Naluri sebagai orang tua tentu saja akan
menuntun kita untuk menimbang segala aspek dan baik buruk suatu hal demi
kepentingan anak. Termasuk ketika kami hendak mendaki Gunung Penanggungan kala
itu. Rencana awalnya, kami akan mendaki siang hari saat jalan terhampar jelas
di depan mata. Lalu sampai di lokasi sebelum malam sehingga anak-anak bisa
beradaptasi dulu dengan lingkungan sekitar. Nyatanya ….
Siang itu awan hitam masih menggelayut di langit
Sidoarjo diselingi hujan ringan yang datang pergi sesuka hati. Tas carrier
masih kosong belum saya isi apapun. “Cuaca nggak bersahabat, alamat nggak
jadi,” pikir saya. Ya sudah saya pun tidur siang dan terbangun pukul 3 sore
bersamaan dengan pulangnya suami dari toko.
“Gimana, Yah?” tanya saya pada ayahnya
anak-anak.
“Ayo siap-siap, Ismet jadi ikut. Berangkat habis
magrib.”
Waduh, kok habis magrib pikir saya. Berarti
nanti jalan malam hari. Tapi mungkin saya yang terlalu egois ya, jadi
mengiyakan saja. Anak-anak pun sudah antusias. Mereka suka sekali tidur di
dalam tenda berteman udara dingin.
Selepas magrib kami masih bersiap. Mbungkus sate
dan beberapa makanan buat bekal nanti. Dan akhirnya kami baru melaju sekitar
pukul 7 malam menuju Desa Tamiajeng, Trawas. Singkat cerita pukul 9 malam kami
baru mulai pendakian. Tanah basah menunjukkan hujan belum lama pergi. Melihat
itu saya sedikit merasa bersyukur tidak diguyur hujan saat di perjalanan nanti.
Pos 1 (perizinan) sampai pos 2 medan
masih sama dengan 7 tahun lalu. Yak, terakhir saya kesana memang 7 tahun lalu.
Lalu saya kaget di pos 2 ada warung. Ya ampun, 7 tahun lalu saya merinding di
sana karena ada cahaya merah bergerak-gerak, yang ternyata orang sedang merokok
dalam kegelapan. Kini, kesan mistis itu hilang. Belum lagi soal ramainya orang.
Dari yang bercarrier besar hingga yang bawa tas kecil atau bahkan yang tak
membawa apa-apa. Dari yang bersepatu gunung sampai yang bersandal hak pendek.
Dari yang jomblo sampai yang membawa anak (saya dong). Ramai sekali!
Benar-benar berbeda.
Lintang, anak saya yang kecil lebih sering
terlelap dalam gendongan ayahnya. Sementara Gilang, anak saya yg besar,
jalannya cepat sekali. Dia nggak banyak omong cuma kadang bertanya kapan sampai
karena dia sudah ngantuk. Dalam hati saya kasihan sekali padanya. Dia minta
tidur di gunung malah saya ajak ke Penanggungan yang medannya berat. Di titik
itu penyesalan saya sangat tinggi. Egois sekali saya menyusahkan anak-anak demi
keinginan pribadi. Saya selalu menghiburnya agar ia tertawa. Untung saja anak
saya keren. Setiap pos terlewati dengan aman. Anak saya hanya kesulitan
melewati jalur tanah becek dan licin. Jalur yang ditrap-trap oleh warga dan
akhirnya berlumpur saat musim hujan seperti ini. Beberapa kali jatuh dan kotor
tapi syukurlah dia nggak manja dan masih tetap mau berjalan. Kesulitan mulai
bertambah saat melewati pos 4. Medan tanjakan batunya tinggi-tinggi dan itu
menyulitkan anak saya. Bilamana kami mengambil sisi kanan yang medannya tanah,
kami kesulitan melangkah karena licin. Rasanya sudah lelah sekali dan berharap
ini segera berakhir.
Ahirnya tepat tengah malam kami tiba di Puncak
Bayangan Pos 5. Tempat itu yang dulu hanya bisa diisi oleh belasan tenda saja,
kini bisa puluhan. Penuh. Benar-benar penuh sampai kami bingung harus
mendirikan tenda di mana. Teman yang baru datang mengajak kami ke atas sedikit
dan mendirikan tenda di sana. Ya ampun, ini puncak bayangan sudah “berlantai”
dua. Semua tempat diterabas untuk mendirikan tenda. Kesan syahdu dan hening tidak saya temui.
Gilang sudah ngantuk berat tapi saya paksa makan
beberapa suap nasi dengan lauk sate yang saya bawa sembari menunggu ayah
mendirikan tenda. Selesai makan dia langsung terlelap. Begitupun dengan adik
dan saya. Para pria masih di luar entah sedang menikmati apa. Kami lelah jiwa
dan raga. Hehe…
Pagi pun akhirnya datang. Saya tidak terbiasa
bangun siang tapi malas juga mau keluar karena nggak tau mau ngapain di luar.
Mau lihat pemandangan, eh yang tempak hanya barisan tenda. Mau foto eh yang
diajak foto belum pada bangun. Sedih ya. Tapi saya harus keluar nih, sudah
kebelet. Begitu keluar, saya malah bingung harus buang air kecil di mana. Ramai
sekaliiii!!! Ya sebagai wanita yg sering bermain di gunung, bikin simple saja.
Menjauh, menerabas semak, jongkok, dan aaahhh lega. Masa bodo lah kalau ada
yang melihat.
Syukurlah pagi itu anak-anak tampak ceria
seperti biasa. Makan, minum, foto-foto. Kelelahan tidak nampak lagi pada tubuh
mereka. Teman se-team yang hampir semua cowok pun asik-asik. Mereka masak ikan mujair asap goreng, sayur
asem, juga sambel. Ketemu juga nikmat perjalanan kali ini. Bukan di jalurnya,
bukan di pemandangannya, tapi pada momen kebersamaan seperti ini. Terima kasih
Penanggungan, untuk secuil cerita indah ini. Kali ini saya tidak akan sampai di
puncakmu. Cukup sampai di sini. Saya sangat bersyukur masih ada yang bisa
dinikmati.
Waktu pulang tiba. Saya udah pesan ke
teman-teman, kalau lama ditinggal saja karena kami meyesuaikan dengan langkah
Gilang. Biasanya dia agak kesulitan di turunan apalagi di jalur terjal seperti
ini. Beruntung ada Anjas, teman kami, yang berbadan tegap tinggi berbaik hati
menggendong Gilang. Langkah kami jadi semakin cepat. Lalu, mendadak hujan deras
datang. Khawatirnya saya dengan anak-anak gimana kalau mereka nangis. Duh,
lagi-lagi saya salah. Mereka malah semakin ceria dan berjalan dengan riang gembira. Gilang jalan sendiri
digandeng om Anjas nya melewati aliran-aliran air yang disebutnya mirip sungai dan air terjun kecil. Lintang ikut tertawa meski
sedikit basah. Medan tanah yang tadinya licin jadi biasa saja karena hujan
sehingga kami pun tak sulit untuk melaluinya. Hingga akhirnya kami tiba dengan selamat
di pos perizinan. Syukur saya tiada terkira banyaknya. Ampuni saya ya Allah
atas keegoisan ini. Nggak lagi-lagi mengajak mereka ke tempat yang bermedan
sulit. Belum waktunya anak sekecil ini kami ajak bersusah-susah di gunung. Maaf….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar