Tampilkan postingan dengan label Penanggungan Archeological Trail. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penanggungan Archeological Trail. Tampilkan semua postingan

10 Juni 2013

Jalur Kedungudi: Jalur Pendakian Penanggungan Penuh Candi


Yang banyak diketahui pendaki (termasuk saya) ialah bahwa untuk mendaki Gunung Penanggungan hanya bisa lewat jalur Jolotundo (barat), Tamiajeng (selatan), Ngoro (utara), dan Wonosunyo (timur). Kali ini saya ingin sedikit bercerita kalau ada jalur lain untuk menuju atau pulang dari puncak dan terdapat banyak candi di jalur tersebut. Sebutlah jalur itu jalur Kedungudi. Dinamai demikian karena jalur tersebut berakhir di Desa Kedungudi, Kecamatan Trawas, Mojokerto.

Saya sendiri baru sekali lewat sana. Itu pun bukan naik, tapi turun dari puncak, dan dalam rangka pencarian&pendataan ulang candi-candi bersama tim Penanggungan Archeological Trail 2012.
Singkatnya, waktu itu saya sudah bermalam di puncak Gunung Penanggungan. Saya naik lewat jalur Tamiajeng (selatan) dan membutuhkan empat jam perjalanan untuk tiba di puncak. Dan kami akan turun melalui jalur Kedungudi. Jalur tersebut ada di sisi barat daya puncak. Dari puncak utama (selatan) kita berjalan ke arah barat lalu mengikuti setapak yg arahnya agak serong ke kiri. Ah, saya bingung menjelaskannya karena memang jalur ini jarang sekali dilewati dan tidak ada penunjuk arah. Nanti arah turunnya itu sejajar dengan jalur Jolotundo, hanya beda punggungan dan beda tujuan akhir.

Vegetasinya pun sama dengan jalur jolotundo, yakni berupa rumputan, alang-alang, dan kaliandra. Medan juga sama terjalnya (setidaknya itu menurut saya). Yang membuatnya istimewa ialah sejak dari atas hingga ke bawah akan kita temui situs purbakala baik berupa goa maupun candi meskipun kondisinya sudah tidak terlalu bagus. Dan dari atas kita sudah bisa melihat posisi candi-candi tersebut.
Goa dan candi yang bisa kita temui akan saya sebutkan di bawah ini. Seperti biasa, saya tidak akan memberikan keterangan apapun mengenai candi seperti sejarah atau kapan dibuatnya. Kalau ditulis berdasarkan buku, bisa panjang sekali. Hehe…

Goa Widodaren
Goa ini menghadap ke barat. Mungkin jika musim angin datang dari timur tempat ini cocok dipakai untuk kemping. Tapi ya tetap harus menggunakan tenda.

 Goa Butul
Goa ini bagaikan oase di padang pasir. Hehe.. Posisinya ada di bawah tanah/ jalur yang kita lewati. Sejuk sekali berada di dalamnya setelah kita berpanas-panas ria di sepanjang jalur.

 Candi Kama I
Posisinya kira-kira 15 meter di kanan jalur, tertutup kaliandra dan semak. Jadi tidak begitu terlihat.

 Candi Wisnu
Posisinya masih satu punggungan dengan candi sebelumnya.

 Candi Tanpa Nama
Masih berada satu punggungan dengan candi-candi sebelumnya. Hanya saja sudah tidak berbentuk, hanya serakan batu candi dan pecahan terakota.

 Candi Guru
Inilah penampakannya baik dari atas maupun bawah.


Candi Siwa


Candi Lurah
 Masih lumayan bagus ya candinya...


Candi Carik
Hati saya begitu riang begitu tiba di area Candi Carik. Bukan karena candinya, tapi karena pesta buah. Ada buah semacam arbei yang sedang berbuah banyak sekali dan ranum-ranum. Ahhh nikmat!

Candi Naga II
Lelah, kehabisan air, kepanasan, tidak tertarik, itu yang saya rasakan. Bagaimana tidak, untuk menuju candi ini kita harus turun dulu dari lokasi Candi Carik (entah berapa meter saya lupa) lalu menembus semak dan kaliandra lebat ke arah selatan (kiri) lalu mendaki lagi sejauh turunan tadi.

Setelah Candi Naga II, jalur mulai datar dan mengarah ke Desa Kedungudi. Tidak ada pos pendakian di sana. Waktu itu kami hanya mampir di warung untuk membeli minum. Untuk transportasi kembali ke Tamiajeng pun kami dijemput mobil.
Note: Maaf yang saya pasang adalah foto narsis. Sengaja. Hehe..

09 Juni 2013

Jelajah Candi di Gunung Gajahmungkur


Bentuk Gajah Gunung Gajahmungkur
Yang saya maksud dengan Gunung Gajahmungkur di sini bukanlah Gunung Gajahmungkur yang terletak di Jawa Tengah. Gunung Gajahmungkur yang saya maksud terletak di Jawa Timur, tepatnya di sisi utara Gunung Penanggungan, Ngoro, Mojokerto. Gunung ini berketinggian 1.084 mdpl dan masih satu kluster dengan Gunung Penanggungan. Bila dilihat dari sisi lain, misalnya Jl. Raya Pandaan atau Seloliman akan tampak sebuah bukit besar berbentuk gajah dengan kepala dan tubuh yang menghadap ke puncak Gunung Penanggungan dan “memungkuri” (membelakangi) kita.
Apa yang menarik? Banyak! Tidak hanya memiliki pemandangan yang indah, Gajahmungkur juga memiliki peninggalan sejarah/ purbakala berupa candi-candi yang menyebar di segala sisinya. Candi-candi ini dalam perlindungan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur. Untuk candi-candi di area ini ada sekitar enam orang penjaga candi. Mereka adalah warga desa Kunjorowesi yang diangkat menjadi PNS dan bertugas untuk menjaga candi dari tangan-tangan usil pencuri, pengecekan rutin candi, membersihkan candi, melakukan penanaman bunga-bunga di sekitar candi, dsb. Salah satu penjaga candi yang sangat saya ingat ialah Pak Nimun. Dengan beliaulah kami mengeksplor candi-candi tersebut.
Waktu itu kira-kira awal September 2012. Kami berkunjung ke sana. Ada beberapa candi yang bisa kami temui dan akan saya sebutkan satu persatu di bawah. Tapi saya tidak akan menjelaskan tentang detail candi ataupun sejarahnya karena belum bisa diketahui secara pasti. Hanya saja candi-candi ini diperkirakan ada sejak akhir zaman Majapahit.

Candi Kerajaan
Candi yang reliefnya masih sangat indah. Namun, susunannya sudah tidak teratur karena ketika ditemukan, candi ini sudah berupa reruntuhan dan tertimbun tanah (kemungkinan bekas longsor). Yang menarik sebelum tiba di candi ini ialah kami melewati tangga dari batu yang ternyata adalah bekas susunan tangga dari masa lampau.




Candi Dharmawangsa
Susunan batu dan reliefnya juga sudah tidak beraturan. Entah bentuk aslinya seperti apa. Di sebelah kanan candi harusnya kita bisa melihat puncak Penanggungan. Hanya saja saat itu sedang tertutup kabut.



Candi Gajah
Dari puncak Gajahmungkur kami diajak potong kompas alias “mbrasak” (hehe) semak dan ranting untuk turun ke lokasi candi. Candinya bagus, bentuk gajah. Sayangnya sudah dicemari tangan usil pencuri. Huh!


Candi Wayang
Dari Candi Gajah kami turun ke Candi Wayang. Letaknya di lembah antara Gajahmungkur dan Penanggungan. Bentuknya seperti dinding dengan relief-relief yang indah, meskipun sudah ada pencuri dungu yang mencongkelnya. Huh!


Candi Kama IV
Letaknya di sebuah ceruk tebing yang tak begitu dalam. Lalu bagian depannya ditutupi dengan susunan batu gilang. Bagian dalamnya terbilang sempit. Pemandangan dari tempat ini bagus juga.



Candi Griya
Entah bentuk aslinya nya seperti apa. Yang pasti kini ia hanya berupa tumpukan batu-batu gilang kemudian dipagari tanaman.


Makam Mbah Lipah
Bentuknya berupa makam yang ditutup dengan kain putih. Entah siapa Mbah Lipah itu.



Situs Watu Jolang
Ada mitos yang mengatakan bahwa kalau gajah-gajah yang di Candi gajah itu haus, mereka akan mendatangi tempat ini untuk minum. Bentuknya memang seperti tempat air yang saat ini sudah ditutupi batu lain.

19 Oktober 2012

Pameran Foto: Menelusuri Gunung Suci Penanggungan

Brosur Pameran

Kami mengundang Anda untuk datang dalam acara pameran foto "Menelusuri Gunung Suci Penanggungan" yang akan diselenggarakan pada tanggal 1-3 November 2012 di Welirang Room, Ubaya Training Centre (UTC), Desa Tamiajeng, Trawas.  Dalam pameran ini akan dipertunjukkan foto-foto pemandangan alam dan puluhan situs purbakala yang ada di Gunung Penanggungan hasil penelususran tim ekspedisi beberapa waktu yang lalu yang dipimpin oleh Bapak Hadi Sidomulyo.  
Hasil penelusuran ini juga akan dijadikan panduan Penanggungan Archeological Trail yang diprakarsai oleh Universitas Surabaya (Ubaya) melalui Kampus III (Ubaya Training Centre) yang ada di Desa Tamiajeng, Trawas.
Agenda Acara (selain kunjungan untuk melihat foto yang dipamerkan):

Kamis, 1 November 2012:

Pembukaan dan pemaparan program Penanggungan Archeological Trail.

Sharing fotografi bersama Don Hasman serta membandingkan foto-foto situs bidikannya di tahun 1990.



Jumat, 2 November 2012:
Pengenalan program ke para asosiasi travel agent

Sabtu, 3 November 2012:
Pers Conference dengan wartawan dan trekking ke Candi Selokelir
Gathering lintas komunitas atau kemping bersama setelah melihat pameran foto. Kemping akan dilakukan di areal perkemahan Ubaya Training Centre (UTC). Harap membawa perlengakapn dan logistic sendiri.

Minggu, 4 November 2012:
Trekking ke situs candi terdekat.

Tim Penelusuran Situs Purbakala:
1. Hadi Sidomulyo
2. Kusworo Rahadyan
3. Nurul Hidayati (saya)

Jangan lupa datang yaa...! Terbuka untuk umum dan gratis
========================================================
PASCA PAMERAN
Kesan Saya:
           Mempersiapkan ini terasa sangat melelahkan bagi saya dan suami. Memilah foto memang terlihat mudah, tapi kenyataannya tak seperti itu. Kejenuhan adalah musuh utama. Kami bisa duduk berjam-jam di depan komputer, lalu mendesain poster perblok jalur penelusuran candi (ada 4 blok), belum lagi kami harus memilih satu-satu dari ratusan foto yang ada dan mengeditnya. Yaa.. tapi selelah apapun, melakukan hal yang kami sukai terasa lebih menyenangkan. Bukankah begitu? Dan mengetahui kalau pameran kami ini sukses adalah suatu kebanggaan. Bertemu dan berinteraksi dengan berbagai orang juga tak kalah menarik. Dunia serasa lebih luas. Oh iya, banyak juga orang yang bertanya, "Nurul, kamu mahasiswa Ubaya?" Hehe.. Ya, saya memang bukan mahasiswa Ubaya, tapi Unesa. Bagi saya, tempat manapun akan jadi lebih baik selama saya bisa terus bertumbuh.
         Berita acara ini muncul di beberapa media massa (setelah sebelumnya kami ajak trekking ke Candi Selokelir), antara lain: Sindo (bag I), Sindo (bag II), Antara Jatim, Radar Surabaya. Sebenarnya ada yang perlu diluruskan mengenai Candi Selokelir. Selo artinya batu, kelir artinya wayang. Maksudnya ialah saat penemuan candi ini banyak ditemukan batu-batu yang berelief wayang yang menceritakan Cerita Panji (Panji Asmorobangun) pada zaman kerajaan Kediri. Bisa jadi Kediri pramajapahit atau pada masa Majapahit. Jadi ada kemungkinan bahwa candi ini sudah ada sejak zaman kerajaan Kediri dan digunakan sampai zaman akhir Majapahit/ 14-15 M. Sungguh merupakan suatu kenyataan yang mengagumkan.

Berikut ini adalah tulisan dari Akhmad Khuzaini:

Berdasarkan hasil penelitian Para Arkeolog tampaklah pada kita betapa pentingya peninggalan-peninggalan di daerah Penanggungan. Daerah ini sangat disucikan oleh masyarakat di pulau Jawa. Mereka beranggapan bahwa tempat ini merupakan tempat tinggal para dewa dan leluhurnya, yang ternyata banyak menyimpan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu kita semua harus mengakui kebesaran dan kebudayaan bangsa kita yang sudah mencapai taraf yang tinggi pada abad ke 15.

Daerah Penanggungan yang dipandang sebagai simbol kehidupan kosmis bangsa Indonesia, ternyata sangat menyimpan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang tak ternailai terhadap kemajuan ilmu kepurbakalaan di Indonesia. Punden-punden, candi-candi dan pertapaan-pertapaan, semuanya sebagai informasi kehidupan spirituil bangsa Indonesia pada masa-masa sejarah bangsa Indonesia pada sekitar abad 14 dan 15. Oleh karena itu pantaslah kita untuk mengenang dan mempelajari kembali, kalau kita semua menghendaki kehidupan yang tidak statis.

Kedatangan agama Hindu dan Buddha, semuanya itu justru lebih memberi corak dan landasan yang lebih jelas terhadap kebudayaan kita. Punden berundak dari zaman prasejarah, mempunyai fungsi sebagai tempat meletakkan sesaji untuk persembahan nenek moyang, sudah merupakan bangunan yang megah dan indah. Relief-relief dengan ceritera kepahlawanan yang melukiskan ceritera Mahabarata dan Ramayana tampak sudah menghiasi dinding-dinding candi, punden dan bangunan lainnya yang telah disesuaikan / menggambarkan keadaan masyarakat kita pada waktu itu. Altar-altar dalam kebudayana Hindu yang disebut padmasana, dengan bentuk batu bersusun sederhana, telah dibentuk kembali dalam gaya yang lebih artistik. Ada kemungkinan punden-punden yang terdapat di Penanggungan, pada masa belakangan berkembang pula, sehingga dapat mempengaruhi kebudayaan masyarakat Bali. Sebagai contoh bisa disebutkan Pura Besakih. Sedang pecahan gerabah buatan lokal ataupun import merupakan suatu bukti bahwa nenek moyang kita pada masa purba sudah hidup berkelompok sehingga merupakan suatu masyarakat yang teratur. Dan alat-alat itu ada kemungkinan dipergunakan untuk upacara-upacara keagamaan. Tempayan, pecahan gendi dan juga pecahan guci, memberi kesan kepada kita sebagai tempat air suci, yang selalu berfungsi dalam setiap upacara keagamaan. Umpak-umpak mengingatkan kita adanya suatu bangunan kuno yang berwujud pendapa untuk tempat upacara agama, musyawarah ataupun sebagai penginapan terhadap pesiarah-pesiarah, yang berpangkal pada kepentingan agama waktu itu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sampailah kita pada suatu kesimpulan mengenai hasil survai yang telah kami lakukan. Bertitik tolak kepada fungsi dan arti dari peninggalan-peninggalan daerah Penanggungan dapatlah kami sarankan hal-hal sebagai tersebut di bawah: (1). Pentingnya diadakan penelitian-penelitian lanjutan terhadap site-site yang terdapat di daerah Gunung Penanggungan, agar kita dapat lebih mengetahui latar belakang kehidupan masyarakat masa itu. Dan bila perlu mengadakan suatu ekskavasi. (2). Perlu diadakan restorasi bagi bangunan-bangunan yang mendekati keruntuhannya, agar kita tidak kehilangan jejak terhadap warisan budaya nenek moyang kita. (3). Mengadakan cagar budaya terhadap sisa-sisa bangunan di lereng Gunung Penanggungan. (4). Reboisasi yang dimaksud untuk mengurangi bahaya longsor (erosi), perlu adanya suatu peninjauan kembali, karena akar-akar pohon kalendra banyak menembus ke bangunan-bangunan kunonya, sehingga mempercepat proses keruntuhan. Disarankan agar kerja sama dengan Jawatan Kehutanan setempat diadakan.