Foto-foto bisa dilihat di sini.
Minggu, 20 Juli 2008
Setelah trip pendakian G.Semeru bersama teman-teman dari JPers, Pendaki atau yang lain aku dan teman dari Probolinggo (udah janjian sebulan lalu) berniat melakukan pendakian kae G.Lamongan yang ketinggiannya sekitar 1600 mdpl dan terletak di Kecamatan Klakah, Kab Lumajang, Jawa Timur. Gunung ini memang tidak terlalu tinggi, tapi katanya gunung ini memiliki trek berbatu yang lumayan berat.
Berangkat dari Ranu Pane pukul 15.05 naik ojek (Pak Ningot) sendirian ke Senduro (Lumajang) Rp 50.000,-. Hutan di sepanjang perjalanan masih sangat lebat dan fantastik. Pak Ningot pun banyak bercerita tentang hutan, macan kumbang, makhluk halus, orang hilang, dll.
Tiba di Senduro pukul 17.10 lalu aku masih harus naik angkutan desa Rp 6.000,- ke jalan utama untuk mendapatkan bus maenuju Probolinggo (rumah Mba Devim). Lalu aku naik bus Rp 8.000,- turun di terminal Probolinggo. Huwaahhh… semuanya kulakukan sendirian! Sampai terminal bingung mau kemana, aku ga tau rumah mba Devim, Hp q juga lowbat (tadi disuruh pak Ningot ngecharge ga mau) wah.. wah.. seperti kata om Jess, aku bandel!! Walau pulsa masih ada aku beli pulsa di deket terminal (demi bisa charge hp gratis).
Akhirnya aku bisa menghubungi Mba Devim dan dijemput di terminal pukul 19.35, wew… sambil nunggu aku maem nasi rawon + es teh segelas = Rp 8.000,-
Akhirnya aku menjejakkan kakiku di kota lagi dan tidur di atas kasur nan empuk. Alhamdulillah.. malam itu aku sempet chating (hobi euy), bobo jam sebelas malam zz..zZz..z.
Senin, 21 Juli 2008
Pagi hari aku ditinggal Mba Devim kerja, tapi aku ga sendirian lho.. aku ditemani Mey adik didiknya di PA. Aku diajak muter2, ke warnet, makan gratis (asyiikk..) trus bobo siang deh! Menjelang sore balik ke rumah mba Devim dan siap-siap!! Perjuangan akan segera dimulai!!
Menuju Pesanggrahan Mbah Citro
Sore itu setelah packing selesai, tim yang terdiri dari Nurul (JPers Sidoarjo), Devim (JPers Probolinggo), dan Mey (adik didik Devim di PA) berangkat dari terminal Probolinggo menuju Pasar Klakah dengan tarif Rp 6.000,-/orang. Setelah tiba di Pasar Klakah kami langsung naik ojek Rp 15.000,-/orang menuju desa terakhir atau pesanggrahan Mbah Citro (sesepuh di daerah tersebut). Jarak dari Pasar Klakah hingga pesanggrahan Mbah Citro sekitar 10 km. Tidak jarang para pendaki menuju rumah Mbah Citro dengan jalan kaki, karena takut kemalaman kami memilih naik ojek.
Pos Watu Gede
Setelah sowan (mampir) ke rumah Mbah Citro (minjem sendok coz lupa bawa) kami melanjutkan perjalanan (pukul 17.50). Awalnya kami melewati ladang penduduk dengan jalan yang datar-datar saja. Kemudian vegetasi berubah yaitu berupa savana dangan medan sedikit berbatu tapi masih taraf datar. Lha.. di sini nih yang temen-temen JPers ga tau, kami sempat hampir nyasar, bolak-balik di jalan yang sama hampir 20 menitan. Cuaca malam itu buruk banget, kabutnya tebal, jarak pandang hanya lima meter, dan angin sangat kencang sehingga arah tidak terlihat dengan jelas, apalagi rerumputan yang tidak teratur membentuk semacam jalan yang ternyata menuju arah lain. Untuk menghilangkan stres kami duduk2 dulu sambil nyanyi. Untungnya kami mencoba menyisir tempat itu dan menemukan jalan yang benar (tadi ga kelihatan, hehehe…).
Sebenernya nih waktu nyasar kami sama-sama takut, apalagi suasana mistisnya tiba-tiba muncul, tapi yah kami sama-sama diem biar ga tambah takut (tahunya pas ngobrol setelah pulang). Hehehehe… maklumlah cewek-cewek semua, dan tak seorangpun di gunung tersebut!
Setelah itu kami melanjutkan menuju Pos Watu Gede. Sebelum ke sana kami melewati tempat yang namanya cukup unik, yaitu Watu Keset. Tempat ini penuh dengan batu-batuan hitam besar yang terpencar penataannya yang membentuk semacam “keset” G.Lamongan. Untuk melewatinya harus berhati-hati agar kaki tidak terperosok di sela-sela bebatuan. Mulai dari sini penunjuk arah terlihat dengan jelas, yaitu berupa cat putih pada bebatuan di sepanjang perjalanan. Kami tinggal mengikutinya saja, dan kami tiba di Pos Watu Gede pukul 19.44 dan mendirikan tenda di sini. Ini adalah tempat yang datar dan bisa digunakan untuk mendirikan tenda dan ada sebuah batu yang sangat besar, karena itulah diberi nama Watu Gede (Batu Besar). Cuaca tidak membaik, bahkan lebih buruk. Di sini badai angin semakin besar, bahkan tenda yang di dalamnya ada Devim hampir saja terbang. Mendung semakin gelap mengitari G.Lamongan. Suasana gunung saat itu benar-benar sepi, gelap, tak satupun bintang mengintip.
Ngeri juga sebenernya gunung ini, tapi kami ga mau kalah, walau udah malem dan anginnya kenceng, kami tetap bercanda riang main api unggun (lupa bawa jagung euy L), dengerin musik dari radio butut milik Mba Devim, dan telpon bang Obie, hihihi.. Jam 11 malem kami baru bobo’ di dalam tenda bergoyang.
Selasa, 22 Juli 2008
Pukul 03.00 dini hari kami bangun untuk segera summit attack, tapi keadaan yang tak membaik dengan angin masih kencang dan puncak belum terlihat membuat kami enggan mengejar sunrise. Jadilah pagi itu kami membuat sereal dan makan roti dengan susu. Pukul 04.30 kami siap summit attack (malas-malasan, hehehe…). Kami hanya membawa bekal secukupnya, sedangkan barang yang lain kami sembunyikan di balik semak-semak. Kami tidak mau membawa beban terlalu berat karena medan menuju puncak juga berat. Segala perasaan jelek mengenai kemungkinan-kemungkinan terburuk berusaha kami hilangkan. Tenang adalah upaya kami..
Medan Longsoran
Awal perjalanan berupa batu-batuan lepas yang tiap diinjak akan menggelincirkan kaki. Lebar jalan kurang dari satu meter dengan ilalang di kanan kiri jalan. Setelah 1.5 km kami harus pasang gigi satu karena medannya sudah mulai 45o hingga ke puncak. Daerah longsoran batu atau sering disebut lereng penyiksaan (hehehe..) membuat langkah kami melambat. Beberapa kali kami brak bruk (jatuh) di sana-sini, tapi kami tetap senyuumm ^_^ sambil jogged-joged ria denger musik.
Medan Hutan Basah
Medan selanjutnya masih trek yang tajam kemiringannya, hanya saja kami masuk di areal hutan basah/lembab. Kalau di jalur ini meskipun kemiringannya tajam, tapi kami dimudahkan dengan adanya akar dan dahan pepohonan sebagai tempat berpijak atau pegangan. Jalurnya pun bervariasi, mulai dari bebatuan lepas, pasir, bebatuan tetap, bahkan tanah becek. Hutan G.Lamongan masih sangat rimbun. Di dalamnya seperti memasuki dunia lain entah di pulau asing mana. Semuanya begitu berbeda dengan beberapa ratus meter di bawah sana yang udaranya sangat panas. Saat memasuki hutan hari mulai terang, mungkin sekitar jam tujuh, tapi tak ada sinar mentari yang menyusup, semuanya tetap seperti pagi buta dengan kabut yang tak mau pergi. Kami sempat istirahat di Pos Guci. Dinamakan pos Guci karena ada sebuah guci yang diletakkan di bawah bebatuan yang berfungsi menadah air tetesan dari batu tersebut.
Hingga puncak medan didominasi hutan basah. Hanya ada dua atau tiga bonus saja bagi pendaki. Ada yang unik dari hutan ini, yaitu dua buah terowongan yang terbentuk dari akar-akar pohon dan dedaunan yang lebar dan tingginya sekitar satu meter, jadi untuk melewatinya kami harus tiarap (seperti mau perang aja, hehehe..)
Puncak Gunung Lamongan
Ada batu besar yang menandakan bahwa puncak sudah dekat, jarak pandang semakin pendek mendekati puncak karena kabut yang menebal dan angin yang kencang. Pukul 08.17 kami semua tiba di puncak. Rasa haru menyeruak di dada kami, sujud syukur kami persembahkan kepada Sang Penguasa Alam yang telah memberi kami kesempatan mencumbu puncak G.Lamongan.
Seandainya tidak tertutup kabut, dari puncak kami dapat melihat tiga buah danau dari atas, yaitu Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali. Tapi kali ini kabut tak mau mengalah pada kami dan menutup semua pemandangan indah di bawah sana dengan hamparan putih. Meskipun begitu kami sangat bersyukur karena bisa tiba di puncak. Kami tetap berfoto-foto dan menghubungi beberapa teman terutama JPers yang mendoakan perjalanan kami dari jauh, tiga wanita sukses menggapai puncak. Kami juga sempet ngakak (padahal cwe) baca tiap SmS dari para JPers, terutama yang tidak berperasaan menyuruh Mba Devim melemparkanku ke kawah (sopo hayo..). Thanks yah buat temen-temen JPers yang buang-buang pulsa buat SmS kami, juga buat bang Obie yang rajin banget telpon (hihihi..)
Turun ke Pos watu Gede
Setelah sejam di puncak ngefrozh ‘n kedinginan kami memutuskan untuk turun, matahari yang ditunggu tak muncul walau sebentar (hikz). Kami turun dengan sangat berhati-hati dari puncak, bahkan kami sempat “ngesot” agar tak jatuh ke kawah karena takut angin menerbangkan tubuh kami. Kami turun melalui jalur yang sama, dan tampaklah betapa berat medan yang kami lalui saat gelap tadi. Aku hanya geleng-gelang kepala dan mengatakan, ”Jangan hanya melihat gunung dari ketinggiannya, tapi nikmati juga betapa berat dan susah mendaki dan turunnya.” Mendengar perkataanku Mba Devim dan Mey hanya tersenyum dan memberikanku dua jempol ^_^ tanda setuju, hehehe..
Setelah melewati hutan barulah pemandangan di bawah sana tampak. Dua buah danau berjajar seperti mata G.Lamongan berwarna hijau nun jauh di sana, yaitu Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Lalu kami turun dan tiba di Watu Gede pukul 12.45, istirahat sebentar lau melanjutkan lagi ke Mbah Citro dan tiba pukul 13.50 dan singgah sebentar di sana.
Perjalanan masih jauh, kami harus menuju Pasar Klakah yang jaraknya sekitar 10 km dengan jalan kaki. Kami sengaja jalan kaki karena hari masih siang dan tentu saja buat menghemat dana :d 1,5 jam kemudian kami tiba di Ranu Klakah dan rehat sebentar menikmati hamparan air yang sangat indah dan panorama G.Lamongan sambil makan pentol ojek ‘n coca cola bawaan kami. Walau hari udah sore lagi ternyata kabut tak mau pergi dari G.Lamongan, sampai kami pergi puncak tetap berselimut kabut. Setelah itu kami pulang ke Probolinggo dengan bus. Total waktu dari Mbah Citro ke Pasar Klakah dua jam (istirahat tidak dihitung). Kaki seperti mati rasa. Turun dari Semeru oke2 aja, tapi turun dari G.Lamongan fuihh… tak bisa kugambarkan. Pukul 18.43 tiga wanita tiba di rumah Devim dengan selamat. Alhamdulillah..
Selasa, 22 juli 2008
Pagi setelah bangun tidur aku mandi tuk terkhir kalinya di rumah Mba Devim, packing kemudian sarapan jajan pasar sambil ngobrol dengan ibundanya Mba Devim. Lalu aku pamitan pulang, diantar Mba Devim ‘n Mey ke terminal Probolinggo. Pukul 10.11 bus yang kubayar Rp 13.000,- sampai terminal Bungurasih baru jalan. Siang itu aku sendirian menuju rumah tercinta. Ada bapak-bapak cerewet minta ampun di sebelahku, malah minta nomer Hp segala, ya jelaslah nggak aku kasih. Tapi kok aku nyesel yah.. harusnya kukasih aja nomernya Mz Kohan (masku rek)!! Makasih buat orang-orang yang menemaniq chating di sepanjang perjalanan. Nurul yang bandel ini tiba di rumah pukul 13.25 dan langsung menyerbu nasi sambel di meja. Alhamdulillah….
Setelah trip pendakian G.Semeru bersama teman-teman dari JPers, Pendaki atau yang lain aku dan teman dari Probolinggo (udah janjian sebulan lalu) berniat melakukan pendakian kae G.Lamongan yang ketinggiannya sekitar 1600 mdpl dan terletak di Kecamatan Klakah, Kab Lumajang, Jawa Timur. Gunung ini memang tidak terlalu tinggi, tapi katanya gunung ini memiliki trek berbatu yang lumayan berat.
Berangkat dari Ranu Pane pukul 15.05 naik ojek (Pak Ningot) sendirian ke Senduro (Lumajang) Rp 50.000,-. Hutan di sepanjang perjalanan masih sangat lebat dan fantastik. Pak Ningot pun banyak bercerita tentang hutan, macan kumbang, makhluk halus, orang hilang, dll.
Tiba di Senduro pukul 17.10 lalu aku masih harus naik angkutan desa Rp 6.000,- ke jalan utama untuk mendapatkan bus maenuju Probolinggo (rumah Mba Devim). Lalu aku naik bus Rp 8.000,- turun di terminal Probolinggo. Huwaahhh… semuanya kulakukan sendirian! Sampai terminal bingung mau kemana, aku ga tau rumah mba Devim, Hp q juga lowbat (tadi disuruh pak Ningot ngecharge ga mau) wah.. wah.. seperti kata om Jess, aku bandel!! Walau pulsa masih ada aku beli pulsa di deket terminal (demi bisa charge hp gratis).
Akhirnya aku bisa menghubungi Mba Devim dan dijemput di terminal pukul 19.35, wew… sambil nunggu aku maem nasi rawon + es teh segelas = Rp 8.000,-
Akhirnya aku menjejakkan kakiku di kota lagi dan tidur di atas kasur nan empuk. Alhamdulillah.. malam itu aku sempet chating (hobi euy), bobo jam sebelas malam zz..zZz..z.
Senin, 21 Juli 2008
Pagi hari aku ditinggal Mba Devim kerja, tapi aku ga sendirian lho.. aku ditemani Mey adik didiknya di PA. Aku diajak muter2, ke warnet, makan gratis (asyiikk..) trus bobo siang deh! Menjelang sore balik ke rumah mba Devim dan siap-siap!! Perjuangan akan segera dimulai!!
Menuju Pesanggrahan Mbah Citro
Sore itu setelah packing selesai, tim yang terdiri dari Nurul (JPers Sidoarjo), Devim (JPers Probolinggo), dan Mey (adik didik Devim di PA) berangkat dari terminal Probolinggo menuju Pasar Klakah dengan tarif Rp 6.000,-/orang. Setelah tiba di Pasar Klakah kami langsung naik ojek Rp 15.000,-/orang menuju desa terakhir atau pesanggrahan Mbah Citro (sesepuh di daerah tersebut). Jarak dari Pasar Klakah hingga pesanggrahan Mbah Citro sekitar 10 km. Tidak jarang para pendaki menuju rumah Mbah Citro dengan jalan kaki, karena takut kemalaman kami memilih naik ojek.
Pos Watu Gede
Setelah sowan (mampir) ke rumah Mbah Citro (minjem sendok coz lupa bawa) kami melanjutkan perjalanan (pukul 17.50). Awalnya kami melewati ladang penduduk dengan jalan yang datar-datar saja. Kemudian vegetasi berubah yaitu berupa savana dangan medan sedikit berbatu tapi masih taraf datar. Lha.. di sini nih yang temen-temen JPers ga tau, kami sempat hampir nyasar, bolak-balik di jalan yang sama hampir 20 menitan. Cuaca malam itu buruk banget, kabutnya tebal, jarak pandang hanya lima meter, dan angin sangat kencang sehingga arah tidak terlihat dengan jelas, apalagi rerumputan yang tidak teratur membentuk semacam jalan yang ternyata menuju arah lain. Untuk menghilangkan stres kami duduk2 dulu sambil nyanyi. Untungnya kami mencoba menyisir tempat itu dan menemukan jalan yang benar (tadi ga kelihatan, hehehe…).
Sebenernya nih waktu nyasar kami sama-sama takut, apalagi suasana mistisnya tiba-tiba muncul, tapi yah kami sama-sama diem biar ga tambah takut (tahunya pas ngobrol setelah pulang). Hehehehe… maklumlah cewek-cewek semua, dan tak seorangpun di gunung tersebut!
Setelah itu kami melanjutkan menuju Pos Watu Gede. Sebelum ke sana kami melewati tempat yang namanya cukup unik, yaitu Watu Keset. Tempat ini penuh dengan batu-batuan hitam besar yang terpencar penataannya yang membentuk semacam “keset” G.Lamongan. Untuk melewatinya harus berhati-hati agar kaki tidak terperosok di sela-sela bebatuan. Mulai dari sini penunjuk arah terlihat dengan jelas, yaitu berupa cat putih pada bebatuan di sepanjang perjalanan. Kami tinggal mengikutinya saja, dan kami tiba di Pos Watu Gede pukul 19.44 dan mendirikan tenda di sini. Ini adalah tempat yang datar dan bisa digunakan untuk mendirikan tenda dan ada sebuah batu yang sangat besar, karena itulah diberi nama Watu Gede (Batu Besar). Cuaca tidak membaik, bahkan lebih buruk. Di sini badai angin semakin besar, bahkan tenda yang di dalamnya ada Devim hampir saja terbang. Mendung semakin gelap mengitari G.Lamongan. Suasana gunung saat itu benar-benar sepi, gelap, tak satupun bintang mengintip.
Ngeri juga sebenernya gunung ini, tapi kami ga mau kalah, walau udah malem dan anginnya kenceng, kami tetap bercanda riang main api unggun (lupa bawa jagung euy L), dengerin musik dari radio butut milik Mba Devim, dan telpon bang Obie, hihihi.. Jam 11 malem kami baru bobo’ di dalam tenda bergoyang.
Selasa, 22 Juli 2008
Pukul 03.00 dini hari kami bangun untuk segera summit attack, tapi keadaan yang tak membaik dengan angin masih kencang dan puncak belum terlihat membuat kami enggan mengejar sunrise. Jadilah pagi itu kami membuat sereal dan makan roti dengan susu. Pukul 04.30 kami siap summit attack (malas-malasan, hehehe…). Kami hanya membawa bekal secukupnya, sedangkan barang yang lain kami sembunyikan di balik semak-semak. Kami tidak mau membawa beban terlalu berat karena medan menuju puncak juga berat. Segala perasaan jelek mengenai kemungkinan-kemungkinan terburuk berusaha kami hilangkan. Tenang adalah upaya kami..
Medan Longsoran
Awal perjalanan berupa batu-batuan lepas yang tiap diinjak akan menggelincirkan kaki. Lebar jalan kurang dari satu meter dengan ilalang di kanan kiri jalan. Setelah 1.5 km kami harus pasang gigi satu karena medannya sudah mulai 45o hingga ke puncak. Daerah longsoran batu atau sering disebut lereng penyiksaan (hehehe..) membuat langkah kami melambat. Beberapa kali kami brak bruk (jatuh) di sana-sini, tapi kami tetap senyuumm ^_^ sambil jogged-joged ria denger musik.
Medan Hutan Basah
Medan selanjutnya masih trek yang tajam kemiringannya, hanya saja kami masuk di areal hutan basah/lembab. Kalau di jalur ini meskipun kemiringannya tajam, tapi kami dimudahkan dengan adanya akar dan dahan pepohonan sebagai tempat berpijak atau pegangan. Jalurnya pun bervariasi, mulai dari bebatuan lepas, pasir, bebatuan tetap, bahkan tanah becek. Hutan G.Lamongan masih sangat rimbun. Di dalamnya seperti memasuki dunia lain entah di pulau asing mana. Semuanya begitu berbeda dengan beberapa ratus meter di bawah sana yang udaranya sangat panas. Saat memasuki hutan hari mulai terang, mungkin sekitar jam tujuh, tapi tak ada sinar mentari yang menyusup, semuanya tetap seperti pagi buta dengan kabut yang tak mau pergi. Kami sempat istirahat di Pos Guci. Dinamakan pos Guci karena ada sebuah guci yang diletakkan di bawah bebatuan yang berfungsi menadah air tetesan dari batu tersebut.
Hingga puncak medan didominasi hutan basah. Hanya ada dua atau tiga bonus saja bagi pendaki. Ada yang unik dari hutan ini, yaitu dua buah terowongan yang terbentuk dari akar-akar pohon dan dedaunan yang lebar dan tingginya sekitar satu meter, jadi untuk melewatinya kami harus tiarap (seperti mau perang aja, hehehe..)
Puncak Gunung Lamongan
Ada batu besar yang menandakan bahwa puncak sudah dekat, jarak pandang semakin pendek mendekati puncak karena kabut yang menebal dan angin yang kencang. Pukul 08.17 kami semua tiba di puncak. Rasa haru menyeruak di dada kami, sujud syukur kami persembahkan kepada Sang Penguasa Alam yang telah memberi kami kesempatan mencumbu puncak G.Lamongan.
Seandainya tidak tertutup kabut, dari puncak kami dapat melihat tiga buah danau dari atas, yaitu Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali. Tapi kali ini kabut tak mau mengalah pada kami dan menutup semua pemandangan indah di bawah sana dengan hamparan putih. Meskipun begitu kami sangat bersyukur karena bisa tiba di puncak. Kami tetap berfoto-foto dan menghubungi beberapa teman terutama JPers yang mendoakan perjalanan kami dari jauh, tiga wanita sukses menggapai puncak. Kami juga sempet ngakak (padahal cwe) baca tiap SmS dari para JPers, terutama yang tidak berperasaan menyuruh Mba Devim melemparkanku ke kawah (sopo hayo..). Thanks yah buat temen-temen JPers yang buang-buang pulsa buat SmS kami, juga buat bang Obie yang rajin banget telpon (hihihi..)
Turun ke Pos watu Gede
Setelah sejam di puncak ngefrozh ‘n kedinginan kami memutuskan untuk turun, matahari yang ditunggu tak muncul walau sebentar (hikz). Kami turun dengan sangat berhati-hati dari puncak, bahkan kami sempat “ngesot” agar tak jatuh ke kawah karena takut angin menerbangkan tubuh kami. Kami turun melalui jalur yang sama, dan tampaklah betapa berat medan yang kami lalui saat gelap tadi. Aku hanya geleng-gelang kepala dan mengatakan, ”Jangan hanya melihat gunung dari ketinggiannya, tapi nikmati juga betapa berat dan susah mendaki dan turunnya.” Mendengar perkataanku Mba Devim dan Mey hanya tersenyum dan memberikanku dua jempol ^_^ tanda setuju, hehehe..
Setelah melewati hutan barulah pemandangan di bawah sana tampak. Dua buah danau berjajar seperti mata G.Lamongan berwarna hijau nun jauh di sana, yaitu Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Lalu kami turun dan tiba di Watu Gede pukul 12.45, istirahat sebentar lau melanjutkan lagi ke Mbah Citro dan tiba pukul 13.50 dan singgah sebentar di sana.
Perjalanan masih jauh, kami harus menuju Pasar Klakah yang jaraknya sekitar 10 km dengan jalan kaki. Kami sengaja jalan kaki karena hari masih siang dan tentu saja buat menghemat dana :d 1,5 jam kemudian kami tiba di Ranu Klakah dan rehat sebentar menikmati hamparan air yang sangat indah dan panorama G.Lamongan sambil makan pentol ojek ‘n coca cola bawaan kami. Walau hari udah sore lagi ternyata kabut tak mau pergi dari G.Lamongan, sampai kami pergi puncak tetap berselimut kabut. Setelah itu kami pulang ke Probolinggo dengan bus. Total waktu dari Mbah Citro ke Pasar Klakah dua jam (istirahat tidak dihitung). Kaki seperti mati rasa. Turun dari Semeru oke2 aja, tapi turun dari G.Lamongan fuihh… tak bisa kugambarkan. Pukul 18.43 tiga wanita tiba di rumah Devim dengan selamat. Alhamdulillah..
Selasa, 22 juli 2008
Pagi setelah bangun tidur aku mandi tuk terkhir kalinya di rumah Mba Devim, packing kemudian sarapan jajan pasar sambil ngobrol dengan ibundanya Mba Devim. Lalu aku pamitan pulang, diantar Mba Devim ‘n Mey ke terminal Probolinggo. Pukul 10.11 bus yang kubayar Rp 13.000,- sampai terminal Bungurasih baru jalan. Siang itu aku sendirian menuju rumah tercinta. Ada bapak-bapak cerewet minta ampun di sebelahku, malah minta nomer Hp segala, ya jelaslah nggak aku kasih. Tapi kok aku nyesel yah.. harusnya kukasih aja nomernya Mz Kohan (masku rek)!! Makasih buat orang-orang yang menemaniq chating di sepanjang perjalanan. Nurul yang bandel ini tiba di rumah pukul 13.25 dan langsung menyerbu nasi sambel di meja. Alhamdulillah….