen terbang dari Gorontalo sekalipun.
Kelompok lain melakukan kegiatan mulia menolong sesama di daerah bencana (Bhaga, Kawanda, Ucy, Diana, Riri), yang menganggap bahwa kegiatan mereka juga merupakan salah satu bentuk menjaga kekompakan. *yang ini gue gak berani pelesetin, kemanusiaan cuy..*
Beberapa yang lain secara perorangan juga turut andil dalam mempererat persaudaraan. Seperti contohnya Prama yang dengan gayanya secara rutin mengumpulkan temen-temen hanya untuk menceritakan kisahnya di perjalanan. Bahkan sampai ada beberapa Petualang ACI yang hafal betul cerita itu karena telah mendengarnya berulang kali. Lain lagi dengan Harley, yang dengan puisi-puisinya mampu menggugah rasa cinta seseorang.. eh, maksudnya rasa cinta terhadap Indonesia.
Perjalanan Petualang Aku Cinta Indonesia ke tempat-tempat tujuan wisata memang sudah berlalu. Namun kisah-kisah, catatan-catatan dan ingatan-ingatan tentang perjalanan itu masih melekat dan terus menjadi bahan perbincangan setiap kali Petualang ACI berkumpul. Tak akan cukup sepuluh buku tebal untuk menampung cerita mereka. Seakan tak pernah puas, Petualang ACI selalu menyempatkan datang ke suatu tempat untuk kumpul, berbagi cerita, makan, minum, ngomongin orang, mengatur rencana trip selanjutnya, dan pulang..
Memang, sejak awal belum pernah semua Petualang ACI berkumpul secara lengkap. Karena hampir dapat dipastikan, petualang asal Jayapura (untuk tidak menyebut Daenk :p) tidak akan sanggup hadir. Kecuali jika acara kumpul-kumpul itu diadakan di Jayapura. Itupun hampir dapat dipastikan cuma dia yang hadir. Berbeda dengan Agus yang walaupun tinggal di Gorontalo, tapi memiliki daya jelajah yang tinggi. Maklum, meskipun dia seorang dosen, cita-cita sebenarnya adalah menjadi pramugari. Bahkan dia lebih hafal seluk-beluk FX ketimbang anak-anak Jakarta.
Walau sulit, keinginan berkumpul kembali secara lengkap adalah obsesi Petualang ACI. Sehingga bisa bertemu dan mengenal lebih dekat satu sama lainnya, serta tidak ada lagi terdengar kata-kata, “yang pake kaos merah itu siapa sih?” atau “ooo.. ini toh yang namanya (sebutlah) mawar..” atau “yang namanya si A yang mana?” atau bahkan “lu partner gue ya waktu itu?”. Sangat disayangkan bukan?
Menyebut nama-nama Petualang ACI tentu saja tak lepas dari kesuksesan sebuah tim; Indri, Iie, Suhaeng, Ninuk, Ajeng, Izar, dkk. *maaf buat yang ngga kesebut, bukan ngga cinta, tapi ngga kesebut.. :)* yang dengan kerja kerasnya, telah membentuk 66 orang berperilaku menyimpang menjadi lebih menyimpang. Maksudnya, menjadi lebih berkembang, tidak hanya sekedar hobby travelling tetapi juga mampu mengoptimalkan segala aspek dari sebuah perjalanan. Salut deh buat tim detik..! □
-dadang-
tetap sunda, tetap tersenyum, tetap berbuat baik

07 Desember 2010

Menilik Keberadaan Candi-candi di Sidoarjo

Menurut informasi yang saya dengar, di Sidoarjo terdapat enam buah candi. Saya sebagai orang Sidoarjo yang sudah 21 tahun tinggal di sini, jujur belum pernah mengunjungi candi-candi tersebut. Memalukan memang, karena itulah kemarin saat ada kesempatan dan teman, segera saya mengunjunginya. Kami pergi berempat: Hero si baby white, Mas Wahyu, Mba Opay none Jakarte, dan saya dengan mengendarai motor.


Candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Dermo, terletak di Desa Candi Negoro, Kec. Wonoayu, Sidoarjo. Waktu itu saya heran ketika tahu bahwa candi tersebut berada di tengah perkampungan penduduk. Tempatnya tidak luas, hanya 15x15 meter, berpagar kawat (kawatnya difungsikan untuk jemuran pula), dan bersebelahan dengan makam. Tidak ada uang retribusi yang dikenakan untuk pengunjung. Kami hanya disuruh mengisi buku tamu, lalu diberi secarik kertas bertulisan tangan dari Dinas Purbakala mengenai keberadaan Candi Dermo. Candi ini tersusun atas bata merah setinggi 13, 50 m dengan panjang dan lebarnya masing-masing 10,84 m dan 10,77 m. Sisa lahan yang ada ditanami rumput dan beberapa bunga, sekaligus menandakan tempat ini masih terawatt. Sampai saat ini belum dapat diketahui kapan dan oleh siapa candi ini dibangun. Namun, diperkirakan berasal dari abad ke-14 M.

Candi kedua ternyata berbeda dari Candi Dermo. Candi ini hanya berupa tumpukan bata merah. Namanya Candi Medalem. Candi yang ditemukan tahun 1992 oleh Pak Tamaji ini diperkirakan sebagai tempat pembakaran atau mungkin fondasi candi. Tidak ada data pasti mengenai hal ini. Menurut informasi lagi, tataan batu bata merah ini memanjang sampai puluhan meter. Hanya saja kini bata-bata itu sudah terkubur di bahawa pohon-pohon pisang dan rumah penduduk. Nasib candi ini sungguh tragis karena tidak terawat dengan baik. Meski sempat ramai sejak candi ini ditemukan, kini candi ini terlantar tanpa penjaga dan tanpa pengunjung. Kini hanya satu dua orang saja yang datang ke sana, tidak untuk melihat candi, tetapi untuk mengambil air yang dianggap ajaib dari sumur tua di dekat candi. Pengunjung yang datang sebaiknya aktif bertanya kepada penduduk sekitar agar memperoleh informasi karena tidak ada papan informasi si situ. Bahkan papan larangan untuk tidak merusak situs pun sudah rusak dan berkarat.

Selanjutnya kami mengunjungi kompleks Candi Pari dan Candi Sumur yang lumayan terkenal. Letaknya di Dusun Candi Pari Wetan Kecamatan Porong, Sidoarjo. Saya tidak bisa mengeksplor terlalu banyak karena sedang hujan lebat dan tak seorangpun menjaga di sana. Pintu pagar Candi Pari saat itu tertutup, tapi saya masih bisa masuk ke area candi. Halaman/ taman candi ini lumayan luas dan tertata apik dengan rumput dan bebungaan. Langsung saja saya masuk ke dalam bangunan candi. Masih sama seperti candi-candi sebelumnya, candi ini disusun dari bata merah. Badan candi ini memiliki panjang dan lebar 7,80 m dan tinggi 6,30 m dengan atap menyatu dan dihuni beberapa kelelawar. Berbeda dengan Candi Pari, Candi Sumur yang berada 50 meter di dekatnya tampak tidak terlalu terawat meskipun masih bagus. Candi Sumur ini memiliki panjang 8 m, lebar 8 m, dan tinggi 10 m dan keberadaannya dihubungkan dengan Candi Pari.
Kedua candi tersebut diperkirakan dibangun pada abad ke-14 M, semasa dengan pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Selain itu kedua candi dianggap sebagai simbol kemakmuran Kerajaan Jenggolo (sekarang Sidoarjo) pada masa itu. Bahkan, Jenggolo disebut-sebut sebagai lumbung pangan untuk Majapahit. Pengunjung bisa dengan puas membaca sejarah candi yang tertulis di papan informasi.


Candi berikutnya lebih tragis lagi. Subut saja Candi Pamotan, terketak di Desa Pamotan kecamatan Porong. Lebar pintu masuk area candi hanya satu meter. Di sebelah kiri jalan ada kebun pisang dan kandang bebek yang hanya dipisahkan dengan pagar kayu. Candinya sendiri hanya berupa tumpukan bata merah karena atap dan badan candi sudah runtuh. Jika musim hujan, area candi ini akan tergenang hamper satu meter karena bangunannya yang menjorok ke bawah. Candi ini belum bisa dikatakan sebagai peninggalan kerajaan Majapahit meskipun tercatat bahwa candi ini berada di Negara daerah penting pada zaman Majapahit. Untuk informasi, tidak ada retribusi masuk. Namun, pengunjung bisa memberi uang sukarela kepada Ibu Lilik, penjaga candi, yang bertugas mencatat siapa saja pengunjung yang datang.