24 Juli 2013

Perjuangan Melahirkan Anak Pertama Secara Secar


Tidak hanya melahirkan secara normal yang butuh perjuangan. Secar juga butuh, terutama untuk orang-orang yang memimpikan proses kelahiran normal untuk anak pertamanya. Dan saya berjuang agar jiwa raga saya selaras seiya sekata untuk mau mengeluarkan bayi yang sudah 9 bulan 16 hari tumbuh di dalam rahim saya ini melalui operasi secar.
Gilang Prabu Avisena


2 Juli 2013
Pagi itu (2/7) beberapa tetes air mata sempat membasahi pipi saya dalam perjalanan pulang ke rumah. Mas Arief yang membonceng saya mungkin tidak tahu, tapi saya yakin ia pun merasakan kegundahan saya, bahkan saya yakin ia pun turut gundah.
“Ini saya beri rujukan ke RS, silakan dipikirkan mau diinduksi atau secar,” begitu kata dr.Maya saat saya kontrol kehamilan yang sudah memasuki usia 41 minggu.
Mas Arief langsung menyuruh saya secar saja. Haduh, jujur saya tidak siap. Sejak awal saya menginginkan kelahiran normal pervaginam. Pemberdayaan diri pun rutin saya pelajari dan saya lakukan. Dan lagi, ini masih 41 minggu. Masih ada waktu seminggu lagi untuk menunggu gelombang cinta (kontraksi) itu datang. Saya tidak rela rahim saya dipaksa kontraksi dengan hormon sintetis yang tentu saja tidak nyambung dengan otak. Saya pun tidak rela bila bayi dalam perut saya harus dipaksa keluar sebelum waktunya. Entah kenapa saat itu saya masih yakin bahwa debay akan punya waktu sendiri untuk lahir normal. Paling tidak sebelum tanggal 8 Juli.

8 Juli 2013 – 42 Minggu Kehamilanku
Hari yang saya takutkan pun datang. Meski takut saya berlagak santai. Seminggu ini benar-benar hari yang berat. Saya berada dalam ketidakpastian, kebimbangan, juga kekhawatiran pada bayi dalam rahim saya yang semakin menua. Segala usaha saya (induksi alami) agar ada kontraksi pun tak menunjukkan hasil sama sekali. Maka pagi ini saya dan suami check up ke dr.Kris di RS Bhakti Rahayu Surabaya.
Dan hasilnya pun sama. Dokter langsung menyuruh agar saya dioperasi pukul 1 siang, padahal saat periksa jam menunjukkan pukul 12 siang. Saya pun nego agar sc dilakukan besok saja dan diterima. Dengan wajah tenang saya pun bilang ke suami “IYA”. Bahkan kami masih sempat makan mie ayam ceker di dekat alun-alun Sidoarjo. Tapi begitu sampai di rumah rasanya saya ingin menangis, tapi tertahan. Saya sampaikan keputusan itu ke ibu. Beliau mengiyakan tapi matanya merah menahan air mata. Dan malam itu Mas Arief mengelus saya dengan penuh kasih. Mungkin ia kasihan pada saya karena tahu bahwa saya begitu ingin melahirkan normal. Tapi ini demi anak kami.

9 Juli 2013
Pagi ini harusnya kami berangkat ke Rs untuk sc. Tapi saya malah menangis sejadi-jadinya ke ibuk (hehe..). Saya katakan kalau saya takut. Ya, waktu itu saya memang benar-benar takut. Saya takut dengan segala prosedurnya, takut ruang operasi, takut dioperasi, dsb. Entahlah. Rasanya air mata yang sejak seminggu lalu saya simpan baik-baik (agar bayi tidak stres) dengan mudahnya tumpah begitu saja. Mas Arief marah. Saya mengerti, kemarahannya itu karena ia khawatir dengan bayinya. Dan saya pun berjanji padanya siap tidak siap esok hari saya mau disecar.
Siang harinya ortu mengajak saya ke seorang ustad. Di sana saya diberi air zam-zam yang sudah dibacakan doa-doa untuk saya minum dan saya usap-usapkan ke perut agar bisa melahirkan normal. Saya kurang yakin itu berhasil, tapi saya nurut saja. Saya hanya percaya bahwa doa-doa ini tetap akan bermanfaat buat saya dan de bayi.
Entah kenapa setelahnya saya malah merasa bersalah telah menunda-nunda kelahirannya. Saya sudah berusaha, saya sudah berdoa, saya sudah menunggu, kenapa mesti ragu-ragu. Barangkali ini maunya Allah. Barangkali ini lebih baik daripada memaksakan diri melahirkan normal. Dan keyakinan untuk mau di-sc itu tiba-tiba datang dengan kuat. Tak ada lagi ragu dan air mata. Bahkan malam itu saya masih sempat ikut shalat tarawih pertama bulan Ramadan di masjid bersama suami.

