Saya tidak pernah menyangka jodoh itu datang
begitu cepat. Di usia yang masih 21 tahun 8 bulan, saya sudah menjadi istri
orang. Tidak, saya tidak menikah karena “kecelakaan”. Saya menikah karena
mungkin sudah waktunya, sudah dapat panggilan. Seperti orang berhaji, walaupun
secara materi cukup tapi kalau belum merasa dapat “panggilan” ya nggak akan berangkat, tapi kalau sudah
mendapat panggilan dan memang itu rizkinya, taka da sesuatu pun yang bisa
menghalangi. Begitu juga dengan saya.
Cerita bahagia dan duka sudah pasti ada,
bahkan banyak. Namun, sebenarnya ada sisi lain yang mesti dipahami oleh seorang
istri dalam kehidupan berkeluarga. Saya tidak berbicara tentang “ayat” karena
saya tidak tahu banyak, takut salah. Saya hanya berbagi sedikit cerita dari apa
yang saya alami.
Saya berangkat dari pergaulan yang sedikit
bebas dengan teman-teman petualang. Kebetulan saya hobi berpetualang. Namun
bebas di sini bukan berarti bebas tanpa syarat dan bebas negatif. Kebebasan
yang saya anut adalah bebas bergaul, berpetualang, dolan, naik motor dengan
teman-teman petualang tapi tetap dalam batas tertentu. Saya ingat betul pertama
kali bermain dengan JPers Jatim pada April 2008 ke Ranupani, dari sekian orang
hanya saya sendiri yang perempuan.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya juga
begitu, entah itu sekadar nongkrong di FT Unesa, touring, nginep di rumah Mas
Tovic (Batu), atau mendaki gunung, saya menjadi minoritas di antara teman-teman
cowok. Bukan berarti saya tidak suka berpetualang dengan perempuan, tapi teman
petualang perempuan sangat sulit saya temui. Saya nyaman dengan itu semua. Saya
juga nyaman pulang malam walaupun naik motor sendirian, karena di belakang saya
ada teman-teman JPers yang mengantar seperti Mas Kohan, Mas Hero, Mas Wahyu,
Mas Rangga, dll.
Begitulah dari segala petualangan itu saya
menemukan “teman hidup”. Sejak saat itu ada peraturan yang lebih kuat yang
mengikat saya, salah satunya tentang pergaulan dan pulang malam. Saya boleh
berteman dengan siapa saja, mau perempuan atau laki-laki terserah. Hanya saja
sekarang saya tidak bisa sembarangan minta bonceng teman cowok. Alasannya? Ya karena saya sudah punya suami, jadi harus
menjaga perasaan suami dari rasa cemburu. Saya juga harus menjaga diri dari
fitnah. Kan tidak lucu misalnya saya sedang dibonceng teman cowok eh tiba-tiba
ada tetangga yang tahu, dan saya dikira selingkuh. Aw aw aw…. Saya juga sudah
tak bisa bebas ikut trip sana sini karena ada tanggung jawab di rumah. Malah
kata Ibu saya harus pergi denga suami kalau mau ke mana-mana. Saya bisa, suami
nggak bisa, dan sebaliknya. Jadilah setengah tahun ini kami lebih sering di
rumah.
Sejak SMA, pulang malam sudah jadi
kebiasaan. Semuanya bermula dari OPA Rekgiwa dan teman FPTI Sidoarjo yang
isinya orang malam semua. Setiap kali ada rapat mesti baru dimulai pukul 9
malam dan berakhir pukul 1 dini hari. Ketika berteman dengan JPers pun tidak
jarang pulang agak larut. Namun, sekarang saya tidak bisa sebebas itu. Bahkan
saya seringkali menolak ajakan keluar malam. Alasannya? Suami saya baru pulang
kerja pukul 6 sore. Saya kan mesti menyiapkan makan, minum, dan sebagainya. Kan
sangat tidak etis kalau suami baru pulang lalu saya tinggal keluar.
Kawan, menikah itu bukan mengekang
kebebasan, tapi hanya membatasi. Kita boleh bergaul dan bermain seperlunya asal
dalam batas-batas tertentu dan tetap melaksanakan kewajiban di rumah. Jadi
jangan heran kalau sekarang saya lebih sering menolak ajakan keluar malam, atau
saya membawa serta suami saya dalam pertemuan-pertemuan. Rasanya kok jadi lebih
romantis.
Mari belajar jadi istri yang baik!
Salam kenal mba Nurul, semoga jadi keluarga sakinah mawaddah dan rahmah ya mba :)
BalasHapusaamiin. Salam kenal juga mbak :)
Hapus