Duduk berselonjor kaki aku dengan punggung bersandar pada sebatang pohon. Menerawang mata menelaah kata-kata dan rasa. Seperti kabut, berpendar tanpa arah bersama angin yang meniupnya. Terbang ke sudut-sudut lembah, bersembunyi ke kedalaman jurang, hingga bertahta di pucuk cemara. Begitu juga hatiku yang tiada tentu arah. Kaki yang berselonjor itu kugerak-gerakkan juga. Beberapa dempul tanah sisa perjalanan panjang yang menempel di sol jatuh ke tanah. Lepas sudah, kembali ke tempatmu bermula.
Terpejam mata, kurasakan datangnya titik-titik air pada kabut yang dibawa angin. Dinginnya menembus hidung dan pipi. Dingin kurasakan perlahan semakin dalam hingga singgah di dada. Sesak, sesak kurasa. Dua tangan yang sedari tadi diam bersilang di depan dada, kini kulepas dan bergerak memukul dada. Dug dug dug suaranya. Ingin kugetarkan sesak itu biar runtuh tapi nyatanya tak tersentuh. Jauh.
Kini aku tahu kenapa adegan memukul dada seringkali muncul dalam film-film di televisi. Kupahami mereka yang ingin memecah lara biar meletup menerjang keluar. Sulit bukan main. Sakitnya pukulan tangan itu tak jua mampu menembus dasar rasa sakit. Sebegitu dalamnyakah sesak menyusup hati?
Nafas berat kutiupkan. Kubuka mata dengan kepala yang masih bersandar pada batang pohon keras ini. Kosong. Kosong dan sepi. Bahkan kabut pun telah pergi. Kucoba berdiri lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. Sedikit kelabu. Tapi di satu sisi langit, tebalnya awan-awan hujan, tak mampu sembunyikan cahaya senja. Ternyata sebentar lagi malam.
Aku pulang. Aku akan selalu pulang. Meski malam, hutan itu akan tetap kuterjang bersama hati yang telah lebih dulu menggelap pekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar