Danau Sentarum |
Di antara daerah jajahan saya, ada tempat yang bernama Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). Jangan bayangkan danau ini seperti danau-danau pada umumnya (misal: Danau Toba, Ranu Kumbolo, dsb). Danau ini adalah danau musiman karena merupakan daerah tangkapan air. Selebihnya bisa Anda baca di sini dan di sini atau sumber-sumber yang lain karena saya tak akan menuliskannya.
TNDS saya lalui ketika berangkat dari Meliau menuju Kota Lanjak. Tentu saja kami masih menggunakan kendaraan air, yakni speed boat 40 HP. Waktu itu saya sangat bingung bagaimana cara membedakan antara danau dengan sungai. Jangan kira saya tidak pernah sekolah sehingga untuk membedakan dua hal tersebut saja tidak bisa! Ini persoalan lain. Danau dan sungai terlihat menyatu. Kalau orang lokal mungkin sudah hafal mana yang sungai dan mana yang danau. Lha kalau saya? Katanya sih untuk membedakan hal itu hanya dilihat dari arusnya. Jika tenang, danau; jika berarus, sungai. Nampaknya mudah, tapi….
Sebenarnya saya tidak mau ambil pusing, tapi toh saya tetap merasa “pusing”. Bagaimana bisa hutan dengan ketinggian pohonnya yang mencapai 25 meter itu terendam air? Pepohonan hanya terlihat ujungnya satu atau dua meter. Bahkan guide saya pernah berkata, “Neng, saya dulu pernah naik motor di sini,” sembari jarinya menunjuk ke air. Wow!! Speechless… Saya tidak bisa berkata-kata selain subhanallah! Memang, sebagai daerah tangkapan air, TNDS akan kering di musim kemarau, namun jika musim hujan air bisa sampai pucuk pohon.
Setahu saya daerah yang saya lewati ini hanya daerah pinggiran TNDS. Jadi, kami belum benar-benar memasuki kawasan TNDS. Meski begitu, saya sudah sangat terpesona dengan fenomena alam yang belum pernah saya saksikan ini. Sayangnya saya ini hanya seorang wisatawan, bukan seorang ahli biologi, ahli tumbuhan, ahli biota air, ataupun ahli-ahli yang lain. Bagi seorang ahli biologi mungkin TNDS adalah surga. Dan wisatawan hanya sedikit mencecap surga itu.