19 Oktober 2012

Pameran Foto: Menelusuri Gunung Suci Penanggungan

Brosur Pameran

Kami mengundang Anda untuk datang dalam acara pameran foto "Menelusuri Gunung Suci Penanggungan" yang akan diselenggarakan pada tanggal 1-3 November 2012 di Welirang Room, Ubaya Training Centre (UTC), Desa Tamiajeng, Trawas.  Dalam pameran ini akan dipertunjukkan foto-foto pemandangan alam dan puluhan situs purbakala yang ada di Gunung Penanggungan hasil penelususran tim ekspedisi beberapa waktu yang lalu yang dipimpin oleh Bapak Hadi Sidomulyo.  
Hasil penelusuran ini juga akan dijadikan panduan Penanggungan Archeological Trail yang diprakarsai oleh Universitas Surabaya (Ubaya) melalui Kampus III (Ubaya Training Centre) yang ada di Desa Tamiajeng, Trawas.
Agenda Acara (selain kunjungan untuk melihat foto yang dipamerkan):

Kamis, 1 November 2012:

Pembukaan dan pemaparan program Penanggungan Archeological Trail.

Sharing fotografi bersama Don Hasman serta membandingkan foto-foto situs bidikannya di tahun 1990.



Jumat, 2 November 2012:
Pengenalan program ke para asosiasi travel agent

Sabtu, 3 November 2012:
Pers Conference dengan wartawan dan trekking ke Candi Selokelir
Gathering lintas komunitas atau kemping bersama setelah melihat pameran foto. Kemping akan dilakukan di areal perkemahan Ubaya Training Centre (UTC). Harap membawa perlengakapn dan logistic sendiri.

Minggu, 4 November 2012:
Trekking ke situs candi terdekat.

Tim Penelusuran Situs Purbakala:
1. Hadi Sidomulyo
2. Kusworo Rahadyan
3. Nurul Hidayati (saya)

Jangan lupa datang yaa...! Terbuka untuk umum dan gratis
========================================================
PASCA PAMERAN
Kesan Saya:
           Mempersiapkan ini terasa sangat melelahkan bagi saya dan suami. Memilah foto memang terlihat mudah, tapi kenyataannya tak seperti itu. Kejenuhan adalah musuh utama. Kami bisa duduk berjam-jam di depan komputer, lalu mendesain poster perblok jalur penelusuran candi (ada 4 blok), belum lagi kami harus memilih satu-satu dari ratusan foto yang ada dan mengeditnya. Yaa.. tapi selelah apapun, melakukan hal yang kami sukai terasa lebih menyenangkan. Bukankah begitu? Dan mengetahui kalau pameran kami ini sukses adalah suatu kebanggaan. Bertemu dan berinteraksi dengan berbagai orang juga tak kalah menarik. Dunia serasa lebih luas. Oh iya, banyak juga orang yang bertanya, "Nurul, kamu mahasiswa Ubaya?" Hehe.. Ya, saya memang bukan mahasiswa Ubaya, tapi Unesa. Bagi saya, tempat manapun akan jadi lebih baik selama saya bisa terus bertumbuh.
         Berita acara ini muncul di beberapa media massa (setelah sebelumnya kami ajak trekking ke Candi Selokelir), antara lain: Sindo (bag I), Sindo (bag II), Antara Jatim, Radar Surabaya. Sebenarnya ada yang perlu diluruskan mengenai Candi Selokelir. Selo artinya batu, kelir artinya wayang. Maksudnya ialah saat penemuan candi ini banyak ditemukan batu-batu yang berelief wayang yang menceritakan Cerita Panji (Panji Asmorobangun) pada zaman kerajaan Kediri. Bisa jadi Kediri pramajapahit atau pada masa Majapahit. Jadi ada kemungkinan bahwa candi ini sudah ada sejak zaman kerajaan Kediri dan digunakan sampai zaman akhir Majapahit/ 14-15 M. Sungguh merupakan suatu kenyataan yang mengagumkan.

Berikut ini adalah tulisan dari Akhmad Khuzaini:

Berdasarkan hasil penelitian Para Arkeolog tampaklah pada kita betapa pentingya peninggalan-peninggalan di daerah Penanggungan. Daerah ini sangat disucikan oleh masyarakat di pulau Jawa. Mereka beranggapan bahwa tempat ini merupakan tempat tinggal para dewa dan leluhurnya, yang ternyata banyak menyimpan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu kita semua harus mengakui kebesaran dan kebudayaan bangsa kita yang sudah mencapai taraf yang tinggi pada abad ke 15.

Daerah Penanggungan yang dipandang sebagai simbol kehidupan kosmis bangsa Indonesia, ternyata sangat menyimpan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang tak ternailai terhadap kemajuan ilmu kepurbakalaan di Indonesia. Punden-punden, candi-candi dan pertapaan-pertapaan, semuanya sebagai informasi kehidupan spirituil bangsa Indonesia pada masa-masa sejarah bangsa Indonesia pada sekitar abad 14 dan 15. Oleh karena itu pantaslah kita untuk mengenang dan mempelajari kembali, kalau kita semua menghendaki kehidupan yang tidak statis.

Kedatangan agama Hindu dan Buddha, semuanya itu justru lebih memberi corak dan landasan yang lebih jelas terhadap kebudayaan kita. Punden berundak dari zaman prasejarah, mempunyai fungsi sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan nenek moyang, sudah merupakan bangunan yang megah dan indah. Relief-relief dengan ceritera kepahlawanan yang melukiskan ceritera Mahabarata dan Ramayana tampak sudah menghiasi dinding-dinding candi, punden dan bangunan lainnya yang telah disesuaikan / menggambarkan keadaan masyarakat kita pada waktu itu. Altar-altar dalam kebudayana Hindu yang disebut padmasana, dengan bentuk batu bersusun sederhana, telah dibentuk kembali dalam gaya yang lebih artistik. Ada kemungkinan punden-punden yang terdapat di Penanggungan, pada masa belakangan berkembang pula, sehingga dapat mempengaruhi kebudayaan masyarakat Bali. Sebagai contoh bisa disebutkan Pura Besakih. Sedang pecahan gerabah buatan lokal ataupun import merupakan suatu bukti bahwa nenek moyang kita pada masa purba sudah hidup berkelompok sehingga merupakan suatu masyarakat yang teratur. Dan alat-alat itu ada kemungkinan dipergunakan untuk upacara-upacara keagamaan. Tempayan, pecahan gendi dan juga pecahan guci, memberi kesan kepada kita sebagai tempat air suci, yang selalu berfungsi dalam setiap upacara keagamaan. Umpak-umpak mengingatkan kita adanya suatu bangunan kuno yang berwujud pendapa untuk tempat upacara agama, musyawarah ataupun sebagai penginapan terhadap pesiarah-pesiarah, yang berpangkal pada kepentingan agama waktu itu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sampailah kita pada suatu kesimpulan mengenai hasil survai yang telah kami lakukan. Bertitik tolak kepada fungsi dan arti dari peninggalan-peninggalan daerah Penanggungan dapatlah kami sarankan hal-hal sebagai tersebut di bawah: (1). Pentingnya diadakan penelitian-penelitian lanjutan terhadap site-site yang terdapat di daerah Gunung Penanggungan, agar kita dapat lebih mengetahui latar belakang kehidupan masyarakat masa itu. Dan bila perlu mengadakan suatu ekskavasi. (2). Perlu diadakan restorasi bagi bangunan-bangunan yang mendekati keruntuhannya, agar kita tidak kehilangan jejak terhadap warisan budaya nenek moyang kita. (3). Mengadakan cagar budaya terhadap sisa-sisa bangunan di lereng Gunung Penanggungan. (4). Reboisasi yang dimaksud untuk mengurangi bahaya longsor (erosi), perlu adanya suatu peninjauan kembali, karena akar-akar pohon kalendra banyak menembus ke bangunan-bangunan kunonya, sehingga mempercepat proses keruntuhan. Disarankan agar kerja sama dengan Jawatan Kehutanan setempat diadakan.

13 Oktober 2012

Sungai Embaloh, Aku Padamu


Bangau di Kedamaian Hutan

Akhirnya mood untuk menulis cerita perjalanan ke Kalbar datang lagi. Langsung saja, kalau beberapa hari sebelumnya saya agak takut karena harus naik boat di Sungai Kapuas yang lebar dan dalam, kini saya merasa sedikit nyaman ketika naik boat di Sungai Embaloh di kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Sungainya tidak selebar dan sedalam Kapuas. Riaknya tak seseram Sungai Kapuas. Airnya pun tampak jauh lebih jernih, bahkan seakan kehijauan karena efek batuan dan lumut di dasar sungai.
Asiknya Berenang
Saya mulai perjalanan ke hulu dari Desa Sadap. Lama perjalanan kira-kira satu jam dengan jeram ringan. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan batu-batu besar, hutan lebat di kiri dan kanan sungai, rombongan ikan-ikan kecil yang berenang dan melompat-lompat di pinggir sungai, bahkan pemandangan sepasang biawak yang sedang kawin.
Di suatu tempat (entah apa namanya) kami berhenti. Anggap saja tempat peristirahatan (tempat nenda) terakhir sebelum besoknya kami trekking melihat orang utan. Yap, kami mau melihat orang utan. Tempatnya masih ke hulu lagi, tapi di seberang sungai. Karena lembab dan hutannya lebat, pacet ada di mana-mana. Duh, sakitnya ketika seekor pacet nemplok di paha kanan saya sejak memulai trekking. Awalnya saya nggak “ngeh” kalau rasa sakit itu akibat gigitan pacet. Ampuunn! Sayangnya meskipun kami trekking sampai berdarah-darah (lebayy) tak seekorpun orang utan terlihat. Pos pemantauannya saja sudah hampir roboh. Tak apalah, yang terpenting orang utan bisa hidup bebas di lebatnya hutan sana.
Kerumun Kupu-kupu
Tidak perlu kecewa! Masih banyak pesona lain di Sungai Embaloh TNBK ini. Di pagi dan sore hari saya berenang dengan senangnya di pinggir sungai. Saya suka sekali ketika kaki saya dikerumuni ikan-ikan kecil dan digigiti. Nggak perlu mahal-mahal terapi ikan di kota kan? Hehe.. Menu makan kami juga ikan lho. Guide kami susah payah menangkap ikan di sana. Sebenarnya ikannya banyak, hanya saja kami terkendala alat karena memang tidak ada rencana untuk memancing. Lalu kami juga sempat trekking ke air terjun menyusuri cabangan sungai kecil. Pertama-tama dangkal, tapi semakin disusuri airnya bisa setinggi leher. Tapi airnya jerniiihhhhhh banget nget nget dan di dasarnya berserakan batu-batu kecil yang berwarna-warni. Foto? Jangan tanya foto ya! Waktu itu saya benar-benar tidak siap dengan kondisi di mana-mana ada air. Saya belum punya underwater casing camera. Jadi terpaksa kamera harus masuk di tas dan dibungkus plastik.
Rangkong nun jauh di atas
Yang asik lagi, yaitu body rafting. Kami dibawa ke hulu dengan boat. Otomatis semakin ke hulu sungainya semakin dangkal dan berbatu. Kami disuruh memakai pelampung agar bisa mengambang dan terbawa arus. Jujur saya takut. Rekan saya, Mas Gigih, dan guide saya sudah turun duluan. Saya merasa dibayangi imajinasi buruk ala film-film anaconda dan sejenisnya. Dan lagi saat itu gerimis tiba-tiba turun. Duh, makin mencekam! Mereka merayu, mengatakan kalau ini aman, nggak ada ular atau buaya yang menggigit, juga motoris boat yang siap siaga. Saya masih takut. Tapiii, saya sangat iri dengan mereka. Tampaknya nikmat sekali. Ah, masak sih saya sudah jauh-jauh datang ke sini dari Pulau Jawa tapi tidak berani nyebur. Dan akhirnya, ketakutan itu terkalahkan oleh keinginan saya agar bisa merasakan body rafting selama setengah jam di sungai jernih tengah hutan di ujung utara Kalimantan Barat. Senangnyaaa!!
Bebatuan dan Ikan Kecil
Dua malam saya di sana. Malam pertama saya ngotot untuk tidur di bebatuan pinggir sungai bersama kawan dan guide. Sebenarnya mereka melarang karena khawatir bila di hulu sana turun hujan lalu air meluap sampai ke tempat kami, tapi saya ngotot. Padahal tahu nggak sih, punggung rasanya sakit sekali tidur di atas batu-batu yang tidak rata. Malam kedua, saya dan teman-teman akhirnya tidur di tenda yang letaknya kira-kira 50 meter dari sungai, agak naik ke ketinggian, dan pastinya bawahnya itu tanah, bukan batu, jadi empuk deh.
Hmm.. Mungkin suatu hari nanti akan semakin banyak orang yang rindu tempat-tempat seperti ini, tempat yang tenang, damai, dan membuat kita melupakan masalah yang ada di kota. Inilah sebagian kekayaan Taman Nasional Betung Kerihun. Ah seandainya saya bisa lebih blusukan ke dalamnya, pasti menyenangkan. Semoga kekayaan alam ini tetap terjaga kealamian dan kelestariannya. Aamiin.

Konser Idola dan Fotografi Panggung


Seringkali konser musik selalu identik dengan desak-desakan penonton, dimulai pada malam hari, penontonnya seabrek, dan kadang rusuh. Itulah kenapa saya tidak pernah nonton konser kecuali saat saya SMA dulu (mendatangkan band ibukota, tapi konser indoor). Saya baru nonton konser lagi minggu ini pada acara Jatim Fair 2012 di Grand City Mall Surabaya, yakni pada saat konser Shaggy Dog dan Endah n Rhesa. Itupun karena sekarang sudah ada suami dan sahabat yang menemani.
Yeaayy… Shaggy Dog emang keren, tapi sayangnya saya tidak terlalu suka. Tapi, Endah n Rhesa ajib banget! Sejak saya ngefans sama mereka, ini baru pertama kali saya nonton konsernya langsung. Duh, rasanya campur aduk. Penampilan mereka luar biasa. Terbukti lho, seorang teman yang belum tahu siapa Endah n Rhesa aja ternyata bisa suka dan nggak bosen berdiri di depan panggung sampai selesai. Hihihi…
Oke, langsung saja saya bagi foto-fotonya. Ini “stage photography” pertama saya sejak punya kamera dua tahun silam. Tentu saja masih dengan poket Canon Powershot SX 120IS. Sedikit menyesal karena membiarkan DSLR milik suami tidak terbawa ke konser. Hiks.. Saya lumayan iri dengan orang-orang yang membawa DSLR di samping saya. Praktis banget, jemari-jemari tangan kanan melakukan metering, sedang tangan kiri bisa zooming. Sedangkan saya, kalau sudah metering, lalu pencet setengah, lalu diarahkan ke orangnya eh ternyata belum pas, haduh mesti ngulang lagi. Saya banyak kehilangan momentum yang keren. Tapi ya disyukuri saja apa yang kita punya. 
Terakhir, selamat ulang tahun buat Jawa Timur yang ke-67. Jaya selalu!
Endah n Rhesa in Action

Shaggy Dog in Action