10 Juli 2013
Pergi dengan hati tenang dan plong ternyata begitu menyenangkan. Ini awal ramadan, dan jagoan saya akan lahir hari ini. Bismillah. Allah sudah memberi saya kekuatan penuh untuk melawan rasa takut dengan proses operasi dan segala tetek bengeknya. Keinginan untuk menangis sudah tak ada lagi. Santai.
Begitu selesai registrasi saya langsung masuk ruang bersalin. Di sana saya ganti baju, dipasang infus, dipasang kateter, lalu menunggu giliran masuk ruang operasi. Dengar-dengar hari itu lumayan banyak yang akan melahirkan secar. Semoga sc itu karena indikasi medis, bukan karena semata-mata agar anaknya lahir pada 1 ramadan. Setelah sekitar sejam di ruang bersalin, saya pun digeladak ke ruang operasi. Ini saatnya, begitu pikir saya. Ternyata saya mesti menunggu lagi. Pakaian operasi, infus, kateter yang membuat tidak nyaman, perut yang mendadak mulas, dan lagi harus telentang berjam-jam. Berat!
Masuk r.operasi sekitar pukul 12, dan saya baru masuk kamar operasi pukul 13.40 wib. Lama bukan? Kenapa ya ruang operasi harus berwarna putih? Kenapa nggak dicat pink atau diberi gambar bunga-bunga? Saya sedikit tegang. Untung saja para petugas kesehatan itu pada ramah dan mengajak bercanda. Pelan-pelan saya ditidurkan di atas kasur eksekusi, dipasang oksigen, dipasang tensi, lalu dibius di sumsum tulang belakang. Karena ada sedikit takut kalau-kalau bius belum bekerja tapi dokter sudah mulai bekerja trus saya bakal kesakitan maka saya pun terus menggerak-gerakkan kedua jempol kaki. Yaa paling tidak biar mereka tahu kaki saya belum mati rasa, jadi jangan disobek dulu. Hehe.. Lama-lama saya sudah tidak bisa merasakan tubuh bagian bawah saya. Dokter dan timnya mulai bekerja. Pas bayi mau dikeluarkan mereka menyuruh saya mengambil nafas dalam-dalam, lalu ada yang menekan perut atas saya, dan.. “oeekk.. oeekk.. oeeekkk….”

Mereka           : mau laki-laki apa perempuan?
Saya                : laki-laki
Mereka           : lho ada manuke. Noleh kiri, Bu.
Saya           : (meneteskan air mata) hiks.. (Subhanallah, bayi yang selama ini menendang-nendang perut saya akhirnya lahir ke dunia, dan saya sekarang bisa melihatnya, lalu ia dibawa pergi sang suster)

Lalu saya pun menunggu cukup lama agar dokter menyelesaikan pekerjaannya menjahit apa yang telah disobeknya. Untung saja suster datang lagi untuk menunjukkan bayi saya yang saat itu sudah dibedong, lalu didekatkan ke wajah saya agar saya bisa menciumnya. Subhanallah. Alhamdulillah.
Dan lahirlah putra kami, Gilang Prabu Avisena, Rabu 10 Juli 2013 pukul 14.00, melalui operasi secar di RS Bhakti Rahayu Ketintang. Semoga menjadi anak soleh, berbakti pada orang tua, bermanfaat buat umat. Aamiin ya Robb.

Manusia berusaha, Allah yang menentukan. Allah sebaik-baik pembuat rencana dan pengambil keputusan. Insya Allah secar adalah pilihan yang terbaik untuk putra saya. Alhamdulillah ASI keluar banyak dan de Gilang tidak rewel walaupun malam hari. Insya Allah ini efek dari pemberdayaan diri yang saya pelajari selama kehamilan. Tidak ada yang sia-sia bukan?