06 Juni 2020

Pandemi Covid-19 adalah Takdir, Ikhlas adalah Pilihan

Tiga bulan sudah virus covid-19 mewabah di Indonesia dan sudah sekitar 6 bulan sejak kemunculannya di Wuhan kala itu. Dunia seperti hanya sedang membicarakan corona saja. Situs berita, marketplace, web apapun selalu ada info soal data corona di Indonesia bahkan seluruh dunia. Kita seperti dipaksa untuk fokus pada satu hal saja: corona - covid-19. 

Virus ini memporak-porandakan ekonomi kita. Pabrik-pabrik mulai menurunkan produksi  yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Begitu juga di sektor wisata. Tempat-tempat wisata ditutup, pelaku wisata kehilangan pekerjaan, orang dipaksa diam di rumah untuk menghindari virus. Pekerja hotel dirumahkan bahkan dipaksa pensiun dini. Begitu juga dengan beragam pekerjaan lain yang terdampak adanya pandemi ini.

Saya sendiri juga merasakannya. Toko alat pendakian gunung kami selalu sepi pengunjung selama masa pandemi ini. Omzet menurun drastis, bahkan penjaga toko hampir kami rumahkan, sebelum akhirnya kami putuskan untuk kerja setengah hari saja. Ikhtiar menunggu pembeli apa salahnya.

Kalau boleh cerita sedikit, kami pun tidak lepas dari kesulitan. Bulan Maret itu adalah bulan terakhir kontrakan toko kami. Sudah waktunya kami membayar biaya kontrak untuk satu tahun ke depan. Dan biasanya untuk biaya kontrak toko kami memakai uang pinjaman dari bank. Kami anggap pembayaran tiap bulan itu untuk mencicil biaya kontrak. Begitulah hingga akhirnya uang dari bank sudah di tangan lalu kami pakai untuk membayar kontrakan. Lalu kurva positif covid-19 merangkak naik dengan cepat sementara toko pemasukannya sangat sedikit. 

Dan tibalah hari di mana kami harus membayar cicilan pertama. beberapa saat sebelumnya Pak Jokowi Presiden mengumumkan soal restrukturisasi pinjaman. Namun hal ini belum langsung berjalan di bank. Kami negosiasi dengan pihak bank akhirnya waktu itu tetap membayar tapi dengan uang yang sudah ditangguhkan/ disisakan di rekening. Hamdalah terasa ringan. Toh uang itu memang tidak boleh diambil. Bulan berikutnya program restrukturisasi sudah mulai ada kejelasan. Kami hanya disuruh membayar bunganya saja sementara biaya pokoknya bisa ditunda 3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun. Pilih mana? Kami pilih 3 bulan dengan harapan wabah ini segera usai.

Kenapa nggak pilih 1 tahun? Duh, kami bukannya tidak mau membayar bank. Kami sangat ingin membayar agar hutang segera lunas. Kami optimis di bulan-bulan mendatang akan ada jalan terang. 

Apakah saya merasa sempit? Alhamdulillah tidak. Gusti Allah melancarkan penjualan sandal saya. Ya, saya punya usaha sampingan selain toko alat gunung, yakni berjualan sandal anak secara online di Shopee saja. Selama pandemi ini penjualan terus meningkat. Kalau untuk sekadar makan itu sudah lebih dari cukup. Pernah saya tanya ke suami, "Yah, perasaan ayah apa sedang dalam kesusahan atau kesempitan?" Jawabannya adalah enggak, biasa aja. Hamdalah. Kami seirama dalam menyikapi kefanaan ini.

Kefanaan saya menyebutnya. Sudah dikatakan bahwa hidup ini hanya sementara. Seberapa majunya teknologi, Allah tetap menjadi pemegang kendali utama. Dunia yang sudah semaju ini porak poranda oleh virus yang tak kasat mata. Dan menurut saya di saat seperti ini menyikapinya pun tidak perlu terlalu merasa susah. Ini bagian dari takdir. Setiap orang sudah ada takdirnya. Dan mengeluh adalah tindakan sia-sia. Marah dengan keadaan lebih sia-sia lagi.

Hal paling tidak sia-sia di dunia ini adalah beriman kepada Allah.
Pasrahkan hidup hanya kepada-Nya.
Sandarkan kesusahan dan kebahagiaan juga pada-Nya.
Berusaha dengan minta pertolongan-Nya
Ikhlaskan yang terjadi memang kehendak-Nya

Maka tidak akan ada kesedihan yang terlalu sedih dan kebahagiaan yang terlalu bahagia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar