30 Juli 2009

Sri, Pengorbanan atau Kebodohan

Ini kisah nyata. Nama dan tempat disamarkan demi nama baik para pelaku.

Saya sudah lama mendengar cerita tentangnya. Tentang salah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi yang berazazkan Islam. Panggil saja Sri. Saya tahu banyak tentang dia dari seorang sahabat yang juga kuliah di sana, bahkan satu kamar asrama dengannya. Demi kepentingan cerita sebut saja nama sahabat saya Surti. Kemarin saat saya mengunjungi Surti di rumahnya ia banyak cerita tentang Sri. Memang sudah lama sekali cerita mengenai Sri tidak saya dengar. Terakhir saya masih ingat bahwa Sri sering sekali diam-diam keluar malam dengan pacarnya, sebut saja namanya Pras. Mereka pergi ke banyak tempat menghabiskan waktu-waktu bersama. Ke mall, ke taman, ke tempat wisata,dan ke banyak tempat lain di mana dua insan yang dimabuk cinta merasa nyaman. Dan Sri selalu menceritakan kebersamaannya dengan Pras kepada Surti dan enam orang teman sekamar di asrama tersebut. Memang mereka berdelapan sudah seperti saudara sejak setahun yang lalu.

Suatu hari Surti dkk kaget melihat Sri pulang dalam keadaan menangis. Wajahnya sampai terlihat pucat. Mata dan hidungnya berwarna merah. Sepertinya Sri benar-benar tertekan malam itu. Pasti karena suatu hal dan semua temannya sudah tahu itu pasti tentang Pras. Akhir-akhir ini mereka berdua sering bertengkar hebat. Masalahnya? Karena Pras tidak mau lepas dari Sri. Ia ingin memiliki Sri, sedangkan Sri sendiri sudah tidak mau dengannya. Yang teman-teman Sri tahu hanyalah karena Sri sudah punya pacar lain. Itu saja, tidak lebih.

"Sur, tolong Sri tolong!!" sebuah teriakan keras mengagetkan Surti. Setelah ditolehnya, ia baru tahu bahwa Sri yang tadi menangis kini sedang memegang pisau tajam yang siap mengiris kulit dan nadinya. Semua orang di kamar itu langsung mencegah Sri bunuh diri. Mereka berhasil. Sri selamat walaupun kulitnya sedikit terluka. Sri langsung pingsan di tempat. Surti yang dulunya aktif di PMR dengan sigap berusaha menyadarkan Sri, begitu juga teman-temannya yang lain juga berisaha membantunya.

"Emoh... jahat.. jahat...!" teriakan keras berulang-ulang keluar dari mulut Sri. Matanya tetap terpejam. Ia meronta sekuat tenaga. Kulit tubuhnya terasa sangat dingin. Teman-temannya sadar ia sedang kesurupan. Beruntung teman-teman Sri ini pandai soal agama. Dan Sri selalu kesurupan tiap malam lima hari berturut-turut. Bahkan hari terakhir ustad dari kampus tersebut yang menangani Sri karena teman-teman dan para pendamping mahasiswa baru sudah tak sanggup lagi menanganinya.

Teman-teman Sri sadar ada sesuatu permasalahan besar yang dialami Sri hingga ia nekat dan begitu tertekan. Setelah didesak barulah Sri mengaku. Itupun dengan tangis menanggung malu. Ternyata hubungannya dengan Pras sudah begitu parah. Kisah percintaan mereka yang melebihi batas memang sudah sering didengar teman-temannya. Namun ucapan Sri mengenai dirinya sudah sering berhubungan seksual dengan Pras tetap saja mengguncang teman-temannya. Mereka tidak menyangka bahwa Sri bisa rela menyerahkan kehormatannya untuk seseorang yang bukan suaminya. Dan yang membuat Sri lebih terpukul lagi adalah sikap Pras yang memberitahukan hubungan mereka kepada kedua orang tua Sri. Otomatis kedua orang tua yang malang itu marah besar.

Kini Sri sudah minggat dari rumah. Ia tidak mau dinikahkan dengan Pras. Ia benar-benar membenci Pras karena menurutnya alasan Sri mau memenuhi hasrat seksual Pras tidak lebih karena ingin menolong pras dari penyakit kangker otaknya, bukan karena cinta. Ya Pras mengaku sedang terapi untuk menyembuhkan kangker otaknya. Dia tidak boleh tertekan atau kebanyakan pikiran karena akan membuat sia-sia terapinya. Itulah alasan Sri. Dan sekarang Sri kecewa karena Pras telah sembuh tapi tidak pernah mengatakannya, juga karena sikap gegabahnya melaporkan perbuatan intim keduanya kepada orang tua Sri. Sri merasa hidupnya benar-benar hancur. Ia telah jauh dari pacarnya, keluarganya, juga Tuhannya.

Di manapun kamu Sri semoga kamu dapat kembali ke jalan yang benar. Allah Maha Pengampun atas segala dosa. Amin.

21 Juli 2009

Sahabat Komunitas

Wajar saja bila "gesekan" terjadi dalam suatu komunitas. Apalagi di sebuah komunitas besar yang telah memiliki "nama" dan telah dikenal masyarakat pemuda-pemudi dalam skala nasional, internasional mungkin. Tentu ada ratusan bahkan ribuan anggota yang tergabung dari berbagai suku, ras, kebudayaan, dan agama. Akan banyak otak yang saling diadu untuk menghidupkan komunitas, akan banyak hati saling terpaut di sela-sela pertemuan singkat dan cengkrama lewat dunia maya. Ya, komunitas ini tidak mungkin hidup melalui tatap muka langsung saja, tapi hidup dari internet, hubungan dunia maya. Wajar saja dengan banyaknya anggota yang tersebar di seluruh nusantara.

Dunia maya tidak sepenuhnya buruk. Dampak negatif atau positifnya tentu saja tergantung oleh masing-masing individu. Kalau berhati-hati dan bijak tidak menutup kemungkinan bisa menemukan pasangan hati juga beberapa teman dekat. Bahkan sahabat. Jika sembrono suka sruduk sana-sini bisa saja namanya tertulis di daftar blacklist komunitas. Tidak disukai, dijauhi, bahkan dilarang ikut berkegiatan.

Saya sudah bergabung selama hampir dua tahun di komunitas ini. Seperti yang saya katakan bahwa berhasil atau tidaknya hubungan sosial kita ya tergantung diri kita sendiri. Saya tidak tahu berhasil ataukah gugur di tengah jalan. Yang pasti dan selalu saya yakini bahwa saya berhasil menemukan teman-teman dekat. Beberapa di antaranya sangat dekat. Ya kami bahkan sangat bangga dengan persahabatan kami. Main bersama, internetan bersama, nongkrong bersama, dan berkegiatan bersama. Menyenangkan bukan?

Jalan memang tak selamanya mulus, langit tak selamanya biru, laut tak selamanya tenang. Begitu juga persahabatan kami. Mungkin ada yang salah dengan kami. Atau mungkin kami terlalu dekat. Rasa perih seolah memenuhi dada. Saya tidak tau bagaimana menceritakannya. Saya hanya bisa mengatakan bahwa sungguh sangat menyakitkan bertengkar dan 'berjauhan' dengan sahabat yang kita cintai. Mungkin sejak saat ini saya harus belajar untuk sedikit menjaga jarak dengan mereka. Kucing yang sudah jinak pun masih bisa menggigit. Begitu pula sahabat.

14 Juli 2009

Aku untuk Mandalawangi
















Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu

aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu
....
(Soe Hok Gie)


Bait pertama puisi Soe Hok Gie yang berjudul Mandalawangi-Pangrango di atas agaknya tepat jika saya bacakan di Mandalawangi. Gie telah menginspirasi saya untuk menjejakkan kaki di sana. Bersama kawan.. Bersama malam....

Seperti senja itu, Sabtu, 27 Juni 2009 ketika saya dengan dua orang teman berlari-lari kecil di setapak dari puncak Pangrango menuju Mandalawangi. Seperti anak kecil yang berlarian dan disuruh berebutan ice cream. Di antara bunga-bunga abadi kami melangkah, disambut sepoi angin yang telah merindukan tawa kami, tawa anak manusia yang mencintainya sepenuh hati. Di hamparan luas itu beberapa tenda telah berdiri. Di dalamnya mungkin beberapa manusia sedang bercengkerama, tertawa, bahkan saling bercerita bagaimana hutan Pangrango yang gelap, melelahkan, namun seolah memberi kenyamanan bagi siapa yang melaluinya dengan rendah hati. Aku datang Mandalawangi, aku datang dengan cinta. Dan kau sambut aku dengan senyum paling indah. Walau hanya 15 menit aku di sana tuk menemuimu, tapi ku tahu aku tlah jatuh cinta. Setidaknya aku pernah menemuimu walau sebentar.















....

kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin
....
(Soe Hok Gie)

Mandalawangi adalah alasan utama saya mendaki Gunung Gede - Pangrango. Bukan Cibodas dengan hangatnya warung Mang Idi, bukan Cibereum dengan deras air terjunnya, bukan Kandang badak dengan kehangatan malamnya, bukan pula Surya Kencana dengan keindahannya yang sering dielu-elukan para pendaki. Aku untuk Mandalawangi. Sore itu saya begitu bersyukur. Terima kasih, Tuhan.















Matahari telah sempurna kembali ke peraduannya ketika kami bertiga perlahan beranjak meninggalkan Mandalawangi. Kembali ke Kandang Badak karena di sana dua orang teman menunggu kami untuk bergabung dengan mereka. Percayalah, pertemuan singkat ini begitu berarti.

Sepi telah menjeratku di antara akar-akar yang garang
Membayangiku dengan ketakutan dan keraguan
Hanya ada teman
Serta TUHAN
Yang menjadikan malam menjadi nyaman
Dan Ia telah memberikan senyuman
Lewat selirit bulan sabit yang dijadikan-Nya terang
(Gunung Pangrango 27 Juli '09)

09 Juli 2009

Iman dalam Cinta

Saya pernah jatuh cinta. Sejak kapan? Entahlah.. Mulai jaman kelas III SMP saya sudah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Entah itu cinta yang bagaimana saya tidak pernah tahu. Mungkin cinta monyet. Cintanya anak-anak ABG seperti saya waktu itu. Malu-malu tapi mau akhirnya saya menerima ungkapan cinta dari seseorang, sebut saja Ismail.

Meskipun kata teman-teman kami sudah jadian, menjadi sepasang ABG yang sama-sama disatukan dengan tali abstrak bernama pacaran, hubungan kami biasa-biasa saja seolah tidak ada yang spesial. Dia tak pernah memegang tangan saya seperti teman-teman kebanyakan. Sayapun tak pernah minta diantarnya pulang. Kami juga tidak mesra. Sesekali hanya saling melempar senyum. Kalaupun sedang duduk berdekatan paling-paling masih berjarak lebih dari 30 cm. Anehnya kami masih bertahan dengan hubungan itu. Alasannya? Saya juga tidak tahu.

Mungkin malu dengan orang tua dan tetangga, tak sekalipun juga ia saya izinkan main ke rumah. Jalan berdua juga tidak pernah tertulis dalam pengalaman pacaran kami. Pada akhirnya sayalah yang menyerah. Bukan karena saya tidak sayang ataupun saya telah menemukan pengganti yang lain. Tapi karena saya tidak bisa memberi sikap yang lebih terhadap dia. Mungkin hal ini pengaruh dari didikan keluarga yang selalu menanamkan kepada saya bahwa antara perempuan dan lelaki terdapat batasan yang tidak boleh dilanggar tanpa adanya status muhrim. Lalu berakhirlah hubungan kami. Sebatang coklat mete masih sempat ia hadiahkan untuk saya. Kartu ucapannya pun masih saya simpan hingga sekarang. Dia cinta pertama saya. Cinta monyet saya. ^_^

Dan lagi-lagi saya jatuh cinta. Juga lagi-lagi saya tidak mengetahui itu cinta yang seperti apa. Sebatang coklat mete pernah saya terima dari tangannya. Coklat yang saya anggap spesial, meski tanpa kartu ucapan. Tapi mengikuti hati tidak selamanya jauh dari kesalahan. Adanya pengakuan dan penerimaan adalah salah satu harapan saya. Saya yakin dia tahu, hanya ia tak mau. Alasannya? Entahlah. Mungkin juga alasannya sama seperti alasan saya waktu itu. Atau karena hal lain. Biar ia saja yang menjawab. Yang saya tahu adalah saya berharap terlalu banyak dan terlalu mengagumi baktinya pada Pencipta. Namun, saya telah memilih. Dan hidup saya untuk masa depan. Cinta saya kepada dia adalah cinta yang indah. Mengingatnya semakin membuat saya kagum akan keagungan sang Pencipta. Dan pilihan saya, semoga dia juga seperti itu. Pilihan yang mampu membawa cinta saya menggapai rangkulan-Nya. Tanpa membandingkan dengan siapaun, saya mohon yakinkan saya dengan "cinta".