Tidak hanya melahirkan secara normal yang
butuh perjuangan. Secar juga butuh, terutama untuk orang-orang yang memimpikan
proses kelahiran normal untuk anak pertamanya. Dan saya berjuang agar jiwa raga
saya selaras seiya sekata untuk mau mengeluarkan bayi yang sudah 9 bulan 16
hari tumbuh di dalam rahim saya ini melalui operasi secar.
Gilang Prabu Avisena |
2 Juli 2013
Pagi itu (2/7) beberapa tetes air mata
sempat membasahi pipi saya dalam perjalanan pulang ke rumah. Mas Arief yang
membonceng saya mungkin tidak tahu, tapi saya yakin ia pun merasakan kegundahan
saya, bahkan saya yakin ia pun turut gundah.
“Ini saya beri rujukan ke RS, silakan
dipikirkan mau diinduksi atau secar,” begitu kata dr.Maya saat saya kontrol
kehamilan yang sudah memasuki usia 41 minggu.
Mas Arief langsung menyuruh saya secar
saja. Haduh, jujur saya tidak siap. Sejak awal saya menginginkan kelahiran
normal pervaginam. Pemberdayaan diri pun rutin saya pelajari dan saya lakukan.
Dan lagi, ini masih 41 minggu. Masih ada waktu seminggu lagi untuk menunggu
gelombang cinta (kontraksi) itu datang. Saya tidak rela rahim saya dipaksa
kontraksi dengan hormon sintetis yang tentu saja tidak nyambung dengan otak.
Saya pun tidak rela bila bayi dalam perut saya harus dipaksa keluar sebelum
waktunya. Entah kenapa saat itu saya masih yakin bahwa debay akan punya waktu
sendiri untuk lahir normal. Paling tidak sebelum tanggal 8 Juli.
8 Juli 2013 – 42
Minggu Kehamilanku
Hari yang saya takutkan pun datang. Meski
takut saya berlagak santai. Seminggu ini benar-benar hari yang berat. Saya
berada dalam ketidakpastian, kebimbangan, juga kekhawatiran pada bayi dalam
rahim saya yang semakin menua. Segala usaha saya (induksi alami) agar ada
kontraksi pun tak menunjukkan hasil sama sekali. Maka pagi ini saya dan suami
check up ke dr.Kris di RS Bhakti Rahayu Surabaya.
Dan hasilnya pun sama. Dokter langsung
menyuruh agar saya dioperasi pukul 1 siang, padahal saat periksa jam
menunjukkan pukul 12 siang. Saya pun nego agar sc dilakukan besok saja dan
diterima. Dengan wajah tenang saya pun bilang ke suami “IYA”. Bahkan kami masih
sempat makan mie ayam ceker di dekat alun-alun Sidoarjo. Tapi begitu sampai di
rumah rasanya saya ingin menangis, tapi tertahan. Saya sampaikan keputusan itu
ke ibu. Beliau mengiyakan tapi matanya merah menahan air mata. Dan malam itu
Mas Arief mengelus saya dengan penuh kasih. Mungkin ia kasihan pada saya karena
tahu bahwa saya begitu ingin melahirkan normal. Tapi ini demi anak kami.
9 Juli 2013
Pagi ini harusnya kami berangkat ke Rs
untuk sc. Tapi saya malah menangis sejadi-jadinya ke ibuk (hehe..). Saya
katakan kalau saya takut. Ya, waktu itu saya memang benar-benar takut. Saya
takut dengan segala prosedurnya, takut ruang operasi, takut dioperasi, dsb.
Entahlah. Rasanya air mata yang sejak seminggu lalu saya simpan baik-baik (agar
bayi tidak stres) dengan mudahnya tumpah begitu saja. Mas Arief marah. Saya
mengerti, kemarahannya itu karena ia khawatir dengan bayinya. Dan saya pun
berjanji padanya siap tidak siap esok hari saya mau disecar.
Siang harinya ortu mengajak saya ke
seorang ustad. Di sana saya diberi air zam-zam yang sudah dibacakan doa-doa
untuk saya minum dan saya usap-usapkan ke perut agar bisa melahirkan normal.
Saya kurang yakin itu berhasil, tapi saya nurut saja. Saya hanya percaya bahwa
doa-doa ini tetap akan bermanfaat buat saya dan de bayi.
Entah kenapa setelahnya saya malah merasa
bersalah telah menunda-nunda kelahirannya. Saya sudah berusaha, saya sudah
berdoa, saya sudah menunggu, kenapa mesti ragu-ragu. Barangkali ini maunya Allah.
Barangkali ini lebih baik daripada memaksakan diri melahirkan normal. Dan
keyakinan untuk mau di-sc itu tiba-tiba datang dengan kuat. Tak ada lagi ragu
dan air mata. Bahkan malam itu saya masih sempat ikut shalat tarawih pertama
bulan Ramadan di masjid bersama suami.
10 Juli 2013
Pergi dengan hati tenang dan plong
ternyata begitu menyenangkan. Ini awal ramadan, dan jagoan saya akan lahir hari
ini. Bismillah. Allah sudah memberi saya kekuatan penuh untuk melawan rasa
takut dengan proses operasi dan segala tetek bengeknya. Keinginan untuk
menangis sudah tak ada lagi. Santai.
Begitu selesai registrasi saya langsung
masuk ruang bersalin. Di sana saya ganti baju, dipasang infus, dipasang
kateter, lalu menunggu giliran masuk ruang operasi. Dengar-dengar hari itu
lumayan banyak yang akan melahirkan secar. Semoga sc itu karena indikasi medis,
bukan karena semata-mata agar anaknya lahir pada 1 ramadan. Setelah sekitar
sejam di ruang bersalin, saya pun digeladak ke ruang operasi. Ini saatnya,
begitu pikir saya. Ternyata saya mesti menunggu lagi. Pakaian operasi, infus,
kateter yang membuat tidak nyaman, perut yang mendadak mulas, dan lagi harus
telentang berjam-jam. Berat!
Masuk r.operasi sekitar pukul 12, dan saya
baru masuk kamar operasi pukul 13.40 wib. Lama bukan? Kenapa ya ruang operasi
harus berwarna putih? Kenapa nggak dicat pink atau diberi gambar bunga-bunga?
Saya sedikit tegang. Untung saja para petugas kesehatan itu pada ramah dan
mengajak bercanda. Pelan-pelan saya ditidurkan di atas kasur eksekusi, dipasang
oksigen, dipasang tensi, lalu dibius di sumsum tulang belakang. Karena ada
sedikit takut kalau-kalau bius belum bekerja tapi dokter sudah mulai bekerja
trus saya bakal kesakitan maka saya pun terus menggerak-gerakkan kedua jempol
kaki. Yaa paling tidak biar mereka tahu kaki saya belum mati rasa, jadi jangan
disobek dulu. Hehe.. Lama-lama saya sudah tidak bisa merasakan tubuh bagian
bawah saya. Dokter dan timnya mulai bekerja. Pas bayi mau dikeluarkan mereka
menyuruh saya mengambil nafas dalam-dalam, lalu ada yang menekan perut atas
saya, dan.. “oeekk.. oeekk.. oeeekkk….”
Mereka : mau
laki-laki apa perempuan?
Saya :
laki-laki
Mereka : lho
ada manuke. Noleh kiri, Bu.
Saya : (meneteskan air
mata) hiks.. (Subhanallah, bayi yang selama ini menendang-nendang perut saya
akhirnya lahir ke dunia, dan saya sekarang bisa melihatnya, lalu ia dibawa
pergi sang suster)
Lalu saya pun menunggu cukup lama agar dokter menyelesaikan
pekerjaannya menjahit apa yang telah disobeknya. Untung saja suster datang lagi
untuk menunjukkan bayi saya yang saat itu sudah dibedong, lalu didekatkan ke
wajah saya agar saya bisa menciumnya. Subhanallah. Alhamdulillah.
Dan lahirlah putra kami, Gilang Prabu
Avisena, Rabu 10 Juli 2013 pukul 14.00, melalui operasi secar di RS Bhakti Rahayu
Ketintang. Semoga menjadi anak soleh, berbakti pada orang tua, bermanfaat buat
umat. Aamiin ya Robb.
Manusia berusaha, Allah yang menentukan.
Allah sebaik-baik pembuat rencana dan pengambil keputusan. Insya Allah secar
adalah pilihan yang terbaik untuk putra saya. Alhamdulillah ASI keluar banyak
dan de Gilang tidak rewel walaupun malam hari. Insya Allah ini efek dari
pemberdayaan diri yang saya pelajari selama kehamilan. Tidak ada yang sia-sia
bukan?
Waah udah lahir.. :)
BalasHapusselamat ya Rul... semoga dek Gilang jadi anak sholeh yang selalu jadi penyejuk hati kedua orang tuanya.
Normal atau sc itu cuma 'jalan keluarnya'aja kan.. :)yang penting semua sehat yaaa..
iya alhamdulillah mbak..
Hapusmesti banyak belajar jadi ibu yg baik biar dede gilang bisa jadi anak soleh :)
Terharu...T.T
BalasHapusDan manusia boleh bermimpi, berusaha sekuat tenaga juga disertai do'a, tapi Allah SWT lebih berhak atas hasilnya. Ikhlas, pasti ada hikmah dibalik ini semua.
iya.. sudah ikhlas pas hari H secar..
Hapuspas ragu2 itu aku berdoa minta diberikan kelapangan hati sama Allah, dan Allah mengabulkan :)