09 Juli 2009

Iman dalam Cinta

Saya pernah jatuh cinta. Sejak kapan? Entahlah.. Mulai jaman kelas III SMP saya sudah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Entah itu cinta yang bagaimana saya tidak pernah tahu. Mungkin cinta monyet. Cintanya anak-anak ABG seperti saya waktu itu. Malu-malu tapi mau akhirnya saya menerima ungkapan cinta dari seseorang, sebut saja Ismail.

Meskipun kata teman-teman kami sudah jadian, menjadi sepasang ABG yang sama-sama disatukan dengan tali abstrak bernama pacaran, hubungan kami biasa-biasa saja seolah tidak ada yang spesial. Dia tak pernah memegang tangan saya seperti teman-teman kebanyakan. Sayapun tak pernah minta diantarnya pulang. Kami juga tidak mesra. Sesekali hanya saling melempar senyum. Kalaupun sedang duduk berdekatan paling-paling masih berjarak lebih dari 30 cm. Anehnya kami masih bertahan dengan hubungan itu. Alasannya? Saya juga tidak tahu.

Mungkin malu dengan orang tua dan tetangga, tak sekalipun juga ia saya izinkan main ke rumah. Jalan berdua juga tidak pernah tertulis dalam pengalaman pacaran kami. Pada akhirnya sayalah yang menyerah. Bukan karena saya tidak sayang ataupun saya telah menemukan pengganti yang lain. Tapi karena saya tidak bisa memberi sikap yang lebih terhadap dia. Mungkin hal ini pengaruh dari didikan keluarga yang selalu menanamkan kepada saya bahwa antara perempuan dan lelaki terdapat batasan yang tidak boleh dilanggar tanpa adanya status muhrim. Lalu berakhirlah hubungan kami. Sebatang coklat mete masih sempat ia hadiahkan untuk saya. Kartu ucapannya pun masih saya simpan hingga sekarang. Dia cinta pertama saya. Cinta monyet saya. ^_^

Dan lagi-lagi saya jatuh cinta. Juga lagi-lagi saya tidak mengetahui itu cinta yang seperti apa. Sebatang coklat mete pernah saya terima dari tangannya. Coklat yang saya anggap spesial, meski tanpa kartu ucapan. Tapi mengikuti hati tidak selamanya jauh dari kesalahan. Adanya pengakuan dan penerimaan adalah salah satu harapan saya. Saya yakin dia tahu, hanya ia tak mau. Alasannya? Entahlah. Mungkin juga alasannya sama seperti alasan saya waktu itu. Atau karena hal lain. Biar ia saja yang menjawab. Yang saya tahu adalah saya berharap terlalu banyak dan terlalu mengagumi baktinya pada Pencipta. Namun, saya telah memilih. Dan hidup saya untuk masa depan. Cinta saya kepada dia adalah cinta yang indah. Mengingatnya semakin membuat saya kagum akan keagungan sang Pencipta. Dan pilihan saya, semoga dia juga seperti itu. Pilihan yang mampu membawa cinta saya menggapai rangkulan-Nya. Tanpa membandingkan dengan siapaun, saya mohon yakinkan saya dengan "cinta".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar