25 Desember 2011

Tas dan Dompet Cantik dari Kertas Semen



Pencetus Ide

Tas berbahan kain memang sudah biasa. Namun, bagaimana bila Anda dihadapkan dengan tas berbahan daur ulang. Tak tanggung-tanggung, bahan daur ulang yang digunakan adalah sak semen.
Seperti itulah lead berita saya di detiksurabaya.com tanggal 7 Desember 2011. Saya memang baru meliput pasangan suami istri yang mencetuskan ide pembuatan tas dan dompet dari kertas (sak) semen. Mereka adalah Weny Indrasari (39) dan Sutiono(39), warga Perum TAS 2 Blok R3, Tanggulangin, Sidoarjo.
Seperti yang dikatakannya pada semua orang dan wartawan, hasil karya mereka ini muncul atas ketidaksengajaan. Kebetulan saat itu, sekitar tahun 2010, Pak Sutiono Dan Bu Weny sedang merenovasi pagar belakang rumah. Akibatnya banyak sak sisa semen yang menumpuk.
Di saat bersamaan, ia mendapat tantangan dari sebuah acara bertema daur ulang dalam program Sidoarjo Bersih Hijau (SBH). Mereka pun berpikir seandainya sak-sak semen itu bisa dijadikan tas.
"Semuanya nggak sengaja, pas ada tuntutan membuat kerajinan daur ulang, pas juga ada banyak sak semen bekas renovasi rumah," tutur Weny di rumahnya Rabu (7/12/2011).
Memberi Warna
Sebenarnya Pak Sutiono dan istrinya tidak punya keahlian khusus dalam membuat tas. Waktu punya ide membuat tas, ia pun meminta saran dan bantuan dari tetangga sebelah rumahnya. Ia bertanya teknik pembuatan tas dan dompet. Setelah dilihat-lihat ternyata teknik dasarnya ya itu-itu saja, tinggal bagaimana mengkreasikannya agar terlihat lebih menarik. Apalagi Bu Weny sebelumnya juga bekerja sebagai pembuat kerudung, jadi kemampuan menjahit atau menyulam sudah tidak perlu diragukan lagi.
Saat saya ke sana, mereka sedang mengerjakan pesanan tas sebanyak 200 buah. Jadi saya bisa melihat secara langsung proses pembuatannya. Pak Sutiono dan Bu Weny pun sangat ramah dan tidak segan-segan membagi ilmunya.
Secara singkat akan saya jelaskan. Awalnya kertas semen dibersihkan dari semen dengan menggunakan spon dengan sedikit air. Kedua, kertas semen dicelupkan ke dalam air sebentar. Ketiga kertas semen dimasukkan ke dalam air mendidih yang sudah diberi pewarna (wantek). Dalam memasukkannya ke air mendidih harus ada tekniknya biar merata. Keempat, kertas yang sudah diwarnai diangkat lalu dicelupkan sebentar ke air dingin. Kelima, kertas semen dijemur. Keenam, kertas semen disetrika. Selanjutnya kertas baru bisa diproses seperti dijahit atau disulam. Setelah itu kertas diberi formula tahan air. Terakhir diberi lapisan fernis agar terlihat mengkilap.
Karya Kreatif
Awalnya, semua bahan baku tas dan dompet buatan mereka berasal dari kertas semen. Seiring berjalannya waktu, mereka memberi modifikasi pada bagian dalam tas dan dompetnya dengan menggunakan kain seperti tas pada umumnya.
Itu berarti, keduanya tetap mengguanakan sak semen hanya untuk pelapis luar saja. Sedangkan bagian dalamnya sama seperti tas pada umumnya. Ini memungkinkan tas dan dompet buatannya tidak akan rusak bila terkena air. Selain itu, menurutnya kertas semen cocok untuk dibuat tas ataupun dompet karena seratnya lebih tebal.
"Nggak semua kertas semen bisa dipakai, hanya merek tertentu saja (Semen Gresik) yang seratnya lebih tebal," kata Sutiono.
Dalam sehari Weny dan Sutiono bisa mampu membuat 10 tas atau dompet. Harganya bervariasi mulai Rp 35 ribu sampai Rp 100 ribu. Dari usahanya ini Weny bisa mendapatkan keuntungan 1,5 juta setiap bulan.
Karena keterbatasan tenaga kerja, sementara ini Weny dan Sutiono hanya memasarkan produknya di UKM Provinsi Jatim di Juanda. Namun tidak jarang ada konsumen yang langsung datang ke rumahnya untuk memesan tas maupun dompet. Bahkan produknya sudah pernah dikirim ke Medan, Pontianak dan Samarinda.

Yang Berbeda Setelah Menikah


Saya tidak pernah menyangka jodoh itu datang begitu cepat. Di usia yang masih 21 tahun 8 bulan, saya sudah menjadi istri orang. Tidak, saya tidak menikah karena “kecelakaan”. Saya menikah karena mungkin sudah waktunya, sudah dapat panggilan. Seperti orang berhaji, walaupun secara materi cukup tapi kalau belum merasa dapat “panggilan”  ya nggak akan berangkat, tapi kalau sudah mendapat panggilan dan memang itu rizkinya, taka da sesuatu pun yang bisa menghalangi. Begitu juga dengan saya.
Cerita bahagia dan duka sudah pasti ada, bahkan banyak. Namun, sebenarnya ada sisi lain yang mesti dipahami oleh seorang istri dalam kehidupan berkeluarga. Saya tidak berbicara tentang “ayat” karena saya tidak tahu banyak, takut salah. Saya hanya berbagi sedikit cerita dari apa yang saya alami.
Saya berangkat dari pergaulan yang sedikit bebas dengan teman-teman petualang. Kebetulan saya hobi berpetualang. Namun bebas di sini bukan berarti bebas tanpa syarat dan bebas negatif. Kebebasan yang saya anut adalah bebas bergaul, berpetualang, dolan, naik motor dengan teman-teman petualang tapi tetap dalam batas tertentu. Saya ingat betul pertama kali bermain dengan JPers Jatim pada April 2008 ke Ranupani, dari sekian orang hanya saya sendiri yang perempuan.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya juga begitu, entah itu sekadar nongkrong di FT Unesa, touring, nginep di rumah Mas Tovic (Batu), atau mendaki gunung, saya menjadi minoritas di antara teman-teman cowok. Bukan berarti saya tidak suka berpetualang dengan perempuan, tapi teman petualang perempuan sangat sulit saya temui. Saya nyaman dengan itu semua. Saya juga nyaman pulang malam walaupun naik motor sendirian, karena di belakang saya ada teman-teman JPers yang mengantar seperti Mas Kohan, Mas Hero, Mas Wahyu, Mas Rangga, dll.
Begitulah dari segala petualangan itu saya menemukan “teman hidup”. Sejak saat itu ada peraturan yang lebih kuat yang mengikat saya, salah satunya tentang pergaulan dan pulang malam. Saya boleh berteman dengan siapa saja, mau perempuan atau laki-laki terserah. Hanya saja sekarang saya tidak bisa sembarangan minta bonceng teman cowok. Alasannya?  Ya karena saya sudah punya suami, jadi harus menjaga perasaan suami dari rasa cemburu. Saya juga harus menjaga diri dari fitnah. Kan tidak lucu misalnya saya sedang dibonceng teman cowok eh tiba-tiba ada tetangga yang tahu, dan saya dikira selingkuh. Aw aw aw…. Saya juga sudah tak bisa bebas ikut trip sana sini karena ada tanggung jawab di rumah. Malah kata Ibu saya harus pergi denga suami kalau mau ke mana-mana. Saya bisa, suami nggak bisa, dan sebaliknya. Jadilah setengah tahun ini kami lebih sering di rumah.
Sejak SMA, pulang malam sudah jadi kebiasaan. Semuanya bermula dari OPA Rekgiwa dan teman FPTI Sidoarjo yang isinya orang malam semua. Setiap kali ada rapat mesti baru dimulai pukul 9 malam dan berakhir pukul 1 dini hari. Ketika berteman dengan JPers pun tidak jarang pulang agak larut. Namun, sekarang saya tidak bisa sebebas itu. Bahkan saya seringkali menolak ajakan keluar malam. Alasannya? Suami saya baru pulang kerja pukul 6 sore. Saya kan mesti menyiapkan makan, minum, dan sebagainya. Kan sangat tidak etis kalau suami baru pulang lalu saya tinggal keluar.
Kawan, menikah itu bukan mengekang kebebasan, tapi hanya membatasi. Kita boleh bergaul dan bermain seperlunya asal dalam batas-batas tertentu dan tetap melaksanakan kewajiban di rumah. Jadi jangan heran kalau sekarang saya lebih sering menolak ajakan keluar malam, atau saya membawa serta suami saya dalam pertemuan-pertemuan. Rasanya kok jadi lebih romantis.
Mari belajar jadi istri yang baik!

09 Desember 2011

Suka Duka Jadi Wartawan Magang

Sebulan sudah saya magang di detikSurabaya.com. Sebulan sudah saya merasakan suka duka jadi wartawan. Ya, saya memang masih wartawan-wartawanan, bukan wartawan sesungguhnya, tapi rame-rame rasa itu begitu menggoda saya.

Awalnya, ketika baru memulai dan baru kenal dengan kru, rasa canggung  tidak bisa saya cegah. Bahkan saya sampai enggan ke kantor karena merasa sungkan. Waktu itu sempat terjadi salah persepsi antara kami dengan redaksi. Kami mengira harus mencari berita sendiri dan harus setor berita. Ternyata, yang sebenarnya, kami tidak boleh keluar kantor kalau tidak ada penugasan. Hal ini karena dikhawatirkan kami meliput berita yang tak layak tayang. Apalagi saya tidak punya latar belakang jurnalistik atau ilmu komuniasi. Saya kuliah dan dididik menjadi guru, mentalnya pun mental guru.

"Kasihan kan sudah capek-capek tapi nggak dimuat," begitu kata Mbak Icha, atasan kami.

Semakin hari saya semakin kenal dengan siapa-siapa yang ada di kantor detikSurabaya. Ya, tidak semua, tapi lumayanlah bisa sedikit akrab dengan mereka. Biasa, saya menggunakan jurus SKSD. Ada Mbak Icha (redaktur yang 'memegang' kami), Pak Budi Sugiharto (Kepala Detik Biro Surabaya), Pak Budi Hartadi (redaktur), Mbak Nila (admin), Mas Sis, Mas Mas Gilang, Mas Zainal, Mbak Norma, dan Mas Rois. Semuanya baik. Saya suka.

Suka duka yang lain masih banyak. Baik, mari kita mulai dengan memikirkan duka dulu. Susah-susah dahulu bersenang-senang kemudian.

DUKA:
  1. Meliput sendirian adalah kondisi yang kurang begitu saya sukai. Maklum, saya belum kenal siapa-siapa dan belum punya pengalaman menjadi reporter. Ada kalanya saya seperti orang "hahok" bingung bagaimana harus meliput. Ada kalanya saya kesasar karena belum terlalu kenal Surabaya.
  2. Duka yang kedua adalah duka yang berhubungan dengan kuliah. Sembari magang, saya masih punya kewajiban kuliah setiap hari Selasa s.d. Jumat. Kadangkala tanggung jawab magang sedikit "menyenggol" kepentingan kuliah. Saya juga sempat tidak masuk karena harus ke kantor. Pernah, saya harus kebut-kebutan di jalan untuk mengejar sisa waktu UTS di kampus setelah meliput sebuah berita. Akhirnya saya hanya mengerjakan UTS dalam waktu 15 menit. 
  3. Duka yang ketiga apa ya, mungkin hanya rasa capek karena jaraknya jauh dari rumah. Dan saya harus berkutat dengan tiga tempat, yakni rumah, kampus, dan kantor.
  4. Duka berikutnya adalah dijuteki narasumber (orang Dinas P...). Hihi saya sudah pernah merasakannya. Begitu tidak nyaman.

SUKA:
  1. Saya paling suka kalau melihat tulisan dan jepretan saya di web detikSurabaya. Ada rasa puas dan bangga yang mengalir ke dada, jantung, dan darah. Hehe..
  2. Selain harus berpanas-panasan di Surabaya, sejujurnya saya suka kalau disuruh meliput. hal itu membuat saya lebih cepat hafal dengan jalan di Kota Surabaya. 
  3. Bisa ketemu dan kenalan dengan wartawan senior dari berbagai media. Mendengarkan mereka bercanda dan ikut ngobrol adalah menyenangkan buat saya.
  4. Dapat makan, hehe... Maklum mahasiswa, paling senang kalau dapat yang gratis.
  5. Selain itu semua yang terpenting adalah saya bersyukur bisa mendapatkan pengalaman dan teman baru di sini. Mereka seperti Mbak dan Mas saya sendiri. Suatu saat saya akan merindukan mereka kalau sudah tidak magang lagi.
Tinggal satu bulan saya magang di detikSurabaya.com, semoga saya bisa memberikan yang terbaik buat mereka. Aaaamiiin. :)