25 Desember 2011

Yang Berbeda Setelah Menikah


Saya tidak pernah menyangka jodoh itu datang begitu cepat. Di usia yang masih 21 tahun 8 bulan, saya sudah menjadi istri orang. Tidak, saya tidak menikah karena “kecelakaan”. Saya menikah karena mungkin sudah waktunya, sudah dapat panggilan. Seperti orang berhaji, walaupun secara materi cukup tapi kalau belum merasa dapat “panggilan”  ya nggak akan berangkat, tapi kalau sudah mendapat panggilan dan memang itu rizkinya, taka da sesuatu pun yang bisa menghalangi. Begitu juga dengan saya.
Cerita bahagia dan duka sudah pasti ada, bahkan banyak. Namun, sebenarnya ada sisi lain yang mesti dipahami oleh seorang istri dalam kehidupan berkeluarga. Saya tidak berbicara tentang “ayat” karena saya tidak tahu banyak, takut salah. Saya hanya berbagi sedikit cerita dari apa yang saya alami.
Saya berangkat dari pergaulan yang sedikit bebas dengan teman-teman petualang. Kebetulan saya hobi berpetualang. Namun bebas di sini bukan berarti bebas tanpa syarat dan bebas negatif. Kebebasan yang saya anut adalah bebas bergaul, berpetualang, dolan, naik motor dengan teman-teman petualang tapi tetap dalam batas tertentu. Saya ingat betul pertama kali bermain dengan JPers Jatim pada April 2008 ke Ranupani, dari sekian orang hanya saya sendiri yang perempuan.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya juga begitu, entah itu sekadar nongkrong di FT Unesa, touring, nginep di rumah Mas Tovic (Batu), atau mendaki gunung, saya menjadi minoritas di antara teman-teman cowok. Bukan berarti saya tidak suka berpetualang dengan perempuan, tapi teman petualang perempuan sangat sulit saya temui. Saya nyaman dengan itu semua. Saya juga nyaman pulang malam walaupun naik motor sendirian, karena di belakang saya ada teman-teman JPers yang mengantar seperti Mas Kohan, Mas Hero, Mas Wahyu, Mas Rangga, dll.
Begitulah dari segala petualangan itu saya menemukan “teman hidup”. Sejak saat itu ada peraturan yang lebih kuat yang mengikat saya, salah satunya tentang pergaulan dan pulang malam. Saya boleh berteman dengan siapa saja, mau perempuan atau laki-laki terserah. Hanya saja sekarang saya tidak bisa sembarangan minta bonceng teman cowok. Alasannya?  Ya karena saya sudah punya suami, jadi harus menjaga perasaan suami dari rasa cemburu. Saya juga harus menjaga diri dari fitnah. Kan tidak lucu misalnya saya sedang dibonceng teman cowok eh tiba-tiba ada tetangga yang tahu, dan saya dikira selingkuh. Aw aw aw…. Saya juga sudah tak bisa bebas ikut trip sana sini karena ada tanggung jawab di rumah. Malah kata Ibu saya harus pergi denga suami kalau mau ke mana-mana. Saya bisa, suami nggak bisa, dan sebaliknya. Jadilah setengah tahun ini kami lebih sering di rumah.
Sejak SMA, pulang malam sudah jadi kebiasaan. Semuanya bermula dari OPA Rekgiwa dan teman FPTI Sidoarjo yang isinya orang malam semua. Setiap kali ada rapat mesti baru dimulai pukul 9 malam dan berakhir pukul 1 dini hari. Ketika berteman dengan JPers pun tidak jarang pulang agak larut. Namun, sekarang saya tidak bisa sebebas itu. Bahkan saya seringkali menolak ajakan keluar malam. Alasannya? Suami saya baru pulang kerja pukul 6 sore. Saya kan mesti menyiapkan makan, minum, dan sebagainya. Kan sangat tidak etis kalau suami baru pulang lalu saya tinggal keluar.
Kawan, menikah itu bukan mengekang kebebasan, tapi hanya membatasi. Kita boleh bergaul dan bermain seperlunya asal dalam batas-batas tertentu dan tetap melaksanakan kewajiban di rumah. Jadi jangan heran kalau sekarang saya lebih sering menolak ajakan keluar malam, atau saya membawa serta suami saya dalam pertemuan-pertemuan. Rasanya kok jadi lebih romantis.
Mari belajar jadi istri yang baik!

2 komentar:

  1. Salam kenal mba Nurul, semoga jadi keluarga sakinah mawaddah dan rahmah ya mba :)

    BalasHapus