25 Februari 2011

Hidup untuk Belajar

Ceritanya, dua minggu ini saya baru saja memulai sebuah titik untuk merasakan warna-warni dunia pendidikan yang memosisikan saya sebagai pengajar. Sebenarnya saya tidak sedang mengajar, tapi saya sedang menempuh mata kuliah perencanaan pembelajaran. Dan sebagai langkah awal, kami ditugaskan untuk observasi ke tiga sekolah yang berbeda kualitas, mulai dari yang bagus sampai yang kurang bagus. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana sih cara guru mengajar di kelas, bagaimana sih cara guru member instruksi, dll.
Secara keseluruhan, observasi saya dan dua orang teman saya (satu kelompok = tiga orang) berjalan lancar. Kami sudah bisa mendapatkan data-data yang kami butuhkan, baik berupa RPP, catatan perkataan guru, foto, dan video. Data-data tersebut tinggal kami olah dan kami kumpulkan. Namun, ada dua hal berbeda yang saya rasakan saat proses mendapatkan data tersebut berlangsung yang membuat perasaan saya sempat terganggu.
Hal pertama adalah sebuah kebahagiaan dan rasa puas yang saya peroleh saat meminta izin observasi dan saat melakukan observasi ke sekolah Y. Kebetulan sekolah Y adalah sekolah tempat saya menuntut ilmu dulu, jadi saya kenal dengan guru-guru di sana. Namun, bukan semata-mata karena saya pernah sekolah di sana lalu saya mendapatkan perhatian berbeda. Mereka toh awalnya tidak tahu bahwa saya ini adalah muridnya dulu, tapi mereka menerima saya dengan baik dan memudahkan segala urusan saya di sana. Cukup dua kali ke sana, segala urusan beres. Nostalgia alias reuni kecil antara saya dengan beberapa guru pun terasa begitu hangat.
Selanjutnya saya akan bercerita tentang hal kedua yang saya rasakan di sekolah Z. Sekolah Z bisa dibilang merupakan sekolah terbaik dari tiga sekolah yang saya kunjungi. Predikat RSBI sudah disandang sekolah ini. Namun, saya benar-benar merasa tidak nyaman di sana sejak tahap meminta izin. Tidak seperti dua sekolah sebelumnya, saya harus datang tiga kali ke sekolah ini dengan sambutan wakasek yang tidak begitu ramah, bahkan seolah-olah beliau tidak peduli kepada saya padahal saya sudah menunggunya hingga berjam-jam. Untung saja pada akhirnya beliau member izin, dan pertemuan itu hanya berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit. Dan saat observasipun tiba. Ini kali keempat saya ke sana. Saya kira sudah tidak ada kata “menunggu” lagi, tapi nyatanya kami harus menunggu selama lebih dari satu jam tanpa ada yang bisa kami perbuat. Huffh… Tapi pada akhirnya selesai juga. Alhamdulillah..
Ah.. selemah inikah iman saya hingga bertemu hal begitu saja sudah mengeluh? Ternyata saya mesti lebih banyak belajar. Ini toh hanya sekelumit dari warna-warni kehidupan. Mungkin warnanya tadi cokelat, belum hitam. Dan saya rasa, cokelat bukan warna yang buruk. Bukan begitu, Kawan? Belajar belajar belajar!!!

***Bersegeralah dalam kebaikan karena kita hanya hidup saat ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar