31 Desember 2009

Ranu Kumbolo yang Memanggil

Minggu, 20 Desember 2009

Hangat sekali rumah Pak Buhari, tahu-tahu sudah pagi saja. Kami sarapan nasi goreng buatan tuan rumah dan mulai berkemas. Tidak lupa juga memasukkan 12 biji kentang rebus yang Om Don pesankan pada tuan rumah untuk kami. Wah.. berat juga nih keril (punya Mz Arief sih yang berat, saya mah ringan). Tak lama kamipun berpamitan pada tuan rumah. Melapor sebentar dan tuk.. tuk.. tuk.. kami berjalan selangkah demi selangkah menuju Ranu Kumbolo yang kami rindukan.

lelah

Sedikit terik di awal perjalanan, tapi tak terasa karena setapak menuju Pos I ternyata sangat rimbun. Udara kembali dingin dan sesekali kabutpun lewat. Entah kenapa fisik ini sedikit susah diajak kompromi. Telapak kaki saya sakit dan badan agak lemas. Di setapak paving blok itu saya sempat istirahat dan berbaring. Mz Arief bertanya apakah saya masih sehat. Seandainya saya memang sakit lebih baik tidak dilanjutkan. Saya jadi bimbang juga. Mungkin pengaruh terlalu banyak makan dan tidak pernah berolahraga. Pikir punya pikir akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sayang kan sudah jauh-jauh ke sini tapi tidak ke Kumbolo. Sungguh pemikiran ceroboh dan egois. Itulah yang mendasari kematian salah seorang pendaki beberapa hari sebelum kami, yaitu memaksakan diri. Tidak begitu dengan pikiran saya, saya hanya merasa sedikit kelelahan di awal perjalanan, dan saya yakin akan membaik nantinya. Sepatu yang tadinya saya pakai diganti dengan sandal jepit punya Mz Arief, sedikit kegedean. Tapi tak apalah.

Perlahan-lahan kami berjalan dan istirahat dengan tempo sesuka-suka kami. Jika lelah kami istirahat, jika lapar kami makan, nongkrong, ngobrol, bahkan mencari buah arbei kesukaan saya. Memang kami sangat lambat di awal perjalanan ini. Dari pos lapor Ranupani pukul 9 dan baru tiba di Pos I kira-kira pukul 10.50. Hampir dua jam kan? Sangat lama. Hehehe... Tiba di Pos I kami berdua langsung makan kentang rebus ditambah biskuit buat tambahan tenaga. Lumayan lama juga kami istirahat di sini. Kira-kira 15-20 menitan, baru kami jalan lagi.

Dari Pos I kemampuan fisik saya sudah membaik. Kami sudah berjalan normal lagi bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Bertemu dengan beberapa pendaki lain yang turun dan saling melempar senyum. Sungguh kebiasaan menyenangkan ketika mendaki gunung. Menyamaratakan manusia dengan status saudara, tak melihat kaya atau miskin, suku, dan agama. Cepat rasanya kami tiba di Pos II. Tepat pukul 11.40. Lalu saya langsung apdet status di fb. Suasana lebih berkabut dari sebelumnya. Hawa dingin mulai menyerang. Istirahat 10 menit, lalu lanjut jalan lagi.

burung yang selalu mengikutiku

Dari pos II ke pos III lumayan jauh. Hikss... Sudah jauh, eh kami malah asik berfoto-foto di jalan. Tentu saja ini mengulur waktu. Apalagi saat itu kami sempat bertemu beberapa kera yang melompat-lompat di pohon. Lalu ada juga burung (entah burung apa) yang selalu berjalan di depan kami, seolah-olah ingin ikut dengan kami. Malah bergaya dia saat difoto. Burung yang aneh! Entah pukul berapa kami tiba di pos III. Mungkin sekitar setengah satu siang. Di sini kami makan siang ditemani gerimis yang mulai turun. Kami pikir ini bukanlah pendakian dengan target, jadi nyantai, nyaman, aman, dan senang adalah prioritas kami. Tak disangka-sangka kami bertemu tiga orang teman dari Jakarta yang saya ceritakan sebelumnya. Obrolan demi obrolan berlalu begitu saja membuat kami lebih lama di pos III. Mungkin sejaman kami di sana. Hari semakin sore dan kami harus melanjutkan perjalanan ke Ranu Kumbolo sebelum hujan datang. Langit mendung, kadang terdengar gemuruh, rintik-rintik hujan pun kadang menyapa.

motretin bunga

Mempercepat langkah agar segera sampai di Ranu Kumbolo nyatanya sia-sia saja. Ketika danau indah itu mengintip kami dari kejauhan, kami seolah-olah tersihir dengan keelokannya. Mz Arief tak lagi menyimpan kameranya di dalam tas. Jepret sana-jepret sini layaknya seorang fotografer handal. Ilmu dari Om Don diterapkannya (hehe). "Aku bosen motretin peri terus, mosok modelku siji thok," katanya pada saya. Saya cuma bisa nyengir. Ranu Kumbolo semakin jelas, tapi semakin lama pula kami tidak segera sampai. Apalagi setelah turunan dan kami menemui bunga-bunga yang merekah indah. Bak kemarau merindukan hujan, itulah gambaran sikap kami. Langit putih mendung, tapi keadaan sekitar masih cerah. Barulah kegiatan bernarsis ria ini kami akhiri ketika kabut pekat tiba-tiba datang dan tak mau pergi. Tiba di pondokan barulah turun hujan padahal belum sempat kami mendirikan tenda. Akhirnya kami tiba di Ranu Kumbolo..... Ranu Kumbolo yang berkabut.. Ranu Kumbolo yang dingin.. Ranu Kumbolo yang romantis..


bersambung ^_^

Berjumpa dengan Om Don Hasman di Napak Tilas Soe Hok Gie

Sabtu, 19 Desember 2009

Pagi di hari kedua saya memaksa Mz untuk menemani saya jalan-jalan ke Ranu Regulo, sekalian saya ingin melihat seberapa ramai peserta napak tilas Gie yang camp bersama di Ranu Regulo. Sambil gemetaran ia menemani saya, tak tega rasanya. Terima kasih ya Mz. ^_^

Selepas bersantap pagi di rumah Bu Nunuk kami sudah siap memulai perjalanan indah ini. Mulai meniti langkah dengan beban di punggung. Lalu nampak seorang bapak tua baru keluar dari rumah sederhana di depan Musholla. Kami saling melempar senyum dan bersalaman. Berkenalan.

”Nurul,” kata saya.
”Don,” jawab beliau.
”Don Hasman ya?” timpal mz Arief dengan nada cepat dan tekanan tertentu.
Akrablah kami bertiga dengan obrolan ringan. Beliau bertanya tentang tujuan kami dan kami jawab dengan jujur hanya akan camp di Kumbolo.
”Sudah, tunda saja besok. Ini acara puncak. Bang Herman lagi di perjalanan,” kata Om Don.


Wah-wah... saya dan Mz saling pandang antara bingung dan tidak percaya. Tapi akhirnya kami tetap disandra Om Don untuk mengikuti acara puncak napak tilas. Dengar-dengar ada Nicholas Saputra dan Mira Lesmana yang sedang jalan-jalan ke Ranu Kumbolo. Bang Herman serta beberapa teman kira-kira seangkatan Om Don di Mapala UI sedang di perjalanan. Saya dan Mz ikut saja kemana Om Don pergi. Pertama-tama beliau mengajak kami ke kemah Ranu Regulo, di sana kami dikenalkan dengan banyak orang yang mungkin sudah saya lupakan nama-namanya. Memang menyenangkan bertemu dengan orang besar, dari setiap gerak-geriknya dapat dijadikan pelajaran. Yang seru lagi saya, Om Don, dan Mz Arief sempat menjadi satu tim dan tanding voli. Ternyata kami menang lho.. Semua gara-gara tangan ajibnya Om Don. Di usianya yang ke-69 staminanya tidak kalah dengan yang muda. Percaya atau tidak jika berjalan sangat cepat dan tidak ngos-ngosan. Orangnya cepat tanggap, terbukti ketika motor salah seorang warga jatuh beliau langsung lari memberi pertolongan. Semua orang disapanya, ternyata beliau sangat supel dan peduli dengan orang lain.



Waktunya makan siang dan Om Don mengajak kami kembali ke rumah Pak Buhari tempat Om Don menginap. Beliau juga mengajak kami menginap di sana. Bersama Mz Fay juga kami berempat menikmati santapan nikmat yang disediakan pemilik rumah. Selepas makan siang di sela-sela gerimis yang membasahai tanah Ranupani kami berempat berjalan lagi hendak ke Ranu Regulo, tapi mampir dulu ke guest house mencari bang Herman. Ternyata bang Herman belum datang, tapi di sana ramai teman-teman Om Don dari mapala UI. Wah ternyata ada bang Maman (Abdurachman) dan beberapa teman lain yang dulu ikut mendaki Mahameru bersama Soe Hok Gie. Asik sekali melihat keceriaan perjumpaan sahabat lama itu. Setelah dikenalkan dengan mereka saya dan Mz hanya menjadi penyimak cerita-cerita mereka yang mungkin sarat makna. Kadang ikut tertawa, ikut berfoto juga. Tapi bukan kamera saya ataupun Mz Arief. Mungkin lain kali saya akan memintanya pada Om Don atau Mz Fay jika mereka sudah pulang dari perjalanan panjang ke Merapi Jatim.

Hari semakin sore, kami cabut ke Ranu Regulo lagi, tentu saja untuk ketiga kalinya di hari ini. Wkwkwkw..... Panitia sibuk dengan persiapan acara puncak. Peserta yang tinggal sebagian ikut membantu. Sempat menunggu-nunggu kapan acara ini dimulai, lalu datanglah sosok yang sudah tidak asing lagi, yaitu bang Herman Lantang. Semua menyambutnya dengan ceria, bersalaman dan berfoto. Om Don yang mungkin sudah lama tidak bertemu dengan bang Herman langsung merangkul dan menggandeng beliau kemanapun. Sebuah persahabatan indah nampak di depan mata saya. Sampai menjelang malam bapak-bapak dan ibu-ibu seangkatan Om Don itu masih melepas rindu. Lalu hujan datang lagi. Berteduh kami bersama-sama. Om Don sangat disiplin, menjelang malam beliau mengajak kami kembali ke Pak Buhari untuk makan malam sebelum acara panjang malam itu. Hihi... tau aja Om perut ini sudah lapar. Wuah... di tengah hujan langkah Om Don semakin cepat saja. Saya sih di belakang aja dengan Mz Fay. Tapi Mz Arief yang bisa mengimbangi langkah Om Don ternyata tidak bisa mengimbangi kestabilan nafas. Mz Arief ngos-ngosan. Hahahaha....


Bersantap malam sambil bercengkerama dan Om Don mengajari kami menghargai pemilik rumah. Kami iuran minimal Rp 15.000.-an maksimal terserah. Tadinya malam ini kami hendak bermalam bersama Om Don, tapi Om Don diajak teman-temannya menginap di Malang. Berkali-kali beliau meminta maaf pada kami karena beliaulah yang mengajak kami menginap bersama, tapi malah beliau yang pergi. Tak masalah bagi kami, Cuma kami masih ingin belajar dari orang hebat seperti beliau.

Lagi, malam itu kami ke Ranu Regulo mengikuti acara puncak. Rasanya mata ini sudah lelah, ingin dipejamkan dalam hangat sleeping bag. Dikuat-kuatinlah! Saat tiba ternyata acara sudah dimulai. Sedang acara talk show dan bedah buku. Saya menjadi penonton setia saja. Malas rasanya mau jeprat-jepret mengambil gambar. Pada acara ini juga diberikan penghargaan kepada pahlawan-pahlawan yang dulu ikut dalam penyelamatan Gie dkk. Dilanjutkan dengan acara musikalisasi puisi. Pukul 9 malam saya dan Mz Arief memutuskan untuk pulang ke Pak Buhari, tentu saja bersamaan dengan Om Don dkk yang hendak meninggalkan Ranupani. Acara belum selesai, Nicholas Saputra belum terlihat batang hidungnya. Hukss... Tak apalah, lebih penting bertemu dan hidup sehari dengan Om Don. Akhirnya sampai juga pada ujung perjumpaan. Sampai jumpa Om Don.. Sampai jumpa Mz Fay....


bersambung...

Dari Tumpang hingga ke Ranupani

Jumat, 18 Desember 2009

Adalah hari yang menyenangkan ketika saya tahu seseorang dari sebuah kota di barat pulau Jawa sana akan tiba di Surabaya pagi itu dan akan menemui saya di terminal Bungurasih. Ini adalah hari pertemuan yang kami sepakati sejak beberapa minggu sebelumnya. Mungkin bagi orang lain ini biasa, tapi bagi saya sangat istimewa. Setelah dua bulan kami tidak bersua, kini saatnya kembali mengukir kenangan manis di sebuah tempat indah bernama Ranu Kumbolo.

Setelah beradu pandang dan membagi seulas senyum salah tingkah kami langsung menuju ke Malang dan dilanjutkan ke Tumpang. Di sana sudah menunggu tiga orang teman dari Jakarta. Namun ketika kami tiba di Tumpang mereka baru saja melaju ke desa Ranupani dengan beberapa pendaki lain dari UI. Tinggallah kami berdua yang bingung memikirkan bagaimana caranya bisa sampai desa tersebut. Awalnya kami hendak naik hardtop dengan tarif Rp 450.000,- tapi menunggu hingga tiga jam sejak pukul satu siang seolah tak ada hasil. Tak satupun pendaki yang tiba. Dilema! Tidak mungkin kami berdua carter jeep dengan harga tersebut. Bisa-bisa uang ini habis sebelum turun gunung. Kami bukanlah tipe pendaki kaya yang bisa membayar mahal demi tercapainya tujuan kami. Kami ini sejenis orang kere. Maunya yang murah-murah, asal bisa jalan dan tiba di tempat tujuan.




Seorang bapak paruh baya yang mengaku sebagai salah satu petugas TNBTS tiba-tiba menyapa saya dan memberikan saya saran agar naik ojek saja atau mencari truk sayur di belakang pasar. Tanpa pikir panjang lagi kami langsung mencari ojek, daripada hari semakin beranjak malam dan beranjak naik pula tarif ojek. Sejuk rasanya mata ini memandang yang hijau-hijau. Pepohonan khas hutan tropis dengan lumutan yang memberikan nuansa alami, jalanan berlubang, tidak rata, menanjak, berkabut, seolah-olah semua beradu tuk merebut kekaguman dari hati kami. Tarif Rp 100.000,- per ojek harus kami bayar dengan senang hati sebagai ganti keindahan dan keramahan bapak tukang ojek. Sejam perjalanan akhirnya kami tiba di rumah Pak Ingot. Beliau sekeluarga menyambut kami dengan hangat. Lama kami saling bercerita, baik itu tentang saya, mz Arief, bahkan hingga nostalgia masa muda Pak Ingot dengan Bu Nunuk. Tak terasa hari sudah malam dan kami belum makan. Dengan meminjam motor Pak Ingot saya dan Mz Arief melaju ke Pos Lapor sekadar untuk mencari makan dan melihat bagaimana sih ramainya malam Ranupani dengan pendaki peserta napak tilas Soe Hok Gie. Hahaha... Lucunya tangan Mz Arief gemetaran karena kedinginan. Motor ini jadi tidak stabil jalannya. Di sekitar Pos Lapor banyak yang berjualan makanan. Sebagian adalah penjual musiman, tergantung ramai atau sepinya pendaki. Saya memilih bakso sebagai santapan malam, ditambah bumbu tawa antara saya, mz Arief, pak bakso, dan beberapa pendaki lain. Sedikit hangat untuk malam Ranupani yang dingin.


bersambung...