Jika menyebut Ranupani pasti kita, terutama para pendaki yang hobi ke Semeru, langsung tahu itu adalah desa terakhir sebelum melakukan pendakian ke G.Semeru. Ranupane terletak di kaki Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dan memilikaki panorama alam yang indah dengan bukit-bukit yang perkasa, serta dua buah danau yang mempesona, yaitu Ranu Pane dan Ranu Yoso.
Beberapa saat lalu saat melakukan trip Buser Semeru, tim bermalam di rumah Bu Nunuk salah seorang warga setempat. Pagi itu saat membantunya memasak di dapur saya mendapat sedikit informasi dari Bu Nunuk mengenai beberapa hal termasuk soal pendidikan di Ranupane yang membuat hati saya agak sesak dan ingin membaginya dengan Anda.
Hal yang saya ketahui adalah bahwa hampir 100 % warga di desa tersebut pendidikannya hanya sebatas SD. Saya terkejut tak karuan dan mengorek info lebih dalam. Menurut Bu Nunuk hanya beberapa orang, termasuk Bu Nunuk yang lulusan SMU dan itupun warga pindahan. Mengapa sebatas SD? Tentunya banyak alasan yang melatarbelakangi permasalahan besar ini.
Pertama, di desa Ranupane tak ada sekolah lanjutan (SMP/SMU). Jadi bagaimana anak-anak ranupane bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi bila sekolah yang mereka butuhkan tidak tersedia di sekitar mereka. Di Ranupane hanya tersedia sekolah TK dan SD saja. Dan hari belajarpun terpotong libur jika ada kegiatan adat dan juga hujan (walau hanya gerimis).
Kedua, letak desa Ranupane yang terpencil menyulitkan anak-anak dan warganya mengakses kendaraan ke daerah lain yang tersedia sekolah lanjutan. Bayangkan saja jika anak-anak Ranupane yang orang tuanya berprofesi sebagai petani harus membayar angkutan ke daerah lain dengan tarif transportasi yang mahal selama bertahun-tahun, tentunya hal ini sangat memberatkan orang tua mereka.
Ketiga, banyak yang mengatakan bahwa lulusan SD Ranupane kualitasnya berbeda jauh (lebih rendah) dari lulusan SD dari daerah lain, dalam artian lulusan SD dari desa Ranupane dianggap tidak “mumpuni” tuk bersaing di SMP dengan lulusan SD daerah lain. Pantas saja ada yang mengatakan seperti itu, tentu saja karena desa Ranupane sedikit sekali mendapat sentuhan teknologi dan juga masih ada pengaruh adat yang terkadang mengganggu kegiatan belajar-mengajar.
Kalau ditelaah lebih dalam mungkin lebih banyak lagi faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Tentu saja ini masalah besar bagi kita semua, kita yang sebangsa dan setanah air Indonesia. Ranupane… desa yang sering sekali dikunjungi para pendaki dari berbagai tempat di seluruh penjuru tanah air, bahkan mancanegara, ternyata pendidikannya terbelakang. Apalagi kalau kita melihat pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pihak TNBTS dengan dibantu sponsor untuk memajukan kawasan Gunung Semeru sebagai tempat wisata tentu tidak sesuai dengan keadaan Ranupane. Seandainya ranupane berada di sebuah pulau terpencil di ujung Indonesia mungkin hal ini bisa sedikit dimaklumi, tapi ini??? Di kawasan yang dikenal, kawasan yang sudah akrab dengan kita!! Sungguh mengenaskan!
Dengan rendahnya tingkat pendidikan di Ranupane, warganya hanya akan berprofesi sebagai petani dan juga porter bagi pendaki. Akibat lainnya adalah si gadis yang putus sekolah ini menikah di saat usia mereka masih 12 tahun, dan si pria menikah di usianya yang baru 14 tahun. Masa remaja yang harusnya diisi dengan menimba ilmu dan mengenal dunia harus terganti dengan mengurus keluarga dan anak.
Saya jadi teringat perkataan Bu Nunuk yang sangat mulia, yaitu Bu Nunuk ingin sekali mendirikan sekolah SMP atau sederajat di desa Ranupane. Bu Nunuk sangat peduli dengan pendidikan di desa tempatnya tinggal. Namun, keinginan itu belum sempat diwujudkannya karena Bu Nunuk tidak tahu menahu tata cara untuk mengurus masalah pendirian sekolah. Yang bisa dilakukan Bu Nunuk saat ini adalah memupuk semangat belajar putra-putrinya untuk meraih pendidikan hingga sarjana. Selain itu Bu Nunuk juga mengabdikan dirinya mengajar TK di desa Ranupane.
Rumah Baca (Rumba) yang didirikan teman-teman milist Pangrango dengan disponsori XL di Ranupane ternyata sangat bermanfaat. Anak-anak mulai tertarik membaca dan menambah wawasan di Rumba tersebut. Sayang sekali kalau asset bangsa ini disia-siakan begitu saja. Jika teman-teman mempunyai buku bacaan anak-anak boleh disumbangkan ke sana. Jika ada ide demi memajukan pendidikan di Ranupane mari kita rumuskan bersama dan kita perangi segala sesuatu yang mengarah pada kebodohan.
Seorang pendaki, pecinta lingkungan, atau apalah kita menyebutnya bukan hanya mereka yang terobsesi menggapai atap-atap dunia, tapi juga mereka yang mengambil pelajaran dari apa yang dilakukannya, tidak egois, dan peduli lingkungan sekitarnya. Jika kita mengetahui soal ini dan kita hanya diam, berarti ilmu yang kita miliki belum bermanfaat, dan kita yang mengaku pecinta lingkungan atau pendaki belum dapat mengambil pelajaran dari apa yang kita lakukan. Semoga tulisan yang sederhana ini mampu mengetuk hati nurani Teman-Teman milist (termasuk saya) dan membawa manfaat. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar