03 Oktober 2018

Anak-anakku di Pendakian Gunung Kelud Jalur Tulungrejo



Anaknya ikut mendaki, Bu?

Ya mau bagaimana lagi? Hobi orang tuanya naik turun gunung tidak bisa dihapus. Anak juga tidak bisa dititipkan karena sudah terbiasa bersama sejak kecil. Mbahnya juga ga bakal mau dititipin. menjaga anak kecil usia 5 dan 2 tahun itu super repot dan melelahkan. Jadi, mau nggak mau ya diajak. Kebetulan ayahnya udah nggak kerja juga. Pas mantab naik gunung sekeluarga.

Gunung Kelud jadi tujuan pendakian kami waktu itu. Sebenarnya saya dan teman-teman saja yang mau naik gunung, tanpa anak dan suami. Pingin 'me time' alias melupakan kesibukan mengasuh anak-anak 2 hariii saja. Ternyata pada kenyataannya saya malah tidak tega. Kepikiran nanti mereka nyariin nggak ya, mereka bisa tidur nggak ya, rewel nggak ya, dan banyak pertanyaan yang makin menimbulkan keraguan. Halah. Jadilah saya ajak mereka ikut dalam trip ini.

Pendakian ke Gunung Kelud kami lakukan lewat jalur Tulungrejo, Blitar. Jalur pendakian lho ya, bukan jalur wisata. Kalau jalur wisata bisa lewat Kediri. Sementara jalur pendakian bisa lewat Tulungrejo atau Karangrejo yang berada di Blitar. Namun, menurut teman yang lebih berpengalaman, jalur Tulungrejo lebih bersahabat, terlebih untuk kami yang membawa dua anak.



Basecamp - Pos 1

Dari seluruh tim, yang selalu bersama di barisan belakang ialah saya, suami, Gilang (5 tahun) - jalan sendiri, dan Lintang (2 tahun) - digendong suami, tante Iphe, om Ined, dan om Nung. Alasannya bukan karena ada anak kecil yang jalannya pelan. Tapi karena saya yang susah atur nafas. Sudah berapa tahun ya nggak nanjak. Baru melangkah sebentar saja sudah ngos-ngosan dan kaki terasa 100x lebih berat. Trek mulai menanjak dan masih banyak bonus. Mode penyesuaian on. Gilang masih sangat bersemangat dan jalan dengan cepat. anak kecil mah nggak punya capek kan ya. hehee... 


Pos 1 - Pos 2

Baru saja mulai melangkah, ternyata kami sudah dihadang tanjakan yang lumayan tinggi-tinggi. Pantas saja tadi saat kami beristirahat di pos 1 untuk makan siang, ada rombongan yang ramai sekali saat turun. Ada yang teriak "Turunnya gimana ini?" ada yang ngesot, ada yang gandengan. Eh ternyata seperti ini. Anak saya Gilang mulai kesusahan nanjak. Untung ada om ined dan tante iphe yang mbandol alias narik. Om dan tante inilah yang sedari awal jadi teman jalan Gilang, yang ngasih support Gilang, dan dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan Gilang, "Kapan nyampek?" Nggak bisa saya bayangkan kalau saat itu Gilang hanya mendaki dengan kami. Bisa jadi dia malah nangis. Makasiihhhh ya tante dan om. Big hug!!


Pos 2 - Pos 3

Ini adalah jalur paling panjang dan membosankan yang penuh tipu daya. Kenapa begitu? Hhh..! Jalur ini tanjakannya biasa saja, cenderung banyak bonus malah. Vegetasi lumayan rimbun , teduh, aman dari sinar matahari. Saat kita berjalan menanjak di antara rerimbunan, kita mulai melihat langit terang di ujung sana, kita mulai semangat, lalu saat tiba di tempat itu.. ZONK..! Dan ini tidak terjadi sekali, tapi berkali-kali. Itu bukanlah puncak bukit yang kami daki ini. Pos III memang terletak di puncak bukit. Itulah kenapa setiap langit terlihat jelas, kami berharap itu adalah pos 3.

Lintang terlihat pulas di gendongan ayahnya. Karena hanya duduk, tangan dan kakinya jadi lebih dingin. Jaket pun mula kami pakaikan padanya. Sementara Gilang sudah semakin lelah dan tampak bosan. Beberapa kali ngambek dan sempat nangis karena tangannya berdarah terkena duri. Tante dan om pun semakin lelah menghibur Gilang. Oiya, Gilang sempat ngompol juga. Dia nahan pipis karena nggak ada toilet katanya. Maklum, anak ini memang nggak mau pipis sembarangan. Maunya di toilet. Dan ini pertama kalinya dia ke gunung. Pun kami lupa memberitahunya kalau di gunung nggak ada toilet. Sepatunya agak basah terkena air kencing dan dia mesti ganti dengan sandal.


Pos 3 - Bermalam

Akhirnya kami sampai juga setelah berjalan kaki 4 jam. Lama kan ya? 😁 Nggak apa-apa namanya juga perdana. 😎 Seandainya punya kamera yang mumpuni, ingin rasanya mengabadikan keindahan malam itu. Langit cerah bertabur bintang. Itu 'milky way'. Jelas sekali. Hanya kamera hp yang kami punya. Hanya dengan kedua mata ini kami menikmatinya sambil ngobrol dengan teman-teman seperjalanan. Indah dan menenangkan. Udara dingin dan gelap malam itu ternyata tidak menghalangi anak-anak untuk ikut berkumpul di luar tenda. Saya sendiri sepertinya dalam keadaan kurang sehat dan dalam keraguan dalam memutuskan perlu ikut ke puncak ataukah tidak esok hari.


Hari ke-2 
Perjalanan Ke Puncak



Pukul 5 pagi anggota tim sudah teriak-teriak, "Jadi muncak gak ini?" Dan saya masih bimbang tapi akhirnya tetap packing juga. Segelas sereal hangat saya masukkan ke dalam botol kecil dan saya simpan di dalam tas pinggang kecil. Anak-anak masih tidur. Mereka tidak saya ajak ke puncak dengan pertimbangan bahwa jalurnya kurang bersahabat untuk anak kecil. Mereka akan lebih aman di tenda bersama suami saya  yang baik hati. 😘

Saat berdiri di luar tenda, mulai terbayang jalur menuju puncak yang kami lihat kemarin sore. Aduh, kuat gak ya kaki ini. Tapi, pemandangan pagi itu begitu menghibur. Di depan mata, arah matahari terbit, ada Gunung Buthak dengan langit kekuningan. Sementara di belakang, lumayan tertutup alang-alang tinggi samar-samar tampak lautan awan. Dan lautan awan ini tampak jelas di ujung tikungan sebelum turunan tajam pos 3 arah puncak.

Di sana, jalur naga nampak diselimuti awan yang bergerak turun serupa air terjun.
"Ayo cepet turun, kita ke awan itu!"

"Ayoo!!"

Ternyata turunannya lumayan tajam. 😅 Kadang sambil duduk, sambil pegangan ranting, kadang juga pegangan tali pengaman yang sudah terpasang.

Jalur ke puncak Kelud ini sesuatu banget. Kami dipaksa untuk mendaki hingga puncak bukit tinggi (pos 3) lalu diajak turun lagi begitu jauh dan tajam turunannya. Kemudian naik turun bukit kecil dengan jalur banyak bonus, banyak alang-alang basah. Celana quick dry atau celana waterproof akan sangat membantu di sini.

Begitu lepas jalur tanah dan alang-alang, kita mulai masuk ke jalur pasir dan batu, yang artinya kita sudah semakin dekat. Di jalur ini terasa sekali bahwa sepatu yang tepat akan sangat membantu langkahmu. Sebaiknya pilih sepatu yang bergerigi. Eh tapi banyak lho yang pakai sandal atau sepatu olahraga biasa. Salut lah ya tapi pasti agak licin.



Semakin ke atas, sudah tidak ada tanaman lagi. Pemandangan berubah jadi grand canyon ala-ala Gunung Kelud di sisi kiri. Sementara di sisi kanan ialah tebing super tinggi yang menghalangi sinar matahari. Nah jalur yang benar adalag melipir bawah tebing ini. Sudah ada jalurnya dan tali pembantu (yap bukan tali pengaman, karena kita nggak pakai pengaman). Di ujung sana, ialah puncak. Puncak dengan pemandangan kawah yang kadang berwarna hijau, tapi suatu kali berwarna coklat. Kami menikmati pencapaian ini dengan foto-foto, tidur, masak mie, goreng teur, bikin roti bakar, dll. Karena masih lumayan pagi jadi area puncak belum terlalu panas. Matahari terhalang tebing tinggi di sisi kanan. Setelah puas kami pun turun beriringan dengan formasi sama. Total perjalanan pulang pergi sekitar 4 jam.


Saat samai di pos 3, saya disambut oleh dua anak-anak yang tampaknya sudah kangen berat. Mereka mendadak jadi ngalem, minta gendong, minta minum. Kata ayahnya, tadi lho nggak rewel. Begitu bunda datang jadi lain. Saya tahu mereka kangen. Sama, Nak. "Ngapain aja tadi pas Bunda ke puncak?" Jawab mereka ya jalan-jalan, cari cacing, foto-foto, sama pup. Horee mas Gilang bisa pup di gunung. Wkwkwkw



Perjalanan Kembali ke Basecamp
Seperti yang saya kira sebelumnya bahwa nanti Gilang akan lama saat turun. Dia selalu pelan dan agak takut saat menuruni tangga, dan ternyata terbawa saat turun gunung. Padahal turunan asal-awal masih biasa. Teman-teman sudah di depan. Tim lain yang turun belakangan sudah menyalib kami. Jadilah kami segeluarga yang terakhir. Paling belakang. Tante dan om favorit gilang sidah kami suruh turun duluan.

Gilang lelah. Hari sudah semakin sore. Kalau seperti ini terus kami bisa kemalaman di jalan. Agak ruwet waktu itu. Tapi akhirnya adik Lintang diturunkan dari gendongan ayah dan diganti dengan mas Gilang yang 18 kg. Wkwkw... Dan Lintang? Ya otomatis saya yang gendong. Saya gendong pakai gendongan sling biasa (1 bahu) di depan perut. Saya masih nggendong carrier juga. Jadi pas depan belakang.

Kata suami, "Berat ya bawa anak?"

Saya jawab aja ya resiko. Huwa...

Posisi nggendong seperti itu kami lakoni sejak pertengahan pos 3 - pos 2 sampai dengan pos 1 di tanjakan terakhir dengan pertimbangan pos 1 ke bawah jalurnya sudah sangat bersahabat. Kami percepat langkah. Kaki makin lelah menahan beban berat. Kerongkongan lebih sering kering. Kami mengejar waktu agar tidak kesorean.

Setelah pos 1, kami kembali ke posisi awal. Dan anehnya Gilang yang tadinya takut dengan turunan kini mulai menikmati turunan. Bahkan sampai perosotan dengan gembiran dan sudah bisa ngerem saat larinya kekencengan. Kami senang dong ya. Adik juga ikut tertawa. Dan akhirnya setelah 4 jam kami bisa kembali ke basecamp. Naik sama turun sama-sama 4 jam.



Teman-teman sudah selesai mandi 😆
Haha.. makasih sudah menunggu.
Akhir yang bahagia untuk perjalanan kali ini.

1 komentar: