18 September 2019

Egoisme Ibu Pendaki: Pendakian Malam Gunung Penanggungan Bersama Dua Anak

Naluri sebagai orang tua tentu saja akan menuntun kita untuk menimbang segala aspek dan baik buruk suatu hal demi kepentingan anak. Termasuk ketika kami hendak mendaki Gunung Penanggungan kala itu. Rencana awalnya, kami akan mendaki siang hari saat jalan terhampar jelas di depan mata. Lalu sampai di lokasi sebelum malam sehingga anak-anak bisa beradaptasi dulu dengan lingkungan sekitar. Nyatanya ….
Siang itu awan hitam masih menggelayut di langit Sidoarjo diselingi hujan ringan yang datang pergi sesuka hati. Tas carrier masih kosong belum saya isi apapun. “Cuaca nggak bersahabat, alamat nggak jadi,” pikir saya. Ya sudah saya pun tidur siang dan terbangun pukul 3 sore bersamaan dengan pulangnya suami dari toko.
“Gimana, Yah?” tanya saya pada ayahnya anak-anak.
“Ayo siap-siap, Ismet jadi ikut. Berangkat habis magrib.”
Waduh, kok habis magrib pikir saya. Berarti nanti jalan malam hari. Tapi mungkin saya yang terlalu egois ya, jadi mengiyakan saja. Anak-anak pun sudah antusias. Mereka suka sekali tidur di dalam tenda berteman udara dingin.

Selepas magrib kami masih bersiap. Mbungkus sate dan beberapa makanan buat bekal nanti. Dan akhirnya kami baru melaju sekitar pukul 7 malam menuju Desa Tamiajeng, Trawas. Singkat cerita pukul 9 malam kami baru mulai pendakian. Tanah basah menunjukkan hujan belum lama pergi. Melihat itu saya sedikit merasa bersyukur tidak diguyur hujan saat di perjalanan nanti.  Pos 1 (perizinan) sampai pos 2 medan masih sama dengan 7 tahun lalu. Yak, terakhir saya kesana memang 7 tahun lalu. Lalu saya kaget di pos 2 ada warung. Ya ampun, 7 tahun lalu saya merinding di sana karena ada cahaya merah bergerak-gerak, yang ternyata orang sedang merokok dalam kegelapan. Kini, kesan mistis itu hilang. Belum lagi soal ramainya orang. Dari yang bercarrier besar hingga yang bawa tas kecil atau bahkan yang tak membawa apa-apa. Dari yang bersepatu gunung sampai yang bersandal hak pendek. Dari yang jomblo sampai yang membawa anak (saya dong). Ramai sekali! Benar-benar berbeda.

Lintang, anak saya yang kecil lebih sering terlelap dalam gendongan ayahnya. Sementara Gilang, anak saya yg besar, jalannya cepat sekali. Dia nggak banyak omong cuma kadang bertanya kapan sampai karena dia sudah ngantuk. Dalam hati saya kasihan sekali padanya. Dia minta tidur di gunung malah saya ajak ke Penanggungan yang medannya berat. Di titik itu penyesalan saya sangat tinggi. Egois sekali saya menyusahkan anak-anak demi keinginan pribadi. Saya selalu menghiburnya agar ia tertawa. Untung saja anak saya keren. Setiap pos terlewati dengan aman. Anak saya hanya kesulitan melewati jalur tanah becek dan licin. Jalur yang ditrap-trap oleh warga dan akhirnya berlumpur saat musim hujan seperti ini. Beberapa kali jatuh dan kotor tapi syukurlah dia nggak manja dan masih tetap mau berjalan. Kesulitan mulai bertambah saat melewati pos 4. Medan tanjakan batunya tinggi-tinggi dan itu menyulitkan anak saya. Bilamana kami mengambil sisi kanan yang medannya tanah, kami kesulitan melangkah karena licin. Rasanya sudah lelah sekali dan berharap ini segera berakhir.
Ahirnya tepat tengah malam kami tiba di Puncak Bayangan Pos 5. Tempat itu yang dulu hanya bisa diisi oleh belasan tenda saja, kini bisa puluhan. Penuh. Benar-benar penuh sampai kami bingung harus mendirikan tenda di mana. Teman yang baru datang mengajak kami ke atas sedikit dan mendirikan tenda di sana. Ya ampun, ini puncak bayangan sudah “berlantai” dua. Semua tempat diterabas untuk mendirikan tenda. Kesan syahdu dan hening tidak saya temui.
Gilang sudah ngantuk berat tapi saya paksa makan beberapa suap nasi dengan lauk sate yang saya bawa sembari menunggu ayah mendirikan tenda. Selesai makan dia langsung terlelap. Begitupun dengan adik dan saya. Para pria masih di luar entah sedang menikmati apa. Kami lelah jiwa dan raga. Hehe…

Pagi pun akhirnya datang. Saya tidak terbiasa bangun siang tapi malas juga mau keluar karena nggak tau mau ngapain di luar. Mau lihat pemandangan, eh yang tempak hanya barisan tenda. Mau foto eh yang diajak foto belum pada bangun. Sedih ya. Tapi saya harus keluar nih, sudah kebelet. Begitu keluar, saya malah bingung harus buang air kecil di mana. Ramai sekaliiii!!! Ya sebagai wanita yg sering bermain di gunung, bikin simple saja. Menjauh, menerabas semak, jongkok, dan aaahhh lega. Masa bodo lah kalau ada yang melihat.
Syukurlah pagi itu anak-anak tampak ceria seperti biasa. Makan, minum, foto-foto. Kelelahan tidak nampak lagi pada tubuh mereka. Teman se-team yang hampir semua cowok pun asik-asik.  Mereka masak ikan mujair asap goreng, sayur asem, juga sambel. Ketemu juga nikmat perjalanan kali ini. Bukan di jalurnya, bukan di pemandangannya, tapi pada momen kebersamaan seperti ini. Terima kasih Penanggungan, untuk secuil cerita indah ini. Kali ini saya tidak akan sampai di puncakmu. Cukup sampai di sini. Saya sangat bersyukur masih ada yang bisa dinikmati.




Waktu pulang tiba. Saya udah pesan ke teman-teman, kalau lama ditinggal saja karena kami meyesuaikan dengan langkah Gilang. Biasanya dia agak kesulitan di turunan apalagi di jalur terjal seperti ini. Beruntung ada Anjas, teman kami, yang berbadan tegap tinggi berbaik hati menggendong Gilang. Langkah kami jadi semakin cepat. Lalu, mendadak hujan deras datang. Khawatirnya saya dengan anak-anak gimana kalau mereka nangis. Duh, lagi-lagi saya salah. Mereka malah semakin ceria dan berjalan dengan riang gembira. Gilang jalan sendiri digandeng om Anjas nya melewati aliran-aliran air yang disebutnya mirip sungai dan air terjun kecil. Lintang ikut tertawa meski sedikit basah. Medan tanah yang tadinya licin jadi biasa saja karena hujan sehingga kami pun tak sulit untuk melaluinya. Hingga akhirnya kami tiba dengan selamat di pos perizinan. Syukur saya tiada terkira banyaknya. Ampuni saya ya Allah atas keegoisan ini. Nggak lagi-lagi mengajak mereka ke tempat yang bermedan sulit. Belum waktunya anak sekecil ini kami ajak bersusah-susah di gunung. Maaf….