Yang banyak diketahui pendaki (termasuk saya) ialah bahwa untuk
mendaki Gunung Penanggungan hanya bisa lewat jalur Jolotundo (barat), Tamiajeng
(selatan), Ngoro (utara), dan Wonosunyo (timur). Kali ini saya ingin sedikit
bercerita kalau ada jalur lain untuk menuju atau pulang dari puncak dan
terdapat banyak candi di jalur tersebut. Sebutlah jalur itu jalur Kedungudi. Dinamai
demikian karena jalur tersebut berakhir di Desa Kedungudi, Kecamatan Trawas,
Mojokerto.
Saya sendiri baru sekali lewat sana. Itu pun bukan naik, tapi
turun dari puncak, dan dalam rangka pencarian&pendataan ulang candi-candi
bersama tim Penanggungan Archeological Trail 2012.
Singkatnya, waktu itu saya sudah bermalam di puncak Gunung
Penanggungan. Saya naik lewat jalur Tamiajeng (selatan) dan membutuhkan empat
jam perjalanan untuk tiba di puncak. Dan kami akan turun melalui jalur
Kedungudi. Jalur tersebut ada di sisi barat daya puncak. Dari puncak utama
(selatan) kita berjalan ke arah barat lalu mengikuti setapak yg arahnya agak
serong ke kiri. Ah, saya bingung menjelaskannya karena memang jalur ini jarang
sekali dilewati dan tidak ada penunjuk arah. Nanti arah turunnya itu sejajar
dengan jalur Jolotundo, hanya beda punggungan dan beda tujuan akhir.
Vegetasinya pun sama dengan jalur jolotundo, yakni berupa
rumputan, alang-alang, dan kaliandra. Medan juga sama terjalnya (setidaknya itu
menurut saya). Yang membuatnya istimewa ialah sejak dari atas hingga ke bawah
akan kita temui situs purbakala baik berupa goa maupun candi meskipun
kondisinya sudah tidak terlalu bagus. Dan dari atas kita sudah bisa melihat
posisi candi-candi tersebut.
Goa dan candi yang bisa kita temui akan saya sebutkan di bawah
ini. Seperti biasa, saya tidak akan memberikan keterangan apapun mengenai candi
seperti sejarah atau kapan dibuatnya. Kalau ditulis berdasarkan buku, bisa
panjang sekali. Hehe…
Goa Widodaren
Goa ini
menghadap ke barat. Mungkin jika musim angin datang dari timur tempat ini cocok
dipakai untuk kemping. Tapi ya tetap harus menggunakan tenda.
Goa ini
bagaikan oase di padang pasir. Hehe.. Posisinya ada di bawah tanah/ jalur yang
kita lewati. Sejuk sekali berada di dalamnya setelah kita berpanas-panas ria di
sepanjang jalur.
Posisinya
kira-kira 15 meter di kanan jalur, tertutup kaliandra dan semak. Jadi tidak
begitu terlihat.
Posisinya
masih satu punggungan dengan candi sebelumnya.
Masih
berada satu punggungan dengan candi-candi sebelumnya. Hanya saja sudah tidak
berbentuk, hanya serakan batu candi dan pecahan terakota.
Inilah
penampakannya baik dari atas maupun bawah.
Candi Siwa
Candi Lurah
Candi Carik
Hati
saya begitu riang begitu tiba di area Candi Carik. Bukan karena candinya, tapi
karena pesta buah. Ada buah semacam arbei yang sedang berbuah banyak sekali dan
ranum-ranum. Ahhh nikmat!
Candi Naga II
Lelah, kehabisan
air, kepanasan, tidak tertarik, itu yang saya rasakan. Bagaimana tidak, untuk
menuju candi ini kita harus turun dulu dari lokasi Candi Carik (entah berapa
meter saya lupa) lalu menembus semak dan kaliandra lebat ke arah selatan (kiri)
lalu mendaki lagi sejauh turunan tadi.
Setelah Candi Naga II, jalur mulai datar dan mengarah ke Desa
Kedungudi. Tidak ada pos pendakian di sana. Waktu itu kami hanya mampir di
warung untuk membeli minum. Untuk transportasi kembali ke Tamiajeng pun kami
dijemput mobil.
Note: Maaf yang saya pasang adalah foto narsis. Sengaja. Hehe..
Candi Lurah itu mirip seperti salah satu candi yang ada di jalur Jolotundo ya? (Candi Putri kalau ga salah)
BalasHapusAku pernah liwat sini mba' NurulAneh hahaha kereeen turunannya, seseru si photographr Koran Sindo yg kesengat lebah hahahaa (hasil ngintipin blog'nya mba NurulAneh) salam...
BalasHapusmenarik juga jalur ini ... pesona situs budaya yg masih bertahan walaupun agak tdk terawat .... kapan-kapan saya bisa minta info jalurnya ...
BalasHapusWaaah. Belum lagi keturutan ke Penanggungan via Jolotundo, ini ada lagi jalur yang nggak kalah menarik! Buat saya pribadi, jelajah candi memang selalu menyenangkan..
BalasHapus:D