07 Agustus 2008

Tiga Wanita di Gunung Lamongan

Foto-foto bisa dilihat di sini.

Minggu, 20 Juli 2008
Setelah trip pendakian G.Semeru bersama teman-teman dari JPers, Pendaki atau yang lain aku dan teman dari Probolinggo (udah janjian sebulan lalu) berniat melakukan pendakian kae G.Lamongan yang ketinggiannya sekitar 1600 mdpl dan terletak di Kecamatan Klakah, Kab Lumajang, Jawa Timur. Gunung ini memang tidak terlalu tinggi, tapi katanya gunung ini memiliki trek berbatu yang lumayan berat.
Berangkat dari Ranu Pane pukul 15.05 naik ojek (Pak Ningot) sendirian ke Senduro (Lumajang) Rp 50.000,-. Hutan di sepanjang perjalanan masih sangat lebat dan fantastik. Pak Ningot pun banyak bercerita tentang hutan, macan kumbang, makhluk halus, orang hilang, dll.
Tiba di Senduro pukul 17.10 lalu aku masih harus naik angkutan desa Rp 6.000,- ke jalan utama untuk mendapatkan bus maenuju Probolinggo (rumah Mba Devim). Lalu aku naik bus Rp 8.000,- turun di terminal Probolinggo. Huwaahhh… semuanya kulakukan sendirian! Sampai terminal bingung mau kemana, aku ga tau rumah mba Devim, Hp q juga lowbat (tadi disuruh pak Ningot ngecharge ga mau) wah.. wah.. seperti kata om Jess, aku bandel!! Walau pulsa masih ada aku beli pulsa di deket terminal (demi bisa charge hp gratis).
Akhirnya aku bisa menghubungi Mba Devim dan dijemput di terminal pukul 19.35, wew… sambil nunggu aku maem nasi rawon + es teh segelas = Rp 8.000,-
Akhirnya aku menjejakkan kakiku di kota lagi dan tidur di atas kasur nan empuk. Alhamdulillah.. malam itu aku sempet chating (hobi euy), bobo jam sebelas malam zz..zZz..z.


Senin, 21 Juli 2008
Pagi hari aku ditinggal Mba Devim kerja, tapi aku ga sendirian lho.. aku ditemani Mey adik didiknya di PA. Aku diajak muter2, ke warnet, makan gratis (asyiikk..) trus bobo siang deh! Menjelang sore balik ke rumah mba Devim dan siap-siap!! Perjuangan akan segera dimulai!!

Menuju Pesanggrahan Mbah Citro
Sore itu setelah packing selesai, tim yang terdiri dari Nurul (JPers Sidoarjo), Devim (JPers Probolinggo), dan Mey (adik didik Devim di PA) berangkat dari terminal Probolinggo menuju Pasar Klakah dengan tarif Rp 6.000,-/orang. Setelah tiba di Pasar Klakah kami langsung naik ojek Rp 15.000,-/orang menuju desa terakhir atau pesanggrahan Mbah Citro (sesepuh di daerah tersebut). Jarak dari Pasar Klakah hingga pesanggrahan Mbah Citro sekitar 10 km. Tidak jarang para pendaki menuju rumah Mbah Citro dengan jalan kaki, karena takut kemalaman kami memilih naik ojek.

Pos Watu Gede
Setelah sowan (mampir) ke rumah Mbah Citro (minjem sendok coz lupa bawa) kami melanjutkan perjalanan (pukul 17.50). Awalnya kami melewati ladang penduduk dengan jalan yang datar-datar saja. Kemudian vegetasi berubah yaitu berupa savana dangan medan sedikit berbatu tapi masih taraf datar. Lha.. di sini nih yang temen-temen JPers ga tau, kami sempat hampir nyasar, bolak-balik di jalan yang sama hampir 20 menitan. Cuaca malam itu buruk banget, kabutnya tebal, jarak pandang hanya lima meter, dan angin sangat kencang sehingga arah tidak terlihat dengan jelas, apalagi rerumputan yang tidak teratur membentuk semacam jalan yang ternyata menuju arah lain. Untuk menghilangkan stres kami duduk2 dulu sambil nyanyi. Untungnya kami mencoba menyisir tempat itu dan menemukan jalan yang benar (tadi ga kelihatan, hehehe…).



