25 Februari 2011

TNDS: Sekadar Lewat, Sekadar Lihat


Danau Sentarum
Di antara daerah jajahan saya, ada tempat yang bernama Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). Jangan bayangkan danau ini seperti danau-danau pada umumnya (misal: Danau Toba, Ranu Kumbolo, dsb). Danau ini adalah danau musiman karena merupakan daerah tangkapan air. Selebihnya bisa Anda baca di sini dan di sini atau sumber-sumber yang lain karena saya tak akan menuliskannya.
TNDS saya lalui ketika berangkat dari Meliau menuju Kota Lanjak. Tentu saja kami masih menggunakan kendaraan air, yakni speed boat 40 HP. Waktu itu saya sangat bingung bagaimana cara membedakan antara danau dengan sungai. Jangan kira saya tidak pernah sekolah sehingga untuk membedakan dua hal tersebut saja tidak bisa! Ini persoalan lain. Danau dan sungai terlihat menyatu. Kalau orang lokal mungkin sudah hafal mana yang sungai dan mana yang danau. Lha kalau saya? Katanya sih untuk membedakan hal itu hanya dilihat dari arusnya. Jika tenang, danau; jika berarus, sungai. Nampaknya mudah, tapi….
Sebenarnya saya tidak mau ambil pusing, tapi toh saya tetap merasa “pusing”. Bagaimana bisa hutan dengan ketinggian pohonnya yang mencapai 25 meter itu terendam air? Pepohonan hanya terlihat ujungnya satu atau dua meter. Bahkan guide saya pernah berkata, “Neng, saya dulu pernah naik motor di sini,” sembari jarinya menunjuk ke air. Wow!! Speechless… Saya tidak bisa berkata-kata selain subhanallah! Memang, sebagai daerah tangkapan air, TNDS akan kering di musim kemarau, namun jika musim hujan air bisa sampai pucuk pohon. 
Setahu saya daerah yang saya lewati ini hanya daerah pinggiran TNDS. Jadi, kami belum benar-benar memasuki kawasan TNDS. Meski begitu, saya sudah sangat terpesona dengan fenomena alam yang belum pernah saya saksikan ini. Sayangnya saya ini hanya seorang wisatawan, bukan seorang ahli biologi, ahli tumbuhan, ahli biota air, ataupun ahli-ahli yang lain. Bagi seorang ahli biologi mungkin TNDS adalah surga. Dan wisatawan hanya sedikit mencecap surga itu.

Hidup untuk Belajar

Ceritanya, dua minggu ini saya baru saja memulai sebuah titik untuk merasakan warna-warni dunia pendidikan yang memosisikan saya sebagai pengajar. Sebenarnya saya tidak sedang mengajar, tapi saya sedang menempuh mata kuliah perencanaan pembelajaran. Dan sebagai langkah awal, kami ditugaskan untuk observasi ke tiga sekolah yang berbeda kualitas, mulai dari yang bagus sampai yang kurang bagus. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana sih cara guru mengajar di kelas, bagaimana sih cara guru member instruksi, dll.
Secara keseluruhan, observasi saya dan dua orang teman saya (satu kelompok = tiga orang) berjalan lancar. Kami sudah bisa mendapatkan data-data yang kami butuhkan, baik berupa RPP, catatan perkataan guru, foto, dan video. Data-data tersebut tinggal kami olah dan kami kumpulkan. Namun, ada dua hal berbeda yang saya rasakan saat proses mendapatkan data tersebut berlangsung yang membuat perasaan saya sempat terganggu.
Hal pertama adalah sebuah kebahagiaan dan rasa puas yang saya peroleh saat meminta izin observasi dan saat melakukan observasi ke sekolah Y. Kebetulan sekolah Y adalah sekolah tempat saya menuntut ilmu dulu, jadi saya kenal dengan guru-guru di sana. Namun, bukan semata-mata karena saya pernah sekolah di sana lalu saya mendapatkan perhatian berbeda. Mereka toh awalnya tidak tahu bahwa saya ini adalah muridnya dulu, tapi mereka menerima saya dengan baik dan memudahkan segala urusan saya di sana. Cukup dua kali ke sana, segala urusan beres. Nostalgia alias reuni kecil antara saya dengan beberapa guru pun terasa begitu hangat.
Selanjutnya saya akan bercerita tentang hal kedua yang saya rasakan di sekolah Z. Sekolah Z bisa dibilang merupakan sekolah terbaik dari tiga sekolah yang saya kunjungi. Predikat RSBI sudah disandang sekolah ini. Namun, saya benar-benar merasa tidak nyaman di sana sejak tahap meminta izin. Tidak seperti dua sekolah sebelumnya, saya harus datang tiga kali ke sekolah ini dengan sambutan wakasek yang tidak begitu ramah, bahkan seolah-olah beliau tidak peduli kepada saya padahal saya sudah menunggunya hingga berjam-jam. Untung saja pada akhirnya beliau member izin, dan pertemuan itu hanya berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit. Dan saat observasipun tiba. Ini kali keempat saya ke sana. Saya kira sudah tidak ada kata “menunggu” lagi, tapi nyatanya kami harus menunggu selama lebih dari satu jam tanpa ada yang bisa kami perbuat. Huffh… Tapi pada akhirnya selesai juga. Alhamdulillah..
Ah.. selemah inikah iman saya hingga bertemu hal begitu saja sudah mengeluh? Ternyata saya mesti lebih banyak belajar. Ini toh hanya sekelumit dari warna-warni kehidupan. Mungkin warnanya tadi cokelat, belum hitam. Dan saya rasa, cokelat bukan warna yang buruk. Bukan begitu, Kawan? Belajar belajar belajar!!!

***Bersegeralah dalam kebaikan karena kita hanya hidup saat ini.***

22 Februari 2011

“Blusukan” ke Kampung Dayak Iban


Pesona Alam
Blusukan adalah kosakata dari bahasa Jawa yang berarti mengunjungi/menjelajah ke tempat-tempat yang tidak biasa. Dan bagi saya, perjalanan ke kampung Meliau, kampung Dayak Iban, adalah sebuah blusukan.
Masih belum jelas apakah Meliau masuk kawasan TN Danau Sentarum (TNDS) atau tidak. Yang pasti saya sudah merasakan kekayaan bumi Borneo di tempat ini. Sejak berangkat dari Teluk Aur sampai ke desa ini, yang tentunya memakai transportasi air, saya melihat bukit-bukit yang rimbun, air yang melimpah (pasti banyak ikannya), dan madu-madu yang masih tersimpan aman di sarang lebah.
Belum lagi ketika kami diajak untuk mengamati satwa di beberapa danau di sekitar Meliau, wow berbagai macam burung beterbangan dan berkicau ramai, primata yang riuh dengan suara dan lompatannya, puluhan sarang lebah madu pada satu pohon, dan kecipak air yang ditingkah ikan. Subhanallah. Sungguh kaya alam itu. Ikannya juga enak. Malam itu saya menghabiskan dua porsi nasi dan masakan ikan semacam “asem-asem”, lalu saya ngemil ikan toman bakar. Nikmaaaaatt…!! Saya bahagia di sini. Hehe..

Human Interest
Perkampungan ini dihuni oleh suku Dayak Iban. Kondisinya masih sama seperti Teluk Aur, yakni tak ada daratan. Kami selalu berjalan di atas kayu-kayu. Menurut informasi, mata pencaharian masyarakat Iban adalah bertani (ketika air surut), mencari ikan, berburu, membuat sampan, dan menganyam. Karena ketiadaan listrik, malam-malam di sana pasti gelap. Meski begitu para ibu masih saja terus menganyam tanpa lelah hingga larut malam. Saya salut kepada mereka.
Tarian adat memang tidak jadi dipertontonkan kepada kami karena baru saja ada yang meninggal, dan mereka sedang dalam suasana berkabung. Namun saya tidak kecewa, karena sikap masyarakat lokal yang begitu respek dan menyenangkan. Bahkan Mas Sodiq, warga setempat, dengan begitu antusiasnya menjelaskan adat dan kebudayaan masyarakat Iban. Terima kasih, Mas Sodiq sekeluarga. J
Oiya, ada satu hal yang membuat saya tidak nyaman, yaitu tidak adanya kamar mandi. Saya terbiasa mandi di kamar mandi atau paling tidak di tempat yang tertutup. Namun, kali ini saya harus mau dan harus berani mandi di depan rumah, di danau, dalam gelap. Aaaaarrgghh..! Itu sangat menyeramkan. Saya jadi terbayang-bayang film Anaconda. Saya takut tiba-tiba sesuatu muncul dari bawah dan menggigit saya. Atau mungkin buaya, karena mereka bilang di sana ada buaya. Huff.. untunglah saya bisa pulang dengan selamat. Memang tidak mudah mengikuti gaya hidup masyarakat lokal.

Mempertanyakan Profesionalitas Komunitas Pariwisata Lokal


Kali ini saya ingin bercerita tentang Teluk Aur dan beberapa desa di sekitarnya. Tapi sebenarnya saya tidak tahu harus bercerita apa. Kesan saya di sana tak begitu baik. Saya sudah illfeel sejak adanya pembatalan tarian penyambutan oleh anak-anak desa untuk kami hanya karena turun hujan.
Saya ini wisatawan yang datang jauh-jauh dari Pulau Jawa. Saya tidak pergi ke sana dengan gratis. Tentu saja sejumlah uang harus kami bayarkan (dibayarin ACI Detikcom lho.. hehe..) kepada manajemen travel guide Kompakh. Iya, saya memang tidak tahu berapa jumlah uang yang dibayarkan. Entah itu memuaskan pihak Kompakh atau tidak. Tapi yang pasti setelah perjanjian disepakati, harusnya kesepakatan itu dilaksanakan dengan baik dan penuh tanggung jawab.
“Tarian dibatalkan mbak, kasihan anak-anak, sudah malam,” begitu kira-kira perkataan dari perwakilan pihak desa. Waktu itu memang saya mengiyakan karena memang tidak ada pilihan jawaban selain “ya”.
Saya bukannya egois dan tidak kasihan kepada anak-anak, hanya saja saya tiba-tiba merasa kurang dihargai dibandingkan wisatawan luar negeri yang datang ke sana. Bukankah jauh hari hal tersebut sudah dipersiapkan. Harusnya ketika kami tiba di sana (menjelang Magrib) mereka sudah bersiap-siap, lalu kami bisa segera menyaksikan tarian-tarian itu. Jujur saja hujan baru turun sekitar pukul 8 malam, dan sejak magrib sampai pukul 8 malam saya di sana tanpa aktivitas berarti.
Ketika hal itu saya utarakan ke guide saya, ia hanya menjab entahlah dan mengarahkan kesalahan kepada pihak desa. Fuih… Lalu, di manakah tanggung jawab dan profesionalitas komunitas pariwisata setempat ketika menjalankan pariwisata berbasis masyarakat? Kok nampaknya tak ada sinergi yang seimbang antara penggiat komunitas pariwisata dengan masyarakatnya sehingga menimbulkan miskomunikasi.

19 Februari 2011