Coban Wilis yang Tak
Pasti
Coban Wilis |
Wajah yang tampak lelah dan masam itu
tiba-tiba berubah sumringah ketika wajahnya menoleh ke kanan di sebuah kelokan
di bibir jurang. “Hwaa… air terjun,” ujar Mba Omi senang dan terkejut. Dan
keterkejutan itu menimpa kami berlima. Air terjun yang mengalir ke jurang di
depan kami itu mungkin Coban Wilis yang kami cari. Tapi kami tidak tahu persis.
Hanya saja coban ini merupakan coban terdekat di antara dua coban yang lain
yang kami lihat sejak di tanjakan terakhir di bukit yang kami lewati sebelum
kami tiba di kelokan ini.
Berjam-jam sudah kami berjalan sejak pukul
11.30 siang dari rumah Mbah Bejo, hingga kini pukul 16.00 di Kelok Kejut (kami
namai seperti itu karena di kelokan ini penuh kejutan). Setelah kelokan itu ada
setapak menurun yang tak kami tahu pasti di mana ujungnya. Semoga saja mengarah
ke air terjun di depan kami, air terjun terdekat.
Biasanya wisatawan yang pergi ke coban
biasa memarkir kendaraannya di Patokwesi, tanah lapang batas antara perladangan
dengan hutan. Dan mereka biasanya tek-tok, yakni datang dan pulang dalam hari
yang sama. Tidak begitu dengan kami, dua buah tenda beserta logistik sehari
semalam sudah berada di ransel kami. Kami mau bermalam di sana, di tempat yang
tak kami ketahui apakah ada tempat untuk mendirikan tenda atau tidak. Karena
itu kami memilih memarkirkan kendaraan di rumah Mbah Bejo dan mencari jawab
atas ketidaktahuan kami itu. Pak Kastoro (penemu air terjun) telah memberitahu
kami kalau di atas tidak ada tempat buat kemping, apalagi di sekitar air
terjun, di sana batu-batu semua. Tapi Mas Tovik dengan pedenya mengajak untuk
kemping di sana, “Wes digowo ae tas’e, ndelok disek nang kono.”
Pemadangan dari Patokwesi |
Di
Patokwesi, medan yang akan kami hadapi terlihat. Lima bukit menjulang dan harus
kami lewati. Air terjun itu berada di ujung bukit kelima, di sebuah ceruk yang
sepi. Siang itu begitu terik dan pepohonan rindang tak banyak. Belum lagi kami
semua sedang kelaparan karena belum makan siang dan sebagian lain malah belum
makan sejak pagi hari. Keinginan memasak sekadarnya (mie instan) pun kami
urungkan karena persediaan air yang terbatas. Yap, kami hanya berjaga-jaga
terhadap kemungkinan terburuk, misalnya kami tidak sampai di air terjun dan
harus nenda di tempat lain yang belum tentu ada air karena kami di atas bukit,
sedangkan air hanya mengalir di sungai jauh di dasar jurang sana.
Karena lapar, lelah, dan dalam tanda tanya
seringkali kami mengimajinasikan hal-hal yang nggak jelas, misalnya “semangka
ceblok (semangka jatuh)” dari pohon padahal pohon semangka kan tidak seperti
pohon kelapa. Lalu, imajinasi lagi berharap pohon di pos III (pos sepoi-sepoi)
itu berbuah rambutan yang banyak, dan lain sebagainya. Trek selanjutnya ialah melipir
bukit dengan medan lumayan datar tapi sempit dan penuh semak tinggi.
Tiba di bukit keempat (mungkin)
pemandangannya begitu indah. Puncak Sumbing yang tinggi menjulang tampak begitu
kokoh dengan ditemani bukit-bukit lain yang sama kokoh hijau dan jurang-jurang
yang menganga. Kami terpesona dengan sisi lain Gunung Kelud yang ada di utara
Blitar ini. Pun begitu, suara air terjun samar-samar mulai terdengar. Saat itu
kami berusaha agar tidak kecewa. “Itu suara angin,” kata salah satu teman entah
siapa. Tapi setelah kami dengar lagi itu benar suara air terjun. “Tapi mana?”
kata saya.
Dua air terjun lain |
Di depan kami ada tanjakan yang kemudian
kami beri nama Tanjakan Galau karena saat melewati tanjakan itu kita pasti
merasa galau. Ada suara air terjun tapi tak tampak wujudnya. Lalu sedikit agak
ke atas, air terjun tinggi tampak mengalir di tebing di seberang jurang di sisi
kiri kami. “Waahh air terjunn,” kata kami senang. Tapi kemudian kami
bertanya-tanya, benarkah itu air terjunnya, kalau benar bagaimana kami menuju
ke sana karena kami dipisahkan jurang dalam, curam, dan jauh. Kalau harus
memutar berarti perjalanan masih jauh. Hiks..
Lalu sedikit naik ke atas lagi di dasar
jurang sebelah kanan ada air terjun bertingkat tiga yang begitu cantik.
“Cakeepp,” desis kami. Tapi lagi-lagi kami galau karena tak mungkin juga untuk
turun ke sana, teramat jauh dan tidak jelas jalurnya. Di antara kegamangan itu
kami terus berjalan mengikuti setapak yang ada hingga sampailah kami di Kelok
Kejut, kelokan yang tiba-tiba menyuguhkan sebuah pemandangan menakjubkan di
depan kami.
Bermalam di dekat
Coban Wilis
Kolam air terjun Coban Wilis |
Tas kami letakkan dan segera minum air
sumber yang begitu segar. Makanan kami keluarkan. “Sing penting maem sik,
masalah nenda kita pikirkan nanti,” celetuk teman-teman. Kami pun mulai memasak
dan sholat bergiliran. Akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di situ,
ada tanah datar cukup untuk satu tenda meskipun malamnya kami harus tidur
dengan kaki ditekuk dan dan tidak bisa bebas bergerak. Sempit. Setelah makan
malam, kami ngobrol lalu tidur.
Terbersit rasa takut waktu itu. Pertama,
kami kemping pada Kamis malam Jumat yang pasti mitosnya macam-macam, tidak saya
utarakan dan coba saya pendam dalam-dalam. Tapi kalau mau pipis saya tetap
minta antarkan Mbak Ifa atau suami saya Mas Arief. Hehe.. Ketakutan kedua ialah
karena di belakang, depan, dan sisi kanan tenda kami adalah tebing. Di sisi
kiri kami jurang. Haha, apa-apaan ini. Bagaimana kalau longsor?!
Aktivitas kami di Coban Wilis |
Kami nikmati waktu di sana dengan memasak,
berfoto, dan yang pasti bermain air terjun berair super dingin ini. Bagi saya
air terjun ini spesial, karena untuk mencapainya diperlukan perjuangan ekstra
dan terletak di tempat yang sangat indah, sepi pula. Saya rasa airnya pun air
sumber karena terletak jauh di ketinggian, berbeda dengan air terjun yang
seringkali ditemui di bawah (yang sering jadi tempat wisata) yang berasal dari
aliran sungai.
Alhamdulillah mbolang kami hari itu
sukses, lancar tanpa kendala nyasar, kekurangan air dan makanan. Logistik yang kami
bawa cukup spesial dan membikin nikmat. Terima kasih Kawan, terima kasih alam
Blitar, dan terima kasih Tuhan atas potongan surga ini.
Informasi Umum:
Coban Wilis terletak di lereng tenggara Gunung Kelud,
tepatnya di Desa Semen, Wlingi, Blitar bagian utara (bisa ditempuh lewat
Pujon-Ngantang-Selorejo kalau dari arah Malang). Lama perjalanan sekitar 4-5
jam, bisa dikurangi lagi kalau naik motor atau ngojek sampai ke Patokwesi.
Rute:
Desa Semen – Jalan Nanas – Kampung Aceh (Rumah Mbah Bejo) –
Patokwesi – Pos Bakar Ayam – Pos Sepoi-sepoi – Pos Hore - Tanjakan Galau – Kelok Kejut – Coban Wilis.
Tips:
Jika berniat kemping di sana sebaiknya kemping di Pos Hore,
tanah datar sebelum tanjakan galau, terlebih bila ke sana pada saat musim
hujan. Setidaknya sedikit lebih aman daripada di area air terjun yang
dikhawatirkan longsor.
Saya sempat ke coban Wilis tp tidak sampai di coba nya karena jalan di bukit terakhir sudah longsor dan tertutup semak belukar...Mungkin lebih baik menyusuri sungai namun sebaiknya di musim kemarau. SEMOGA BISA TERBUKA KEMBALI JALUR KESANA.
BalasHapuspak pas kesana juga semaknya tinggi sekali.. mungkin perlu dibuatkan jalur khusus wisata yg lewat ataa bukit saja menurut saya. Terima kasih sudab berkunjung
BalasHapus