Sebenernya nih waktu nyasar kami sama-sama takut, apalagi suasana mistisnya tiba-tiba muncul, tapi yah kami sama-sama diem biar ga tambah takut (tahunya pas ngobrol setelah pulang). Hehehehe… maklumlah cewek-cewek semua, dan tak seorangpun di gunung tersebut!
Setelah itu kami melanjutkan menuju Pos Watu Gede. Sebelum ke sana kami melewati tempat yang namanya cukup unik, yaitu Watu Keset. Tempat ini penuh dengan batu-batuan hitam besar yang terpencar penataannya yang membentuk semacam “keset” G.Lamongan. Untuk melewatinya harus berhati-hati agar kaki tidak terperosok di sela-sela bebatuan. Mulai dari sini penunjuk arah terlihat dengan jelas, yaitu berupa cat putih pada bebatuan di sepanjang perjalanan. Kami tinggal mengikutinya saja, dan kami tiba di Pos Watu Gede pukul 19.44 dan mendirikan tenda di sini. Ini adalah tempat yang datar dan bisa digunakan untuk mendirikan tenda dan ada sebuah batu yang sangat besar, karena itulah diberi nama Watu Gede (Batu Besar). Cuaca tidak membaik, bahkan lebih buruk. Di sini badai angin semakin besar, bahkan tenda yang di dalamnya ada Devim hampir saja terbang. Mendung semakin gelap mengitari G.Lamongan. Suasana gunung saat itu benar-benar sepi, gelap, tak satupun bintang mengintip.
Ngeri juga sebenernya gunung ini, tapi kami ga mau kalah, walau udah malem dan anginnya kenceng, kami tetap bercanda riang main api unggun (lupa bawa jagung euy L), dengerin musik dari radio butut milik Mba Devim, dan telpon bang Obie, hihihi.. Jam 11 malem kami baru bobo’ di dalam tenda bergoyang.

Selasa, 22 Juli 2008
Pukul 03.00 dini hari kami bangun untuk segera summit attack, tapi keadaan yang tak membaik dengan angin masih kencang dan puncak belum terlihat membuat kami enggan mengejar sunrise. Jadilah pagi itu kami membuat sereal dan makan roti dengan susu. Pukul 04.30 kami siap summit attack (malas-malasan, hehehe…). Kami hanya membawa bekal secukupnya, sedangkan barang yang lain kami sembunyikan di balik semak-semak. Kami tidak mau membawa beban terlalu berat karena medan menuju puncak juga berat. Segala perasaan jelek mengenai kemungkinan-kemungkinan terburuk berusaha kami hilangkan. Tenang adalah upaya kami..

Medan Longsoran
Awal perjalanan berupa batu-batuan lepas yang tiap diinjak akan menggelincirkan kaki. Lebar jalan kurang dari satu meter dengan ilalang di kanan kiri jalan. Setelah 1.5 km kami harus pasang gigi satu karena medannya sudah mulai 45o hingga ke puncak. Daerah longsoran batu atau sering disebut lereng penyiksaan (hehehe..) membuat langkah kami melambat. Beberapa kali kami brak bruk (jatuh) di sana-sini, tapi kami tetap senyuumm ^_^ sambil jogged-joged ria denger musik.


Medan Hutan Basah
Medan selanjutnya masih trek yang tajam kemiringannya, hanya saja kami masuk di areal hutan basah/lembab. Kalau di jalur ini meskipun kemiringannya tajam, tapi kami dimudahkan dengan adanya akar dan dahan pepohonan sebagai tempat berpijak atau pegangan. Jalurnya pun bervariasi, mulai dari bebatuan lepas, pasir, bebatuan tetap, bahkan tanah becek. Hutan G.Lamongan masih sangat rimbun. Di dalamnya seperti memasuki dunia lain entah di pulau asing mana. Semuanya begitu berbeda dengan beberapa ratus meter di bawah sana yang udaranya sangat panas. Saat memasuki hutan hari mulai terang, mungkin sekitar jam tujuh, tapi tak ada sinar mentari yang menyusup, semuanya tetap seperti pagi buta dengan kabut yang tak mau pergi. Kami sempat istirahat di Pos Guci. Dinamakan pos Guci karena ada sebuah guci yang diletakkan di bawah bebatuan yang berfungsi menadah air tetesan dari batu tersebut.
Hingga puncak medan didominasi hutan basah. Hanya ada dua atau tiga bonus saja bagi pendaki. Ada yang unik dari hutan ini, yaitu dua buah terowongan yang terbentuk dari akar-akar pohon dan dedaunan yang lebar dan tingginya sekitar satu meter, jadi untuk melewatinya kami harus tiarap (seperti mau perang aja, hehehe..)

Puncak Gunung Lamongan


Ada batu besar yang menandakan bahwa puncak sudah dekat, jarak pandang semakin pendek mendekati puncak karena kabut yang menebal dan angin yang kencang. Pukul 08.17 kami semua tiba di puncak. Rasa haru menyeruak di dada kami, sujud syukur kami persembahkan kepada Sang Penguasa Alam yang telah memberi kami kesempatan mencumbu puncak G.Lamongan.
Seandainya tidak tertutup kabut, dari puncak kami dapat melihat tiga buah danau dari atas, yaitu Ranu Klakah, Ranu Pakis, dan Ranu Bedali. Tapi kali ini kabut tak mau mengalah pada kami dan menutup semua pemandangan indah di bawah sana dengan hamparan putih. Meskipun begitu kami sangat bersyukur karena bisa tiba di puncak. Kami tetap berfoto-foto dan menghubungi beberapa teman terutama JPers yang mendoakan perjalanan kami dari jauh, tiga wanita sukses menggapai puncak. Kami juga sempet ngakak (padahal cwe) baca tiap SmS dari para JPers, terutama yang tidak berperasaan menyuruh Mba Devim melemparkanku ke kawah (sopo hayo..). Thanks yah buat temen-temen JPers yang buang-buang pulsa buat SmS kami, juga buat bang Obie yang rajin banget telpon (hihihi..)

Turun ke Pos watu Gede
Setelah sejam di puncak ngefrozh ‘n kedinginan kami memutuskan untuk turun, matahari yang ditunggu tak muncul walau sebentar (hikz). Kami turun dengan sangat berhati-hati dari puncak, bahkan kami sempat “ngesot” agar tak jatuh ke kawah karena takut angin menerbangkan tubuh kami. Kami turun melalui jalur yang sama, dan tampaklah betapa berat medan yang kami lalui saat gelap tadi. Aku hanya geleng-gelang kepala dan mengatakan, ”Jangan hanya melihat gunung dari ketinggiannya, tapi nikmati juga betapa berat dan susah mendaki dan turunnya.” Mendengar perkataanku Mba Devim dan Mey hanya tersenyum dan memberikanku dua jempol ^_^ tanda setuju, hehehe..
Setelah melewati hutan barulah pemandangan di bawah sana tampak. Dua buah danau berjajar seperti mata G.Lamongan berwarna hijau nun jauh di sana, yaitu Ranu Klakah dan Ranu Pakis. Lalu kami turun dan tiba di Watu Gede pukul 12.45, istirahat sebentar lau melanjutkan lagi ke Mbah Citro dan tiba pukul 13.50 dan singgah sebentar di sana.

Perjalanan masih jauh, kami harus menuju Pasar Klakah yang jaraknya sekitar 10 km dengan jalan kaki. Kami sengaja jalan kaki karena hari masih siang dan tentu saja buat menghemat dana :d 1,5 jam kemudian kami tiba di Ranu Klakah dan rehat sebentar menikmati hamparan air yang sangat indah dan panorama G.Lamongan sambil makan pentol ojek ‘n coca cola bawaan kami. Walau hari udah sore lagi ternyata kabut tak mau pergi dari G.Lamongan, sampai kami pergi puncak tetap berselimut kabut. Setelah itu kami pulang ke Probolinggo dengan bus. Total waktu dari Mbah Citro ke Pasar Klakah dua jam (istirahat tidak dihitung). Kaki seperti mati rasa. Turun dari Semeru oke2 aja, tapi turun dari G.Lamongan fuihh… tak bisa kugambarkan. Pukul 18.43 tiga wanita tiba di rumah Devim dengan selamat. Alhamdulillah..

Selasa, 22 juli 2008
Pagi setelah bangun tidur aku mandi tuk terkhir kalinya di rumah Mba Devim, packing kemudian sarapan jajan pasar sambil ngobrol dengan ibundanya Mba Devim. Lalu aku pamitan pulang, diantar Mba Devim ‘n Mey ke terminal Probolinggo. Pukul 10.11 bus yang kubayar Rp 13.000,- sampai terminal Bungurasih baru jalan. Siang itu aku sendirian menuju rumah tercinta. Ada bapak-bapak cerewet minta ampun di sebelahku, malah minta nomer Hp segala, ya jelaslah nggak aku kasih. Tapi kok aku nyesel yah.. harusnya kukasih aja nomernya Mz Kohan (masku rek)!! Makasih buat orang-orang yang menemaniq chating di sepanjang perjalanan. Nurul yang bandel ini tiba di rumah pukul 13.25 dan langsung menyerbu nasi sambel di meja. Alhamdulillah….

Pendidikan di Ranupani


Jika menyebut Ranupani pasti kita, terutama para pendaki yang hobi ke Semeru, langsung tahu itu adalah desa terakhir sebelum melakukan pendakian ke G.Semeru. Ranupane terletak di kaki Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dan memilikaki panorama alam yang indah dengan bukit-bukit yang perkasa, serta dua buah danau yang mempesona, yaitu Ranu Pane dan Ranu Yoso.
Beberapa saat lalu saat melakukan trip Buser Semeru, tim bermalam di rumah Bu Nunuk salah seorang warga setempat. Pagi itu saat membantunya memasak di dapur saya mendapat sedikit informasi dari Bu Nunuk mengenai beberapa hal termasuk soal pendidikan di Ranupane yang membuat hati saya agak sesak dan ingin membaginya dengan Anda.

Hal yang saya ketahui adalah bahwa hampir 100 % warga di desa tersebut pendidikannya hanya sebatas SD. Saya terkejut tak karuan dan mengorek info lebih dalam. Menurut Bu Nunuk hanya beberapa orang, termasuk Bu Nunuk yang lulusan SMU dan itupun warga pindahan. Mengapa sebatas SD? Tentunya banyak alasan yang melatarbelakangi permasalahan besar ini.
Pertama, di desa Ranupane tak ada sekolah lanjutan (SMP/SMU). Jadi bagaimana anak-anak ranupane bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bila sekolah yang mereka butuhkan tidak tersedia di sekitar mereka. Di Ranupane hanya tersedia sekolah TK dan SD saja. Dan hari belajarpun terpotong libur jika ada kegiatan adat dan juga hujan (walau hanya gerimis).
Kedua, letak desa Ranupane yang terpencil menyulitkan anak-anak dan warganya mengakses kendaraan ke daerah lain yang tersedia sekolah lanjutan. Bayangkan saja jika anak-anak Ranupane yang orang tuanya berprofesi sebagai petani harus membayar angkutan ke daerah lain dengan tarif transportasi yang mahal selama bertahun-tahun, tentunya hal ini sangat memberatkan orang tua mereka.

Ketiga, banyak yang mengatakan bahwa lulusan SD Ranupane kualitasnya berbeda jauh (lebih rendah) dari lulusan SD dari daerah lain, dalam artian lulusan SD dari desa Ranupane dianggap tidak “mumpuni” tuk bersaing di SMP dengan lulusan SD daerah lain. Pantas saja ada yang mengatakan seperti itu, tentu saja karena desa Ranupane sedikit sekali mendapat sentuhan teknologi dan juga masih ada pengaruh adat yang terkadang mengganggu kegiatan belajar-mengajar.



Kalau ditelaah lebih dalam mungkin lebih banyak lagi faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Tentu saja ini masalah besar bagi kita semua, kita yang sebangsa dan setanah air Indonesia. Ranupane… desa yang sering sekali dikunjungi para pendaki dari berbagai tempat di seluruh penjuru tanah air, bahkan mancanegara, ternyata pendidikannya terbelakang. Apalagi kalau kita melihat pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pihak TNBTS dengan dibantu sponsor untuk memajukan kawasan Gunung Semeru sebagai tempat wisata tentu tidak sesuai dengan keadaan Ranupane. Seandainya ranupane berada di sebuah pulau terpencil di ujung Indonesia mungkin hal ini bisa sedikit dimaklumi, tapi ini??? Di kawasan yang dikenal, kawasan yang sudah akrab dengan kita!! Sungguh mengenaskan!

Dengan rendahnya tingkat pendidikan di Ranupane, warganya hanya akan berprofesi sebagai petani dan juga porter bagi pendaki. Akibat lainnya adalah si gadis yang putus sekolah ini menikah di saat usia mereka masih 12 tahun, dan si pria menikah di usianya yang baru 14 tahun. Masa remaja yang harusnya diisi dengan menimba ilmu dan mengenal dunia harus terganti dengan mengurus keluarga dan anak.
Saya jadi teringat perkataan Bu Nunuk yang sangat mulia, yaitu Bu Nunuk ingin sekali mendirikan sekolah SMP atau sederajat di desa Ranupane. Bu Nunuk sangat peduli dengan pendidikan di desa tempatnya tinggal. Namun, keinginan itu belum sempat diwujudkannya karena Bu Nunuk tidak tahu menahu tata cara untuk mengurus masalah pendirian sekolah. Yang bisa dilakukan Bu Nunuk saat ini adalah memupuk semangat belajar putra-putrinya untuk meraih pendidikan hingga sarjana. Selain itu Bu Nunuk juga mengabdikan dirinya mengajar TK di desa Ranupane.

Rumah Baca (Rumba) yang didirikan teman-teman milist Pangrango dengan disponsori XL di Ranupane ternyata sangat bermanfaat. Anak-anak mulai tertarik membaca dan menambah wawasan di Rumba tersebut. Sayang sekali kalau asset bangsa ini disia-siakan begitu saja. Jika teman-teman mempunyai buku bacaan anak-anak boleh disumbangkan ke sana. Jika ada ide demi memajukan pendidikan di Ranupane mari kita rumuskan bersama dan kita perangi segala sesuatu yang mengarah pada kebodohan.

Seorang pendaki, pecinta lingkungan, atau apalah kita menyebutnya bukan hanya mereka yang terobsesi menggapai atap-atap dunia, tapi juga mereka yang mengambil pelajaran dari apa yang dilakukannya, tidak egois, dan peduli lingkungan sekitarnya. Jika kita mengetahui soal ini dan kita hanya diam, berarti ilmu yang kita miliki belum bermanfaat, dan kita yang mengaku pecinta lingkungan atau pendaki belum dapat mengambil pelajaran dari apa yang kita lakukan. Semoga tulisan yang sederhana ini mampu mengetuk hati nurani Teman-Teman milist (termasuk saya) dan membawa manfaat. Amin.

Buru Sergap Gunung Semeru - 2008


Foto-foto bisa dilihat di sini.

Rabu, 16 Juli 2008
Terdampar di Terminal Bungurasih


Seperti rencana semula tim Buser Semeru akan memulai perjalanan tanggal 16 Juli 2008. Aku yang termasuk salah satu dari 30 personel berangkat ke Terminal Bungurasih pukul 10.30 a.m. seorang diri naik angkot Rp 5.000,-. Nyampe di Bungur aku langsung menuju halaman Musholla tempat tim dari Surabaya janjian. Wooo.. curang!! Nyampe sana cuma ada Mba Yuni (temennya Mz Hero), jadi deh kita berdua nongkrong di situ. Ga lama kemudian datang Mz wahyu ‘n Mz Kohan, lumayanlah agak rame dikit. Menjelang Dhuhur baru Mz Hero datang dengan membawa seabrek kaos trip Buser Semeru. Lama… lama… lama… Jendral Mbenk di mana?? Tim yang dari kota lain aja udah kumpul di Malang :d. Sekitar jam 02.00 p.m. Jendral datang trus ngangkut barang kami berempat (Nurul, Yuni, Hero, Wahyu), setelah itu barulah kami naik bus patas @Rp 15.000,-.
Dua jam kemudian tiba di Terminal Arjosari, menyempatkan shalat dulu trus menuju Tumpang dengan lyn TA @ Rp 4.500,-. Setelah magrib kami baru tiba di Tumpang dan disambut Jendral Mbenk ‘n Om Gonjess, lalu kami diangkut menuju rumah Pak Laman.

Menuju Ranupane
Tiba di rumah Pak Laman kami disambut temen2 yang lain, dan wuahhh…. Aku dapat kado spesial dari Mz Arif Ykt, jitakan di kepala yang tak kuduga (kurang ajyaarr!!) wah.. wah.. asik asik temen baru! Ternyata yang berangkat hanya 24 orang, lha… yang enam kemana atuh??
Selepas shalat Isya’ kami berdesak-desakan di dalam truk (@Rp 25.000,-) menuju Ranupane. Orang-orang pada rame, duduk susah, berdiri susah, mau kentut aja susah J.. Sekitar jam sembilan malam kami tiba di Ranupane, di sebuah toko kecil yang menjual berbagai barang, dan kami memesan nasi goreng di sini.
Lalu jendral Mbenk membawa kami ke rumah Pak Ingot. Malam itu kami bobo’ di sana. Oya kami kelaparan nunggu nasi goreng yang kami pesan di warung tadi, secara nasinya baru datang jam 11.25 p.m. ck..ck..ck.. Wahh.. malem itu dingin banget lho.. suhunya sampe 10o hehe.. lalu bobo’ deh..

Cerita dari Ranupani


Pagi itu setelah shalat subuh aku menuju dapurnya Bu Nunuk (istri Pak Ingot), aku lihat Bu Nunuk sedang sibuk menggoreng telur. Jadilah aku bantu2 di dapur. Di sini aku dapat banyak cerita dari Bu Nunuk:

Tentang upacara Unan-Unan : Ini adalah upacaranya suku Tengger yang berada di Ranupane. Diadakan setiap sewindu (delapan tahun sekali). Unan-unan adalah upacara persembahan di sanggar yang ada di desa, dilakukan selama dua hari. Hari pertama ada semacam tari-tarian di balai desa setempat, kemudian hari kedua ritual utama yaitu persembahan kepala kerbau oleh seluruh warga desa, hmm.. nih lupa2 inget yah kalo ga salah tiap keluarga diwajibkan membuat Jodang (tempat dari kayu) yang berisi seribu potong kue. Tanggal !7-18 Juli ini adalah waktu upacara Unan-Unan, tapi sayangnya kami ga dapat menyaksikannya.
Tentang Upacara Karo : Ini juga salah satu upacara suku Tengger. Acaranya biasanya beriringan dengan Idul Fitri (biasanya 10 hari setelahnya). Tata caranya adalah setiap keluarga membuat masakan, dan tiap keluarga harus berkunjung dari satu keluarga ke keluarga lain untuk makan masakan dari keluarga yang dikunjungi tersebut dan itu hukumnya WAJIB, kalo misalnya ga datang dia dianggap sombong dan langsung menjadi cemoohan warga. Masa berkunjungnya selama satu minggu. Wew… bayangkan aja satu orang harus makan di setiap rumah dari ratusan KK. Gendut pastinya!!

Pendidikan di Ranupane : Menurut Bu Nunuk pendidikan di ranupane hampir 100 % hanya sebatas SD. Fuihh.. memprihatinkan banget!! Hanya beberapa orang, termasuk Bu Nunuk yang lulusan SMU dan itupun warga pindahan. Mengapa sebatas SD? Karena di Ranupane tak ada sekolah lanjutan, selain itu letak desa yang terpencil dan akses kendaraan yang susah juga merupakan salah satu faktor, ada juga rumor yang mengatakan bahwa anak didik lulusan SD di Ranupane tak sebanding dengan lulusan SD di tempat lain, dalam artian anak-anak Ranupane terbelakang dari segi pendidikan

Kamis, 17 Juli 2008
Ranu Kumbolo


Sekitar pukul 09.10 a.m. kami tim Buser Semeru siap berangkat ke Ranu Kumbolo. Perijinan pendakian hanya sampai di kalimati saja. Tapi itu tak mengurungkan niat kami. Trek yang kita lalui tidak terlalu berat, masih berupa bonus-bonus panjang. Hanya saja jalur pendakian yang dulunya jalan setapak dengan rerimbunan di kanan kiri jalan kini berubah menjadi jalan yang sudah dipaving hingga beberapa puluh meter setelah Pos I. Setelah itu barulah jalur yang merupakan jalan setapak dengan rerimbunan di kanan kiari jalan. Trip dengan personel 25 orang membuat perjalanan jadi lebih asyik, walaupun lama-lama terpencar juga. Pukul 14.30 kami tiba di ranu Kumbolo dan memutuskan camp di sana karena hari sudah sore (target awal camp di Kalimati).
Di Ranu Kumbolo dulu hanya ada sebuah shelter, tapi kini di sebelahnya telah berdiri sebuah homestay yang telah dicorat-coret dan kotor, bahkan jorok di kamar mandinya. Mungkin ini salah satu bagian dari pembangunan oleh pengelola TNBTS.
Sore yang menyenangkan di Kumbolo, kami bernarsis ria, jeprat-jepret sana-sini ga karuan. Apalagi didukung suasana baru (baru kenal temen2 milist) yang lebih berarti buatku. Berkumpul di tendanya Mz Andri (Purworejo) bareng Mba Ayu yang rame, Mz Wahyu yang baik hati tapi narsis, Mz Uchit yang pendiem, Mz Arif Ykt yang aneh, juga Mz Tovik yang baik hati. Waahhh… rame deeh!! So. Gara2 itu Mz Andri ke PeDe-en tendanya dikunjungi, hehehe…

Jumat, 18 Juli 2008
Kalimati
Pukul 10.30 a.m. setelah sarapan dan packing kami siap menuju Kalimati. Wow.. hari sudah panas!! Aku berjalan pake payung yang kupinjem dari Om Gonjess. Duhh panasnya minta ampun deh, sampai2 enggan jalan. Apalagi pas nyampe Oro-oro Ombo, waahhh tambah kerasa panasnya. Temen2 temen yang lain lewat di bawah (savanna), sedangkan aku ‘n Om Jess memilih melipir bukit sebelah kirinya Oro2 Ombo. Setidaknya masih ada pepohonan di situ yang lumayan bisa ngurangin panas yang menyengat.
Kami tiba di Kalimati menjelang Ashar. Wahhh leganya!! Lumayan di kalimati angina gunungnya adem euy. Apalgi di bawah pepohonan yang rindang!! Siiip deh! Ritualnya biasa bikin tenda trus masak-memasak, hehehe… ga jauh2 dari makanan lah. Oh ya kami juga menyerbu mangga bawaan Om Jess dari Jakarta. Nurul buka jasa pengupasan mangga. Kan asik tuh tiap ngupas mangga aku dapat bagian bijinya “pelok”.




Jam 5 sore pas lagi makan di tendanya Mz Andri bareng Mz Hero, Mz Aripin, n mz Wahyu tiba2 terdengar suara orang teriak-teriak dari jauh. Wooooo pasti deh itu Mz Kohan yang janji mau nyusul trip kami. Ternyata benar, dia datang bareng Mz gentong ‘n mz Pramono. Gila,, tuh orang antusias banget datang2 menggemparkan makhluk2 di Kalimati.
Setelah ngobrol2 dengan mereka dan shalat Ashar aku langsung masuk tenda. Ga peduli yang lain masih ngobrol, bercanda, atau nyanyi2 seperti yang dilakukanh Mz Andre, aku mau TIDUR!! Ini demi Summit Attack ntar malem. Aku ga mau gagal lagi sampai puncak seperti setahun lalu.

Summit Attack Mahameru


Pukul 11 malam kami bangun dan siap-siap menuju Puncak Para Dewa. Membawa bekal snack dan minuman secukupnya, mempersiapkan apa yang kami kenakan mulai dari ujung kaki sampe ujung kepala agar tak menghambat perjalanan ke puncak. Dipimpin Jendral Mbenk selaku ketua rombongan kami melakukan doa bersama. Setelah itu kami beriringan berjalan. Awalnya aku berjalan agak di belakang. Karena menyadari kelemahanku yang mudah down kalo berjalan di belakang aku meminta berjalan di depan, tepatnya di belakang Mz Hero. Aku ga mau gagal lagi mencapai puncak mahameru seperti tahun lalu.
Sejam kemudian kami tiba di Arcopodo, istirahat.. dan Mz hero yang baik menghadiaiku secuil coklat karena aku bisa jalan rada cepet (biasanya lambat bo'). Makasih Mz Hero.. lalu kami melanjutkan perjuangan paling berat di Mahameru. Aku jatuh bangun di atas pasir-pasir dan bebatuan.. aku lelah.. aku lemah.. Aku tahu kemampuanku, fisikku tak sekuat pendaki lain. Tapi aku yakin jika aku terus berjalan, dengan semangat, denagan senyum aku akan tiba walau lambat. Masih ingat aku berjalan ditemani Mz yang baik hati banget, yang mengiringiku sejak Ranupane, yaitu Mz Tovik. Aku disemangatinya terus.. terys.. dan terus...!! Teman yang mengiringiku yaitu Mba Susan, mz Arif (yang sempet kukasih kentut spesial), mz Wahyu dengan minuman jahe angetnya....

Puncak Para Dewa




Pukul 05.30 aku menginjakkan kakiku di puncak.. ya Puncak Mahameru.. Rasa puas dan haru membuncah... semua muncul.. aku berjalan tertatih, aku menangis (hikz..)!! Huahhh... aku dapat sunrise!! kirain ga dapet!! Meskipun aku agak telat!! Mz Pramono menyambutku,, asiiikkk aku dipoto( hobi narsis). Tadi sempet ga yakin bisa dapat sunrise, tapi sejak di bawah tadi aku dah yakin bisa sampe Puncak!! Bbrr... dingin euy.. tingkahku di puncak ga karu-kauan! lari sana sini, poto kamera satu ke kamera lainnya, lompat2 ga jelas!! Alhamdulillah..

Akhirnya
Kurasakan jua keindahan itu
Saat dulu tak pernah kumengerti
Mengapa mereka tak pernah bosan menengoknya
Oh Puncak Gunung
Aku senang mencumbumu dalam lelahku
Oh Puncak Gunung
Mungkin saat ini aku telah jatuh cinta padamu

Ada yang lucu... aku masih ingat dengan jelas wajah Mz Andri purworejo pas nyampe puncak, hehehehhe.. sumpah lugu, melas, seneng yang jadi satu!! hihihi.. miss you mz Andri yang lucu..


Balik ke Kalimati

Tuhan
Aku kian mengenal itu kelemahan
Aku kian mengenal itu ketidakberdayaan
Semua itu ada padaku Tuhan
Dan semua itu tak pernah pergi dariku walau sekejap

Setelah puas di puncak aku turun ditemani Mz Tovik. Wah... asiknya semeru di sini nih... turun dari puncak serasa bermain-main pasir seperti saat masih kecil dulu. Aku memakai goggle n masker biar ga mengganggu proses turun, hehehe... Naiknya susah, tapi turunnya menyenangkan! Lalu aku segera ke Kalimati, aku lariii.. dodol!! ga bawa air! dehidrasi! udah nyampe kalimati (tapi belum nyampe shelter) aku teriak2 ke temen2," woooeee airrrrrrrr!!!" eh malah diketawain mz Sinyo,, woo dasar!!! Asik nyampe kalimati dapat mangga :), sapat coklat.. trus bobo deh di tendanya Mz Andri.

Balik ke Kumbolo
Tengah hari kami balik ke Kumbolo,, aku bareng Mba Susan, Mz Pramono, Mz Tovik, Mz Kohan, Mz Wahyu, n Mz Gentong!! Pas tiba di sisi bukit di Oro2 Ombo aku mintaditinggal sendiri.. di bawah sebuah pohon aku menikmati hembusan angin.. entah siapa yang kupikirkan saat itu, pokoknya aku kangen!! Sampe ada Om Jess barulah aku ke Kumbolo.
di Kumbolo aku memutuskan ga ikut turun bareng jendral Mbank. Aku mau nyantae2 dulu di Kumbolo karena aq ga dikejar waktu. Lagian aku sambil menunggu tanggal 21 coz mau ke G.lamongan ma temen dari Probolinggo. Jadi deh malam itu aku di Kumbolo berlima ma Cepot, Om Jess, Mz Obing, n mba Ike.

Minggu, 20 juli 2008
Balik ke ranupane n Menuju Probolinggo
Jam 11 siang kami berlima turun ke Ranupane. Maunya sih sambil nikmatin pemandangan, tapi apa daya perut mulezz, so cepet2 deh lari ke Ranupane.. hampir jam 2 kemudian aku tiba di rumah Pak Ingot, trus mandi.. kenalan ama cowok cakep (hehehe), trus segera pamitan ma teman2, dan segera melaju ke Senduro dengan ojek dengan tarif Rp 50.000,- tuk menuju rumah temen dan mempersiapkan pendakian ke G.Lamongan.