Jumat, 18 Desember 2009
Adalah hari yang menyenangkan ketika saya tahu seseorang dari sebuah kota di barat pulau Jawa sana akan tiba di Surabaya pagi itu dan akan menemui saya di terminal Bungurasih. Ini adalah hari pertemuan yang kami sepakati sejak beberapa minggu sebelumnya. Mungkin bagi orang lain ini biasa, tapi bagi saya sangat istimewa. Setelah dua bulan kami tidak bersua, kini saatnya kembali mengukir kenangan manis di sebuah tempat indah bernama Ranu Kumbolo.
Setelah beradu pandang dan membagi seulas senyum salah tingkah kami langsung menuju ke Malang dan dilanjutkan ke Tumpang. Di sana sudah menunggu tiga orang teman dari Jakarta. Namun ketika kami tiba di Tumpang mereka baru saja melaju ke desa Ranupani dengan beberapa pendaki lain dari UI. Tinggallah kami berdua yang bingung memikirkan bagaimana caranya bisa sampai desa tersebut. Awalnya kami hendak naik hardtop dengan tarif Rp 450.000,- tapi menunggu hingga tiga jam sejak pukul satu siang seolah tak ada hasil. Tak satupun pendaki yang tiba. Dilema! Tidak mungkin kami berdua carter jeep dengan harga tersebut. Bisa-bisa uang ini habis sebelum turun gunung. Kami bukanlah tipe pendaki kaya yang bisa membayar mahal demi tercapainya tujuan kami. Kami ini sejenis orang kere. Maunya yang murah-murah, asal bisa jalan dan tiba di tempat tujuan.
Seorang bapak paruh baya yang mengaku sebagai salah satu petugas TNBTS tiba-tiba menyapa saya dan memberikan saya saran agar naik ojek saja atau mencari truk sayur di belakang pasar. Tanpa pikir panjang lagi kami langsung mencari ojek, daripada hari semakin beranjak malam dan beranjak naik pula tarif ojek. Sejuk rasanya mata ini memandang yang hijau-hijau. Pepohonan khas hutan tropis dengan lumutan yang memberikan nuansa alami, jalanan berlubang, tidak rata, menanjak, berkabut, seolah-olah semua beradu tuk merebut kekaguman dari hati kami. Tarif Rp 100.000,- per ojek harus kami bayar dengan senang hati sebagai ganti keindahan dan keramahan bapak tukang ojek. Sejam perjalanan akhirnya kami tiba di rumah Pak Ingot. Beliau sekeluarga menyambut kami dengan hangat. Lama kami saling bercerita, baik itu tentang saya, mz Arief, bahkan hingga nostalgia masa muda Pak Ingot dengan Bu Nunuk. Tak terasa hari sudah malam dan kami belum makan. Dengan meminjam motor Pak Ingot saya dan Mz Arief melaju ke Pos Lapor sekadar untuk mencari makan dan melihat bagaimana sih ramainya malam Ranupani dengan pendaki peserta napak tilas Soe Hok Gie. Hahaha... Lucunya tangan Mz Arief gemetaran karena kedinginan. Motor ini jadi tidak stabil jalannya. Di sekitar Pos Lapor banyak yang berjualan makanan. Sebagian adalah penjual musiman, tergantung ramai atau sepinya pendaki. Saya memilih bakso sebagai santapan malam, ditambah bumbu tawa antara saya, mz Arief, pak bakso, dan beberapa pendaki lain. Sedikit hangat untuk malam Ranupani yang dingin.
bersambung...
Adalah hari yang menyenangkan ketika saya tahu seseorang dari sebuah kota di barat pulau Jawa sana akan tiba di Surabaya pagi itu dan akan menemui saya di terminal Bungurasih. Ini adalah hari pertemuan yang kami sepakati sejak beberapa minggu sebelumnya. Mungkin bagi orang lain ini biasa, tapi bagi saya sangat istimewa. Setelah dua bulan kami tidak bersua, kini saatnya kembali mengukir kenangan manis di sebuah tempat indah bernama Ranu Kumbolo.
Setelah beradu pandang dan membagi seulas senyum salah tingkah kami langsung menuju ke Malang dan dilanjutkan ke Tumpang. Di sana sudah menunggu tiga orang teman dari Jakarta. Namun ketika kami tiba di Tumpang mereka baru saja melaju ke desa Ranupani dengan beberapa pendaki lain dari UI. Tinggallah kami berdua yang bingung memikirkan bagaimana caranya bisa sampai desa tersebut. Awalnya kami hendak naik hardtop dengan tarif Rp 450.000,- tapi menunggu hingga tiga jam sejak pukul satu siang seolah tak ada hasil. Tak satupun pendaki yang tiba. Dilema! Tidak mungkin kami berdua carter jeep dengan harga tersebut. Bisa-bisa uang ini habis sebelum turun gunung. Kami bukanlah tipe pendaki kaya yang bisa membayar mahal demi tercapainya tujuan kami. Kami ini sejenis orang kere. Maunya yang murah-murah, asal bisa jalan dan tiba di tempat tujuan.
Seorang bapak paruh baya yang mengaku sebagai salah satu petugas TNBTS tiba-tiba menyapa saya dan memberikan saya saran agar naik ojek saja atau mencari truk sayur di belakang pasar. Tanpa pikir panjang lagi kami langsung mencari ojek, daripada hari semakin beranjak malam dan beranjak naik pula tarif ojek. Sejuk rasanya mata ini memandang yang hijau-hijau. Pepohonan khas hutan tropis dengan lumutan yang memberikan nuansa alami, jalanan berlubang, tidak rata, menanjak, berkabut, seolah-olah semua beradu tuk merebut kekaguman dari hati kami. Tarif Rp 100.000,- per ojek harus kami bayar dengan senang hati sebagai ganti keindahan dan keramahan bapak tukang ojek. Sejam perjalanan akhirnya kami tiba di rumah Pak Ingot. Beliau sekeluarga menyambut kami dengan hangat. Lama kami saling bercerita, baik itu tentang saya, mz Arief, bahkan hingga nostalgia masa muda Pak Ingot dengan Bu Nunuk. Tak terasa hari sudah malam dan kami belum makan. Dengan meminjam motor Pak Ingot saya dan Mz Arief melaju ke Pos Lapor sekadar untuk mencari makan dan melihat bagaimana sih ramainya malam Ranupani dengan pendaki peserta napak tilas Soe Hok Gie. Hahaha... Lucunya tangan Mz Arief gemetaran karena kedinginan. Motor ini jadi tidak stabil jalannya. Di sekitar Pos Lapor banyak yang berjualan makanan. Sebagian adalah penjual musiman, tergantung ramai atau sepinya pendaki. Saya memilih bakso sebagai santapan malam, ditambah bumbu tawa antara saya, mz Arief, pak bakso, dan beberapa pendaki lain. Sedikit hangat untuk malam Ranupani yang dingin.
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar