13 Mei 2021

Pemberian yang tak Kuinginkan

 Kalau saja bukan karena Allah, mungkin aku tetap tidak mau. Ini seperti pemberian yang berat dan mematahkan keinginan-keeinginanku yang sudah berbaris rapi. Ini pemberian yang membuat air mata ingin mengalir sepanjang waktu. Tapi karena Allah, dan karena Allah saja aku mau, aku menangis tapi tetap ridho pada kehendak-Nya. Bukan karena siapa-siapa yang tidak bisa kuharap lebih. Karena yang paham cuma Allah, sedang orang lain tidak. 


Hanya karena Allah maka kujalani ini semua. Tolong kuatkan aku, Allah. Sudah tiga bulan dan ini masih terasa menyesakkan. 


Allah... Kuatkan hatiku... 🤲

29 November 2020

Menelaah Rasa

    Duduk berselonjor kaki aku dengan punggung bersandar pada sebatang pohon. Menerawang mata menelaah kata-kata dan rasa. Seperti kabut, berpendar tanpa arah bersama angin yang meniupnya. Terbang ke sudut-sudut lembah, bersembunyi ke kedalaman jurang, hingga bertahta di pucuk cemara. Begitu juga hatiku yang tiada tentu arah. Kaki yang berselonjor itu kugerak-gerakkan juga. Beberapa dempul tanah sisa perjalanan panjang yang menempel di sol jatuh ke tanah. Lepas sudah, kembali ke tempatmu bermula. 

    Terpejam mata, kurasakan datangnya titik-titik air pada kabut yang dibawa angin. Dinginnya menembus hidung dan pipi. Dingin kurasakan perlahan semakin dalam hingga singgah di dada. Sesak, sesak kurasa. Dua tangan yang sedari tadi diam bersilang di depan dada, kini kulepas dan bergerak memukul dada. Dug dug dug suaranya. Ingin kugetarkan sesak itu biar runtuh tapi nyatanya tak tersentuh. Jauh.

    Kini aku tahu kenapa adegan memukul dada seringkali muncul dalam film-film di televisi. Kupahami mereka yang ingin memecah lara biar meletup menerjang keluar. Sulit bukan main. Sakitnya pukulan tangan itu tak jua mampu menembus dasar rasa sakit. Sebegitu dalamnyakah sesak menyusup hati?

    Nafas berat kutiupkan. Kubuka mata dengan kepala yang masih bersandar pada batang pohon keras ini. Kosong. Kosong dan sepi. Bahkan kabut pun telah pergi. Kucoba berdiri lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. Sedikit kelabu. Tapi di satu sisi langit, tebalnya awan-awan hujan, tak mampu sembunyikan cahaya senja. Ternyata sebentar lagi malam.

    Aku pulang. Aku akan selalu pulang. Meski malam, hutan itu akan tetap kuterjang bersama hati yang telah lebih dulu menggelap pekat.

Hidup Kita

Kuingat kembali percakapan kita di bawa pinus-pinus tinggi

Tentang hari di mana semua bermula

Tentang harapan yang sesekali dipatahkan keadaan


Pada akhirnya kita kembali di sini

Memaknai kabut yang pergi dan datang

Seperti halang rintang kehidupan yang tak jua kelar


Kita tak mengerti, hanya terus menjalani

12 November 2020

Catatan Pendakian Gunung Arjuno Welirang Kembar Jalur Sumber Brantas Batu Cangar

    Sudah lama sekali rasanya saya tidak merasakan sensasi rasa ini. Rasa di mana kamu seperti telah membuang jauh segala masalah yang ada di hidupmu. Bahkan beberapa lama setelah pulang, rasa itu masih ada, dan bisa menyembuhkan suntukmu hanya dengan memandangi foto, video, atau sekadar mengingat momen itu. Ya, itu adalah momen pendakian ke Gunung Arjuno, Gunung Kembar 1, dan Gunung Welirang di akhir Oktober 2020 kemarin.

    Ini tentu bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di gunung tersebut (kecuali Kembar 1), tapi merupakan kali pertama saya lewat jalur ini: Jalur Pendakian Sumber Brantas. Dulu sempat dengar mengenai adanya jalur ini tapi tidak tertarik karena katanya masih banyak pacetnya, jalur kurang jelas, dan pastinya belum ada teman yang mengajak naik lewat jalur sana. Umumnya masih lewat jalur Tretes atau Purwosari. Nah, sekarang jalur itu sudah lebih terkenal atau hits selama beberapa tahun terakhir walaupun tidak terlalu ramai pendaki. baru agak ramai ya karena pandemi corona ini. Masa new normal yang dibuka hanya jalur Sumber Brantas dan Lawang saja.

    Motivasi awal saya untuk lewat jalur ini ada 2: (1) Lembah Lengkean yang terkenal dengan keindahannya hingga banyak orang jatuh cinta, (2) Pohon-pohon cantigi tua dengan dahan dan ranting yang meliuk sempurna dengan banyak percabangan yang memberikan bermacam kesan bagi yang melihatnya. Ada yang memotret keindahannya, ada juga yang menampilkan aura mistisnya. Dan saya meihat foto-foto indah itu di instagram. Lalu bagaimana bisa saya mengabaikan panggilan pohon-pohon itu. Isenglah jari jemari ini membuat sebuah ajakan kepada teman di Malang untuk naik ke sana. Dan, sepertinya semesta langsung mendukung saya untuk berangkat.

    Tibalah hari H pendakian. Rasanya luar biasa antara senang bercampur khawatir. Senang karena pada hari itu saya merasa seperti muda lagi 😂 dan khawatir karena saya tidak mempersiapkan fisik dengan baik selama satu bulan terakhir. Cuma modal bismillah aja. Hari itu ladang wortel, kentang, dan beberapa jenis tanaman lainnya seperti tersenyum dan mengucapkan selamat datang di Sumber Brantas. Mereka berbaris dengan indahnya seluas mata memandang. Nun jauh di ujung, hijaunya ladang tampak menyatu dengan langit biru yang cerah.

   


Setelah ladang, kita mulai masuk hutan yang langsung rapat dengan semak tinggi di kanan kiri serta pohon-pohon besar yang menjulang tinggi lengkap dengan tumbuhan-tumbuhan epifit di batangnya. Medan berupa jalur tanah yang empuk kalau diinjak. Sangat menarik. Btw, partner mendaki saya kali ini ada tiga orang dan semuanya cowok. Lalu, semuanya nggak ada yang doyan foto selfie seperti saya. Mereka asik aja jalan, tapi saya bolak balik minta difotokan sama mas sweeper di belakang saya yaitu Mas Ucil namanya. Jadi formasi jalannya paling depan Mas Suli sebagai leader karena paling tahu jalur tersebut. Kedua ada Mas Majid yang pertama kali juga lewat jalur ini. Di belakangnya ada saya kemudian paling belakang Mas Ucil yang tidak pernah marah walau dimintai foto berulang kali.

 

    Setelah pos 2, vegetasi berubah. Pinus-pinus muda mulai menghiasi jalanan. Sebagian mulai terbuka sehingga kita bisa melihat G.Welirang dan Kembar 1 dengan jelas. Setelah pos 3 masih dengan pinusnya, ditambah beberapa lubang panas dengan uapnya. Lalu berubah menjadi barisan pohon cantigi tua dan rumput yang menandakan bahwa kita sudah hampir tiba di Lembah Lengkean. Dan kami akan nge-camp di Lengkean selama beberapa malam ke depan.


 

     Untuk hari pertama ini kami menghabiskan waktu 6,5 jam perjalanan sejak batas ladang hutan hingga ke Lembah Lengkean. Itu sudah termasuk istirahat lama 2x untuk masak kopi di pos 2 dan makan siang di pos 3, untuk foto-foto, dan tentunya pemanasan ya karena tas masih berat-beratnya nih. Full air. Jalur ini TIDAK ADA SUMBER AIR. Jadi harus bawa dalam jumlah cukup dari bawah. Untuk medannya menurut saya tergolong mudah ke menengah lah. Pastinya sih full tanjakan ya. Namanya juga naik gunung.

    Di Lengkean hari itu angin bertiup lumayan kencang. Namanya juga lembah ya jadi suhu memang lebih dingin kan. Ditambah lagi karena faktor cuaca juga angin dari arah Arjuno terdengar begitu kencang. Saya menggigil. 😂 Iya menggigil karena kedinginan. Jari jemari hampir kebas rasanya tanpa perlindungan sarung tangan. Trus sempat kelamaan foto-foto di luar tanpa pakai jaket. Telat, badan sudah terlanjur kedinginan. Untung saja saya punya teman-teman yang baik dan sigap memasak dan membuat minuman hangat. Mereka juga rajin mbanyol. Ya Allah nikmat mana lagi yang aku dustakan. Bisa tertawa lepas dan lupa sama semua masalah di rumah. Hehe... Malamnya kami tidur dalam kepasrahan kepada Sang Pencipta yang tidak lelah dan tidak tidur. Pasrah dengan suara angin yang begitu kencangnya. Semoga angin tidak kesini dan biarkan langit cerah dan bulan menyinari Lengkean sepanjang malam ini.


    Pagi di hari kedua pendakian, Gunung Kembar telah menyambut kami dengan jelasnya. Ia tersinari matahari pagi hingga tampak berkilauan. Langit biru cerah meskipun angin masih saja bertiup kencang. Sebaai nformasi, dari Lengkean kita bisa menggapai 4 puncak sekaligus: (1) Puncak Arjuno, (2) Puncak Kembar 2, (3) Puncak Welirang via Puncak Kembar 1. Dan kami akan menuju ke puncak Arjuno dulu.

 


    Dari Lengkean arah Arjuno kita akan melipiri G.Kembar 2 dengan jalur dominasi datar dan menurun selama kurang lebih 30 menit sampai ketemu dengan Lapangan Kotak/ Lembah Macan Mati. Dari situ puncak Arjuno terlihat begitu jelasnya, kokoh berdiri di bawah langit biru dan awan-awan putih yang bergerak cepat tertiup angin. Setelah itu, jalur mulai menanjak dan terus menanjak selama 3 jam. Cukup sabar dan terus melangkah saja ya nggak usah terlalu sering dilihat tanjakannya. Pinus-pinus tinggi itu lebih layak untuk diperhatikan daripada cuma fokus dengan tanjakan. 

 


    Sayangnya ketika mendekati puncak, cuaca mendadak berubah. Kabut tebal dengan sedikit gerimis mulai menemani. Kecewa sih karene pendakian-pendakian sebelumnya juga dapat tembok putih pas sampai di puncak Arjuno. Tapi ya, inilah alam. Ia sangat sulit untuk ditebak. Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Dan kuterima puncak putih ini dengan syukur sebesar-besarnya pada Allah pemilik seluruh alam. 

     

    Saat kembali ke Lengkean, alam pun masih belum bersahabat. Kami diguyur hujan deras pas tanjakan yang banyak pohon pinus tingginya sampai persimpangan jalur Cangar dan Tretes. Arrgghh tangan saya seperti mati rasa karena kedinginan. Kalau badan sih meskipun basah masih ada lapisan jas hujan plastik. Kaki juga masih kebungkus sepatu. Sementara jari jemari sudah basah, kena angin pula. Kaku banget. Dan syukur, malam itu Lembah Lengkean lebih hangat dari hari sebelumnya. Saya bisa tidur lelap dan cukup lama.

 

    Hari ketiga pendakian, rencananya hari ini kami akan pulang. Tapi karena sudah di sini, mau ngintip ke G.kembar 1 dulu. Saya kira cuaca juga cukup oke. Matahri bersinar walaupun tidak seterang kemarin.  Kembar 1 ini bisa ditempuh dengan 30 menit saja. Waktu itu masih pagi sekali, masih pukul 7-an ketika kami sampai di puncak. Mau kembali kok ya nanggung. Ya sudah lanjut saja ke Welirang.

    Dari puncak ambil jalur menurun ya ke Taman Dewa, sebuah tanah lapang tempat bertemunya jalur Cangar dengan jalur Tretes yang menuju puncak Welirang. Seperti biasa langit cerah berawan. Kaki ringan saja melangkah walaupun jalur menanjak. Begitu mau sampai di puncak Welirang semuanya terlihat putih karena asap belerang tebal. Ya sesekali terbuka juga. Singkat saja di sini lalu kembali turun.

    Ketika sampai di Taman Dewa petir berbunyi dengan keras tanpa tanda-tanda. Kabut sepertinya mulai banyak di arah Welirang. Kami pun cepat-cepat kembali ke Lengkean. Tanjakan setelah Taman Dewa kami hajar singkat saja walaupun nafas senin kamis. Jangan sampai kehujanan lagi dong. Baju kering tinggal satu-satunya yang nempel di badan. 😆

   


Dan benar saja, setelah sampai di Lengkean, kabut tebal mulai datang. Hujaaaannn!! Yap, hujan turun dengan sangat derasnya. Kabut putih menyelimuti Lengkean. Kami galau karena rencana mau pulang. Hujan mau ngapain, ya tidurlah. Posisi tenda aman dari genangan. Pukul 4 sore hujan sempat berhenti sebentar. Mau segera packing tapi ragu. Terlihat banyak tim yang turun. Dan kami pun memutuskan untuk menginap semalam lagi dengan pertimbangan kalau turun sekarang kita pasti kemalaman di jalan.
Belum lagi antrian jalur kalau sedang banyak yang turun. Jalurnya licin karena jalur tanah semua. Dan kalau melihat kabut dan anginnya sepertinya masih akan hujan. Semua menghawatirkan saya takut ngedrop, ahaha. Baiklah fix semalam lagi.

    Keesokannya, hari kembali pulang, dan saya membawa banyak sekali kesan dan kenangan indah tentang Arjuno Welirang dan menyenangkannya teman seperjalanan kali ini. Semoga lain waktu kita bisa mengulang hari ini dengan tawa yang sama tapi dengan cuaca yang lebih cerah.

 


Rangkuman Estimasi Waktu Pendakian:

1. Ladang - Lembah Lengkean (6 jam naik, 3 jam saat turun)

2.  Lembah Lengkean - Puncak Arjuno (3,5 jam)

3. Lembah Lengkean - Puncak Kembar 1 (30 menit)

4. Puncak Kembar 1 - Puncak Welirang (1,5 jam)

5. Lembah Lengkean - Puncak Kembar 2 (belum nyoba guys, maaf ya, katanya sih sekitar 45-60 menit saja)


Tambahan, jalur ini nggak ada sumber air. Jadi, standarnya sih per orang bawa 6 liter air. Kalau pas hujan seperti pengalaman saya kemarin, kita bisa nadahin air hujan ya buat masak. Saking deresnya kemarin kami punya tambahan 10 botol air hasil kerja keras Mas-Mas teman perjalanan saya. Masih sisa banyak di kolam flysheet bisa buat cebok sampai puas wkwkwkw

 


    






    

06 Juni 2020

Pandemi Covid-19 adalah Takdir, Ikhlas adalah Pilihan

Tiga bulan sudah virus covid-19 mewabah di Indonesia dan sudah sekitar 6 bulan sejak kemunculannya di Wuhan kala itu. Dunia seperti hanya sedang membicarakan corona saja. Situs berita, marketplace, web apapun selalu ada info soal data corona di Indonesia bahkan seluruh dunia. Kita seperti dipaksa untuk fokus pada satu hal saja: corona - covid-19. 

Virus ini memporak-porandakan ekonomi kita. Pabrik-pabrik mulai menurunkan produksi  yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Begitu juga di sektor wisata. Tempat-tempat wisata ditutup, pelaku wisata kehilangan pekerjaan, orang dipaksa diam di rumah untuk menghindari virus. Pekerja hotel dirumahkan bahkan dipaksa pensiun dini. Begitu juga dengan beragam pekerjaan lain yang terdampak adanya pandemi ini.

Saya sendiri juga merasakannya. Toko alat pendakian gunung kami selalu sepi pengunjung selama masa pandemi ini. Omzet menurun drastis, bahkan penjaga toko hampir kami rumahkan, sebelum akhirnya kami putuskan untuk kerja setengah hari saja. Ikhtiar menunggu pembeli apa salahnya.

Kalau boleh cerita sedikit, kami pun tidak lepas dari kesulitan. Bulan Maret itu adalah bulan terakhir kontrakan toko kami. Sudah waktunya kami membayar biaya kontrak untuk satu tahun ke depan. Dan biasanya untuk biaya kontrak toko kami memakai uang pinjaman dari bank. Kami anggap pembayaran tiap bulan itu untuk mencicil biaya kontrak. Begitulah hingga akhirnya uang dari bank sudah di tangan lalu kami pakai untuk membayar kontrakan. Lalu kurva positif covid-19 merangkak naik dengan cepat sementara toko pemasukannya sangat sedikit. 

Dan tibalah hari di mana kami harus membayar cicilan pertama. beberapa saat sebelumnya Pak Jokowi Presiden mengumumkan soal restrukturisasi pinjaman. Namun hal ini belum langsung berjalan di bank. Kami negosiasi dengan pihak bank akhirnya waktu itu tetap membayar tapi dengan uang yang sudah ditangguhkan/ disisakan di rekening. Hamdalah terasa ringan. Toh uang itu memang tidak boleh diambil. Bulan berikutnya program restrukturisasi sudah mulai ada kejelasan. Kami hanya disuruh membayar bunganya saja sementara biaya pokoknya bisa ditunda 3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun. Pilih mana? Kami pilih 3 bulan dengan harapan wabah ini segera usai.

Kenapa nggak pilih 1 tahun? Duh, kami bukannya tidak mau membayar bank. Kami sangat ingin membayar agar hutang segera lunas. Kami optimis di bulan-bulan mendatang akan ada jalan terang. 

Apakah saya merasa sempit? Alhamdulillah tidak. Gusti Allah melancarkan penjualan sandal saya. Ya, saya punya usaha sampingan selain toko alat gunung, yakni berjualan sandal anak secara online di Shopee saja. Selama pandemi ini penjualan terus meningkat. Kalau untuk sekadar makan itu sudah lebih dari cukup. Pernah saya tanya ke suami, "Yah, perasaan ayah apa sedang dalam kesusahan atau kesempitan?" Jawabannya adalah enggak, biasa aja. Hamdalah. Kami seirama dalam menyikapi kefanaan ini.

Kefanaan saya menyebutnya. Sudah dikatakan bahwa hidup ini hanya sementara. Seberapa majunya teknologi, Allah tetap menjadi pemegang kendali utama. Dunia yang sudah semaju ini porak poranda oleh virus yang tak kasat mata. Dan menurut saya di saat seperti ini menyikapinya pun tidak perlu terlalu merasa susah. Ini bagian dari takdir. Setiap orang sudah ada takdirnya. Dan mengeluh adalah tindakan sia-sia. Marah dengan keadaan lebih sia-sia lagi.

Hal paling tidak sia-sia di dunia ini adalah beriman kepada Allah.
Pasrahkan hidup hanya kepada-Nya.
Sandarkan kesusahan dan kebahagiaan juga pada-Nya.
Berusaha dengan minta pertolongan-Nya
Ikhlaskan yang terjadi memang kehendak-Nya

Maka tidak akan ada kesedihan yang terlalu sedih dan kebahagiaan yang terlalu bahagia.




10 April 2020

Coronavirus Mendunia, Saya di Rumah Saja

Bulan Maret biasanya jadi bulannya para pendaki gunung.

Akhir musim penghujan menyisakan bunga-bunga indah yg bermekaran di atas sana, di antara semak tinggi dan hijau pepohonan.

Tahun ini mungkin mereka akan mekar dengan tenang.

Tidak ada yg sibuk mengajak berfoto, mencabut, atau menginjaknya. 

Mereka mekar dengan riang gembira. 

Bernyanyi bersama kabut dan angin gunung kapanpun mereka mau.


Tahun ini, di bulannya para pendaki, gunung-gunung tersenyum menutup diri. 

Mungkin juga tertawa melihat manusia sedang sibuk bersembunyi.

Manusia yg seringkali merasa gagah menaklukkan puncak, kini lemah di jurang ketidakberdayaan.



Bulan Maret tahun ini, tak lagi untuk para pendaki. Tapi untuk ibu bumi menyembuhkan diri.



Akhir Februari 2020 saya ingin sekali pergi mendaki gunung Arjuno. Terus terang saya ingin melihat bunga-bunga mekar di area Pondokan dan Lembah Kijang. Biasanya di akhir musim penghujan bunga-bunga kuning akan mekar dan mengambil banyak tempat di sana. Tapi melihat situasi saya yang agak sulit meninggalkan anak di rumah, maka saya pun menurunkan target hanya ingin ke Bukit Teletubbies Bromo saja. Di sana pun sama, bunga-bunga kuning akan banyak bermekaran. Saya mulai ajak-ajak kawan. Oke, insya Allah akhir Maret saja kata mereka, agar cuaca semakin bagus. Dan saya pun mengiyakan.

Ingin hanya sekadar ingin. Impian hanya tinggal impian. Menginjak bulan Maret, tiba-tiba saja beberapa warga Indonesia positif terserang virus corona. dari 1-2-3 orang lalu tiba-tiba saja menjadi banyak dan menyebar ke beberapa provinsi. Kontan saja, pemerintah memberikan himbauan untuk masyarakat agar di rumah saja untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Sejak hari itu, semua mulai berubah. Pelan tapi pasti, dunia pariwisata menghening. Yang tadinya sektor pariwisata hanya tidak bisa menerima wisatawan luar negeri, kini tamu dalam negeri pun mulai tidak tampak. Ada yang menjaga diri agar tidak terpapar, ada yang pekerjaannya mulai terdampak, dan banyak pula tempat-tempat wisata yang menutup diri dari para wisatawan. Tujuannya ialah agar menghindari resiko terpaparnya warga setempat dari virus yang mungkin dibawa oleh para wisatawan.

Lalu, tentu saja keinginan saya ke gunung di atas sana harus saya pendam dalam-dalam. Bagaimana tidak, seluruh masyarakat sedikit banyak mendapat dampak dari pandemi corona ini termasuk toko saya yakni toko perlengkapan mendaki gunung. Tidak ada yang mendaki gunung, maka tidak ada yang datang membeli perlengkapan mendaki gunung. Toko menjadi hening seperti di atas sana. Dan yang terjadi pada saya, banyak juga dialami oleh orang lain di seluruh Indonesia, bahkan dunia.

Di sana mereka khusuk berzikir menyebut asma-Nya

Asma pencipta langit bumi dan seisinya

Sementara sebagian manusia di bawah sini lupa merenungi kehendak-Nya

Sibuk dengan dunia yang akan hilang segala


05 Februari 2020

Reuni Kecil Keluarga Reksa Giri Wana (Rekgiwa)


Rasanya baru kemarin saja saya berjalan dengan tas carrier 60 liter di malam hujan, menapaki jalan aspal menanjak dengan air mengalir deras dari atas. Kaki rasanya sudah sangat lelah, punggung berat, juga dingin. Ya ampun, itu malam pertama diklat Rekgiwa angkatan ke-17 SMAN 1 Sidoarjo. 

Rasanya baru kemarin saja mengalami berbagai kesakitan saat diklat. Bayangkan, kami menginjak rumput yang penuh duri di malam gelap tanpa bisa mengeluh. Kami berjalan dengan sedikit air dan harus mencari makanan alternatif agar anggota tim tidak kelaparan dalam pelajaran survival di alam bebas. Kami harus nyasar ke dasar jurang yang basah dan "rungsep" karena salah mengambil arah kompas. Pun, kami harus menyebrang sungai dengan tali. Rasanya pangkal kaki begitu sakit. Hiks..

Rasanya baru kemarin saja kami senior silih berganti memberikan materi dalam perjalanan kami menjadi anggota organisasi pecinta alam baik di kelas maupun di luar kelas. Beberapa perjalanan pun kami lakukan: ke Welirang dengan tragedi anggota hilang selama 3 hari, ke Argopuro  yang bikin kaku kaki-kaki (dulu perlu 6 hari ya, lain jalur dengan sekarang), pun berbagai kegiatan kami lakukan seperti lomba panjat, bersih sungai, LPJ angkatan, dll.


Dan yang katanya rasanya baru kemarin itu ternyata sudah terjadi sekitar 14 tahun lalu. Lama banget kan. Masih ada yang lebih lama, yakni kakak-kakak angkatan dari angkatan pertama hingga angkatan saya yang ke-17. Percaya nggak kalau kami merasa saling terhubung satu sama lain meskipun hanya bertemu pada acara-acara tertentu saja. Malah sekarang mendekat lagi dengan adanya grup whatsapp. Keluarga yang hilang akhirnya berkumpul lagi. Hehee....



18 September 2019

Egoisme Ibu Pendaki: Pendakian Malam Gunung Penanggungan Bersama Dua Anak

Naluri sebagai orang tua tentu saja akan menuntun kita untuk menimbang segala aspek dan baik buruk suatu hal demi kepentingan anak. Termasuk ketika kami hendak mendaki Gunung Penanggungan kala itu. Rencana awalnya, kami akan mendaki siang hari saat jalan terhampar jelas di depan mata. Lalu sampai di lokasi sebelum malam sehingga anak-anak bisa beradaptasi dulu dengan lingkungan sekitar. Nyatanya ….
Siang itu awan hitam masih menggelayut di langit Sidoarjo diselingi hujan ringan yang datang pergi sesuka hati. Tas carrier masih kosong belum saya isi apapun. “Cuaca nggak bersahabat, alamat nggak jadi,” pikir saya. Ya sudah saya pun tidur siang dan terbangun pukul 3 sore bersamaan dengan pulangnya suami dari toko.
“Gimana, Yah?” tanya saya pada ayahnya anak-anak.
“Ayo siap-siap, Ismet jadi ikut. Berangkat habis magrib.”
Waduh, kok habis magrib pikir saya. Berarti nanti jalan malam hari. Tapi mungkin saya yang terlalu egois ya, jadi mengiyakan saja. Anak-anak pun sudah antusias. Mereka suka sekali tidur di dalam tenda berteman udara dingin.

Selepas magrib kami masih bersiap. Mbungkus sate dan beberapa makanan buat bekal nanti. Dan akhirnya kami baru melaju sekitar pukul 7 malam menuju Desa Tamiajeng, Trawas. Singkat cerita pukul 9 malam kami baru mulai pendakian. Tanah basah menunjukkan hujan belum lama pergi. Melihat itu saya sedikit merasa bersyukur tidak diguyur hujan saat di perjalanan nanti.  Pos 1 (perizinan) sampai pos 2 medan masih sama dengan 7 tahun lalu. Yak, terakhir saya kesana memang 7 tahun lalu. Lalu saya kaget di pos 2 ada warung. Ya ampun, 7 tahun lalu saya merinding di sana karena ada cahaya merah bergerak-gerak, yang ternyata orang sedang merokok dalam kegelapan. Kini, kesan mistis itu hilang. Belum lagi soal ramainya orang. Dari yang bercarrier besar hingga yang bawa tas kecil atau bahkan yang tak membawa apa-apa. Dari yang bersepatu gunung sampai yang bersandal hak pendek. Dari yang jomblo sampai yang membawa anak (saya dong). Ramai sekali! Benar-benar berbeda.

Lintang, anak saya yang kecil lebih sering terlelap dalam gendongan ayahnya. Sementara Gilang, anak saya yg besar, jalannya cepat sekali. Dia nggak banyak omong cuma kadang bertanya kapan sampai karena dia sudah ngantuk. Dalam hati saya kasihan sekali padanya. Dia minta tidur di gunung malah saya ajak ke Penanggungan yang medannya berat. Di titik itu penyesalan saya sangat tinggi. Egois sekali saya menyusahkan anak-anak demi keinginan pribadi. Saya selalu menghiburnya agar ia tertawa. Untung saja anak saya keren. Setiap pos terlewati dengan aman. Anak saya hanya kesulitan melewati jalur tanah becek dan licin. Jalur yang ditrap-trap oleh warga dan akhirnya berlumpur saat musim hujan seperti ini. Beberapa kali jatuh dan kotor tapi syukurlah dia nggak manja dan masih tetap mau berjalan. Kesulitan mulai bertambah saat melewati pos 4. Medan tanjakan batunya tinggi-tinggi dan itu menyulitkan anak saya. Bilamana kami mengambil sisi kanan yang medannya tanah, kami kesulitan melangkah karena licin. Rasanya sudah lelah sekali dan berharap ini segera berakhir.
Ahirnya tepat tengah malam kami tiba di Puncak Bayangan Pos 5. Tempat itu yang dulu hanya bisa diisi oleh belasan tenda saja, kini bisa puluhan. Penuh. Benar-benar penuh sampai kami bingung harus mendirikan tenda di mana. Teman yang baru datang mengajak kami ke atas sedikit dan mendirikan tenda di sana. Ya ampun, ini puncak bayangan sudah “berlantai” dua. Semua tempat diterabas untuk mendirikan tenda. Kesan syahdu dan hening tidak saya temui.
Gilang sudah ngantuk berat tapi saya paksa makan beberapa suap nasi dengan lauk sate yang saya bawa sembari menunggu ayah mendirikan tenda. Selesai makan dia langsung terlelap. Begitupun dengan adik dan saya. Para pria masih di luar entah sedang menikmati apa. Kami lelah jiwa dan raga. Hehe…

Pagi pun akhirnya datang. Saya tidak terbiasa bangun siang tapi malas juga mau keluar karena nggak tau mau ngapain di luar. Mau lihat pemandangan, eh yang tempak hanya barisan tenda. Mau foto eh yang diajak foto belum pada bangun. Sedih ya. Tapi saya harus keluar nih, sudah kebelet. Begitu keluar, saya malah bingung harus buang air kecil di mana. Ramai sekaliiii!!! Ya sebagai wanita yg sering bermain di gunung, bikin simple saja. Menjauh, menerabas semak, jongkok, dan aaahhh lega. Masa bodo lah kalau ada yang melihat.
Syukurlah pagi itu anak-anak tampak ceria seperti biasa. Makan, minum, foto-foto. Kelelahan tidak nampak lagi pada tubuh mereka. Teman se-team yang hampir semua cowok pun asik-asik.  Mereka masak ikan mujair asap goreng, sayur asem, juga sambel. Ketemu juga nikmat perjalanan kali ini. Bukan di jalurnya, bukan di pemandangannya, tapi pada momen kebersamaan seperti ini. Terima kasih Penanggungan, untuk secuil cerita indah ini. Kali ini saya tidak akan sampai di puncakmu. Cukup sampai di sini. Saya sangat bersyukur masih ada yang bisa dinikmati.




Waktu pulang tiba. Saya udah pesan ke teman-teman, kalau lama ditinggal saja karena kami meyesuaikan dengan langkah Gilang. Biasanya dia agak kesulitan di turunan apalagi di jalur terjal seperti ini. Beruntung ada Anjas, teman kami, yang berbadan tegap tinggi berbaik hati menggendong Gilang. Langkah kami jadi semakin cepat. Lalu, mendadak hujan deras datang. Khawatirnya saya dengan anak-anak gimana kalau mereka nangis. Duh, lagi-lagi saya salah. Mereka malah semakin ceria dan berjalan dengan riang gembira. Gilang jalan sendiri digandeng om Anjas nya melewati aliran-aliran air yang disebutnya mirip sungai dan air terjun kecil. Lintang ikut tertawa meski sedikit basah. Medan tanah yang tadinya licin jadi biasa saja karena hujan sehingga kami pun tak sulit untuk melaluinya. Hingga akhirnya kami tiba dengan selamat di pos perizinan. Syukur saya tiada terkira banyaknya. Ampuni saya ya Allah atas keegoisan ini. Nggak lagi-lagi mengajak mereka ke tempat yang bermedan sulit. Belum waktunya anak sekecil ini kami ajak bersusah-susah di gunung. Maaf….



03 Oktober 2018

Anak-anakku di Pendakian Gunung Kelud Jalur Tulungrejo



Anaknya ikut mendaki, Bu?

Ya mau bagaimana lagi? Hobi orang tuanya naik turun gunung tidak bisa dihapus. Anak juga tidak bisa dititipkan karena sudah terbiasa bersama sejak kecil. Mbahnya juga ga bakal mau dititipin. menjaga anak kecil usia 5 dan 2 tahun itu super repot dan melelahkan. Jadi, mau nggak mau ya diajak. Kebetulan ayahnya udah nggak kerja juga. Pas mantab naik gunung sekeluarga.

Gunung Kelud jadi tujuan pendakian kami waktu itu. Sebenarnya saya dan teman-teman saja yang mau naik gunung, tanpa anak dan suami. Pingin 'me time' alias melupakan kesibukan mengasuh anak-anak 2 hariii saja. Ternyata pada kenyataannya saya malah tidak tega. Kepikiran nanti mereka nyariin nggak ya, mereka bisa tidur nggak ya, rewel nggak ya, dan banyak pertanyaan yang makin menimbulkan keraguan. Halah. Jadilah saya ajak mereka ikut dalam trip ini.

Pendakian ke Gunung Kelud kami lakukan lewat jalur Tulungrejo, Blitar. Jalur pendakian lho ya, bukan jalur wisata. Kalau jalur wisata bisa lewat Kediri. Sementara jalur pendakian bisa lewat Tulungrejo atau Karangrejo yang berada di Blitar. Namun, menurut teman yang lebih berpengalaman, jalur Tulungrejo lebih bersahabat, terlebih untuk kami yang membawa dua anak.



Basecamp - Pos 1

Dari seluruh tim, yang selalu bersama di barisan belakang ialah saya, suami, Gilang (5 tahun) - jalan sendiri, dan Lintang (2 tahun) - digendong suami, tante Iphe, om Ined, dan om Nung. Alasannya bukan karena ada anak kecil yang jalannya pelan. Tapi karena saya yang susah atur nafas. Sudah berapa tahun ya nggak nanjak. Baru melangkah sebentar saja sudah ngos-ngosan dan kaki terasa 100x lebih berat. Trek mulai menanjak dan masih banyak bonus. Mode penyesuaian on. Gilang masih sangat bersemangat dan jalan dengan cepat. anak kecil mah nggak punya capek kan ya. hehee... 


Pos 1 - Pos 2

Baru saja mulai melangkah, ternyata kami sudah dihadang tanjakan yang lumayan tinggi-tinggi. Pantas saja tadi saat kami beristirahat di pos 1 untuk makan siang, ada rombongan yang ramai sekali saat turun. Ada yang teriak "Turunnya gimana ini?" ada yang ngesot, ada yang gandengan. Eh ternyata seperti ini. Anak saya Gilang mulai kesusahan nanjak. Untung ada om ined dan tante iphe yang mbandol alias narik. Om dan tante inilah yang sedari awal jadi teman jalan Gilang, yang ngasih support Gilang, dan dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan Gilang, "Kapan nyampek?" Nggak bisa saya bayangkan kalau saat itu Gilang hanya mendaki dengan kami. Bisa jadi dia malah nangis. Makasiihhhh ya tante dan om. Big hug!!


Pos 2 - Pos 3

Ini adalah jalur paling panjang dan membosankan yang penuh tipu daya. Kenapa begitu? Hhh..! Jalur ini tanjakannya biasa saja, cenderung banyak bonus malah. Vegetasi lumayan rimbun , teduh, aman dari sinar matahari. Saat kita berjalan menanjak di antara rerimbunan, kita mulai melihat langit terang di ujung sana, kita mulai semangat, lalu saat tiba di tempat itu.. ZONK..! Dan ini tidak terjadi sekali, tapi berkali-kali. Itu bukanlah puncak bukit yang kami daki ini. Pos III memang terletak di puncak bukit. Itulah kenapa setiap langit terlihat jelas, kami berharap itu adalah pos 3.

Lintang terlihat pulas di gendongan ayahnya. Karena hanya duduk, tangan dan kakinya jadi lebih dingin. Jaket pun mula kami pakaikan padanya. Sementara Gilang sudah semakin lelah dan tampak bosan. Beberapa kali ngambek dan sempat nangis karena tangannya berdarah terkena duri. Tante dan om pun semakin lelah menghibur Gilang. Oiya, Gilang sempat ngompol juga. Dia nahan pipis karena nggak ada toilet katanya. Maklum, anak ini memang nggak mau pipis sembarangan. Maunya di toilet. Dan ini pertama kalinya dia ke gunung. Pun kami lupa memberitahunya kalau di gunung nggak ada toilet. Sepatunya agak basah terkena air kencing dan dia mesti ganti dengan sandal.


Pos 3 - Bermalam

Akhirnya kami sampai juga setelah berjalan kaki 4 jam. Lama kan ya? 😁 Nggak apa-apa namanya juga perdana. 😎 Seandainya punya kamera yang mumpuni, ingin rasanya mengabadikan keindahan malam itu. Langit cerah bertabur bintang. Itu 'milky way'. Jelas sekali. Hanya kamera hp yang kami punya. Hanya dengan kedua mata ini kami menikmatinya sambil ngobrol dengan teman-teman seperjalanan. Indah dan menenangkan. Udara dingin dan gelap malam itu ternyata tidak menghalangi anak-anak untuk ikut berkumpul di luar tenda. Saya sendiri sepertinya dalam keadaan kurang sehat dan dalam keraguan dalam memutuskan perlu ikut ke puncak ataukah tidak esok hari.


Hari ke-2 
Perjalanan Ke Puncak



Pukul 5 pagi anggota tim sudah teriak-teriak, "Jadi muncak gak ini?" Dan saya masih bimbang tapi akhirnya tetap packing juga. Segelas sereal hangat saya masukkan ke dalam botol kecil dan saya simpan di dalam tas pinggang kecil. Anak-anak masih tidur. Mereka tidak saya ajak ke puncak dengan pertimbangan bahwa jalurnya kurang bersahabat untuk anak kecil. Mereka akan lebih aman di tenda bersama suami saya  yang baik hati. 😘

Saat berdiri di luar tenda, mulai terbayang jalur menuju puncak yang kami lihat kemarin sore. Aduh, kuat gak ya kaki ini. Tapi, pemandangan pagi itu begitu menghibur. Di depan mata, arah matahari terbit, ada Gunung Buthak dengan langit kekuningan. Sementara di belakang, lumayan tertutup alang-alang tinggi samar-samar tampak lautan awan. Dan lautan awan ini tampak jelas di ujung tikungan sebelum turunan tajam pos 3 arah puncak.

Di sana, jalur naga nampak diselimuti awan yang bergerak turun serupa air terjun.
"Ayo cepet turun, kita ke awan itu!"

"Ayoo!!"

Ternyata turunannya lumayan tajam. 😅 Kadang sambil duduk, sambil pegangan ranting, kadang juga pegangan tali pengaman yang sudah terpasang.

Jalur ke puncak Kelud ini sesuatu banget. Kami dipaksa untuk mendaki hingga puncak bukit tinggi (pos 3) lalu diajak turun lagi begitu jauh dan tajam turunannya. Kemudian naik turun bukit kecil dengan jalur banyak bonus, banyak alang-alang basah. Celana quick dry atau celana waterproof akan sangat membantu di sini.

Begitu lepas jalur tanah dan alang-alang, kita mulai masuk ke jalur pasir dan batu, yang artinya kita sudah semakin dekat. Di jalur ini terasa sekali bahwa sepatu yang tepat akan sangat membantu langkahmu. Sebaiknya pilih sepatu yang bergerigi. Eh tapi banyak lho yang pakai sandal atau sepatu olahraga biasa. Salut lah ya tapi pasti agak licin.



Semakin ke atas, sudah tidak ada tanaman lagi. Pemandangan berubah jadi grand canyon ala-ala Gunung Kelud di sisi kiri. Sementara di sisi kanan ialah tebing super tinggi yang menghalangi sinar matahari. Nah jalur yang benar adalag melipir bawah tebing ini. Sudah ada jalurnya dan tali pembantu (yap bukan tali pengaman, karena kita nggak pakai pengaman). Di ujung sana, ialah puncak. Puncak dengan pemandangan kawah yang kadang berwarna hijau, tapi suatu kali berwarna coklat. Kami menikmati pencapaian ini dengan foto-foto, tidur, masak mie, goreng teur, bikin roti bakar, dll. Karena masih lumayan pagi jadi area puncak belum terlalu panas. Matahari terhalang tebing tinggi di sisi kanan. Setelah puas kami pun turun beriringan dengan formasi sama. Total perjalanan pulang pergi sekitar 4 jam.


Saat samai di pos 3, saya disambut oleh dua anak-anak yang tampaknya sudah kangen berat. Mereka mendadak jadi ngalem, minta gendong, minta minum. Kata ayahnya, tadi lho nggak rewel. Begitu bunda datang jadi lain. Saya tahu mereka kangen. Sama, Nak. "Ngapain aja tadi pas Bunda ke puncak?" Jawab mereka ya jalan-jalan, cari cacing, foto-foto, sama pup. Horee mas Gilang bisa pup di gunung. Wkwkwkw



Perjalanan Kembali ke Basecamp
Seperti yang saya kira sebelumnya bahwa nanti Gilang akan lama saat turun. Dia selalu pelan dan agak takut saat menuruni tangga, dan ternyata terbawa saat turun gunung. Padahal turunan asal-awal masih biasa. Teman-teman sudah di depan. Tim lain yang turun belakangan sudah menyalib kami. Jadilah kami segeluarga yang terakhir. Paling belakang. Tante dan om favorit gilang sidah kami suruh turun duluan.

Gilang lelah. Hari sudah semakin sore. Kalau seperti ini terus kami bisa kemalaman di jalan. Agak ruwet waktu itu. Tapi akhirnya adik Lintang diturunkan dari gendongan ayah dan diganti dengan mas Gilang yang 18 kg. Wkwkw... Dan Lintang? Ya otomatis saya yang gendong. Saya gendong pakai gendongan sling biasa (1 bahu) di depan perut. Saya masih nggendong carrier juga. Jadi pas depan belakang.

Kata suami, "Berat ya bawa anak?"

Saya jawab aja ya resiko. Huwa...

Posisi nggendong seperti itu kami lakoni sejak pertengahan pos 3 - pos 2 sampai dengan pos 1 di tanjakan terakhir dengan pertimbangan pos 1 ke bawah jalurnya sudah sangat bersahabat. Kami percepat langkah. Kaki makin lelah menahan beban berat. Kerongkongan lebih sering kering. Kami mengejar waktu agar tidak kesorean.

Setelah pos 1, kami kembali ke posisi awal. Dan anehnya Gilang yang tadinya takut dengan turunan kini mulai menikmati turunan. Bahkan sampai perosotan dengan gembiran dan sudah bisa ngerem saat larinya kekencengan. Kami senang dong ya. Adik juga ikut tertawa. Dan akhirnya setelah 4 jam kami bisa kembali ke basecamp. Naik sama turun sama-sama 4 jam.



Teman-teman sudah selesai mandi 😆
Haha.. makasih sudah menunggu.
Akhir yang bahagia untuk perjalanan kali ini.

15 Juni 2016

Nggunung sama Mantai - Travelingnya Ibu Hamil

Pikiran gila saya muncul kalau ingat perkataan dokter yang menangani saya melahirkan kapan hari. Dia bilang kontraksi rahim saya lemah, dan itu sedikit banyak telah menjawab pertanyaan saya selama ini kenapa dulu saat kehamilan pertama saya tidak merasakan kontraksi sama sekali hingga berujung operasi secar, kenapa saya juga tak merasakan kontraksi walau ke pantai dan naik gunung saat hamil kemarin. Kalau tau lebih awal kan saya mau naik gunung lagi (kemping maksudnya) pas usia kehamilan 7/8 bulan. Waktu itu pingin banget jalan-jalan tapi ga diizinkan suami. Hiks.. Kan seru di hutan/ bumi perkemahan dengan perut besar.

Ya tapi saya bersyukur selama hamil anak kedua sudah diizinkan jalan-jalan 2x sama suami. Saya paham kok larangannya itu demi kebaikan saya dan bayi. Karena dia sayang sama saya. ^^
Terima kasih untuk dua trip hamilnya yaa... :)



Seperti judulnya, ini trip ngidam awal kehamilan saya, yakni saat usia kehamilan 17 minggu atau 4 bulan. Saya ngidamnya ke gunung sih tapi oleh suami malah diajak ke pantai. Ya manut saja daripada nggak kemana-mana. Kami pergi ke Pantai Gatra yang lagi hits di Malang. Tempatnya  bersebelahan dengan Pantai Sendang Biru/ Pulau Sempu. Di Gatra kita bisa sekalian ke beberapa pantai di sebelahnya termasuk ke Pantai Tiga Warna yang lagi naik daun juga. Berhubung Pantai Tiga Warna merupakan area konservasi kita tidak boleh kemping di sana. Untuk ke sana pun harus dengan pemandu dan waktunya dibatasi. Intinya sih dengan membayar tiket masuk ke Gatra + biaya guide ke Pantai Tiga Warna kita bisa kemping (buka tenda), bisa jalan-jalan juga ke pantai-pantai di sebelahnya: Pantai Clungup, Pantai Watu Pecah, Pantai Mini, Pantai Savana.

Berhubung sudah terlalu sore, Pantai Tiga Warna jadi tak terlalu spesial, terutama buat saya, apalagi Gilang (usia 2,5 thn) menangis saat kena ombak. Maklumlah dia baru kali ini ketemu pantai. Sore itu dengan serunya kami trekking ke atas bukit. Niatnya sih mau menyaksikan matahari terbenam, apa daya begitu sampai puncak bukit ternyata posisi tenggelamnya matahari tertutup bukit lain, bukan di lautan nan jauh di sana. Tiwas lari-lari euy! Haha iya saya hamil 4 bulan dan naik-naik bukit sambil lari. Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. ^_^

Enaknya kemping di Pantai Gatra itu menurut saya suara ombaknya tidak terlalu menakutkan seperti ombak pantai selatan lainnya karena ombaknya sudah pecah agak jauh di sana. Jadi ombak yang sampai ke bibir pantai itu tinggal riak-riak kecil aja sehingga suaranya cukup syahdu dan pasti aman buat yang nggak bisa berenang seperti saya. Malam itu lumayan syahdu. Hanya ada beberapa tenda saja. Tidak ada yang bising. Kita bisa menikmati kabut laut, dan bintang.
Pagi dan siang harinya pun saya nikmati dengan susur pantai, berenang-renang kecil, yahhh pokoknya jalan sampai capek lah. Sampai kaki sudah berat melangkah. Semuanya berjalan baik dan menyenangkan. Terima kasih suami, anakku, dan tim.



Untuk trip kali ini saya menghabiskan banyak waktu googling pengalaman bumil bumil lainnya yang juga mendaki gunung sebagai referensi. Sedikit sih, tapi cukup menginspirasi. Salah satunya bumil yang sukses naik Gunung Rinjani dan Gunung Semeru. Dua kali mendaki saat hamil euy. Dan itu sukses membuat saya merengek cantik ke suami minta diantar naik gunung. "Ngga perlu sampai puncak Yah, yang penting ngerasain naik gunung atau kemping tipis-tipis, ya ya?" 

Saya sedang hamil 5 bulan saat itu. Kebetulan sekali teman-teman suami berencana naik ke Gunung Arjuno via Purwosari, minimal mendaki sampai Pos V Mangkutoromo. Saat suami menawari saya untuk ikut, saya sempat ragu juga, tapi daripada ditinggal sendiri di rumah ya mending ikut (hhh egoisnya saya). Tapi kami sepakat bahwa akan mendaki semampu saya saja.

Teman-teman kerja suami saya sungguh perhatian. Mereka membantu setiap langkah saya. Mereka masih tidak percaya bahwa saya yang saat itu sedang hamil malah asik dan semangat mendaki. Saya yang sudah lama tidak latihan fisik dan lama tidak mendaki gunung merasa kalau kaki lebih berat. Saya tertinggal di belakang. Untungnya semua berjalan santai. Belum lagi mereka suka sekali dengan Gilang yang ikut mendaki juga tapi di atas gendongan ayahnya. "Bunda, ayo jalan," kata-kata Gilang ii yang bikin semua tertawa dan membuat saya semangat terus walau pinggang sakit juga. Ealaahh emak-emak banget. Hihi..

Saya tertipu. Di catper-catper online yang saya baca katanya trek jalur pendakian Arjuno via Purwosari ini tergolong landai sampai pos V. Saya sudah membayangkan bahwa hari itu kami akan berjalan kurang lebih 4-5 jam dan akan menginap di Pos V. Ternyata kenyataan sangat jauh dari ekspektasi. Hujan mulai turun sejam sebelum sampai di Pos II. Saya mulai mengkhawatirkan Gilang. Anak sekecil itu harus merasakan udara dingin dan basah hujan karena egoisme orang tuanya. Saya kira dia akan menangis tapi ternyata dia malah keasikan dibawah payung ayahnya. Malah ayahnya nggak boleh menutup payung walaupun hujan sudah reda. 

Saya sendiri merasa tubuh semakin berat. Jalur tanah itu mendadak penuh air dari atas. Sepatu Karrimor Boulder saya yang anti air pun sudah banjir air sampai ke dalam-dalamnya. Kaki semakin berat, trek menanjak, perut lapar. HHhh lengkap! HIngga akhirnya tas saya jatuhkan begitu saja kurang lebih 20 meter sebelum sampai Pos II. Lalu si mbak cantik temennya suami langsung mengambil alih tas saya dan membawanya ke pos. Aiiihh malunya! :p
Malam itu saya memutuskan bahwa pendakian saya kali ini, saat saya hamil lima bulan, saat saya membawa anak pertama saya yang berusia 2,5 tahun, berakhir di sini. Meskipun belum terlalu tinggi, belum bertemu pinus merkusi, belum bertemu halimun, belum memeluk kabut, saya sudah ikhlas dan cukup bahagia. Menyenangkan punya pengalaman mendaki tipis-tipis saat hamil lima bulan. Menyenangkan bermandi hujan saat berangkat dan pulang. Menyenangkan memilikimu, Suami dan anakku.

Mendaki gunung saat hamil? Kenapa tidak. (Jangan ditiru! Bila meniru, resiko ditanggung sendiri ya, kondisi setiap orang tidak sama, diskusikan dengan dokter dan keluarga)