Minggu, 20 Desember 2009
Hangat sekali rumah Pak Buhari, tahu-tahu sudah pagi saja. Kami sarapan nasi goreng buatan tuan rumah dan mulai berkemas. Tidak lupa juga memasukkan 12 biji kentang rebus yang Om Don pesankan pada tuan rumah untuk kami. Wah.. berat juga nih keril (punya Mz Arief sih yang berat, saya mah ringan). Tak lama kamipun berpamitan pada tuan rumah. Melapor sebentar dan tuk.. tuk.. tuk.. kami berjalan selangkah demi selangkah menuju Ranu Kumbolo yang kami rindukan.
Hangat sekali rumah Pak Buhari, tahu-tahu sudah pagi saja. Kami sarapan nasi goreng buatan tuan rumah dan mulai berkemas. Tidak lupa juga memasukkan 12 biji kentang rebus yang Om Don pesankan pada tuan rumah untuk kami. Wah.. berat juga nih keril (punya Mz Arief sih yang berat, saya mah ringan). Tak lama kamipun berpamitan pada tuan rumah. Melapor sebentar dan tuk.. tuk.. tuk.. kami berjalan selangkah demi selangkah menuju Ranu Kumbolo yang kami rindukan.
Sedikit terik di awal perjalanan, tapi tak terasa karena setapak menuju Pos I ternyata sangat rimbun. Udara kembali dingin dan sesekali kabutpun lewat. Entah kenapa fisik ini sedikit susah diajak kompromi. Telapak kaki saya sakit dan badan agak lemas. Di setapak paving blok itu saya sempat istirahat dan berbaring. Mz Arief bertanya apakah saya masih sehat. Seandainya saya memang sakit lebih baik tidak dilanjutkan. Saya jadi bimbang juga. Mungkin pengaruh terlalu banyak makan dan tidak pernah berolahraga. Pikir punya pikir akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sayang kan sudah jauh-jauh ke sini tapi tidak ke Kumbolo. Sungguh pemikiran ceroboh dan egois. Itulah yang mendasari kematian salah seorang pendaki beberapa hari sebelum kami, yaitu memaksakan diri. Tidak begitu dengan pikiran saya, saya hanya merasa sedikit kelelahan di awal perjalanan, dan saya yakin akan membaik nantinya. Sepatu yang tadinya saya pakai diganti dengan sandal jepit punya Mz Arief, sedikit kegedean. Tapi tak apalah.
Perlahan-lahan kami berjalan dan istirahat dengan tempo sesuka-suka kami. Jika lelah kami istirahat, jika lapar kami makan, nongkrong, ngobrol, bahkan mencari buah arbei kesukaan saya. Memang kami sangat lambat di awal perjalanan ini. Dari pos lapor Ranupani pukul 9 dan baru tiba di Pos I kira-kira pukul 10.50. Hampir dua jam kan? Sangat lama. Hehehe... Tiba di Pos I kami berdua langsung makan kentang rebus ditambah biskuit buat tambahan tenaga. Lumayan lama juga kami istirahat di sini. Kira-kira 15-20 menitan, baru kami jalan lagi.
Dari Pos I kemampuan fisik saya sudah membaik. Kami sudah berjalan normal lagi bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Bertemu dengan beberapa pendaki lain yang turun dan saling melempar senyum. Sungguh kebiasaan menyenangkan ketika mendaki gunung. Menyamaratakan manusia dengan status saudara, tak melihat kaya atau miskin, suku, dan agama. Cepat rasanya kami tiba di Pos II. Tepat pukul 11.40. Lalu saya langsung apdet status di fb. Suasana lebih berkabut dari sebelumnya. Hawa dingin mulai menyerang. Istirahat 10 menit, lalu lanjut jalan lagi.
Dari pos II ke pos III lumayan jauh. Hikss... Sudah jauh, eh kami malah asik berfoto-foto di jalan. Tentu saja ini mengulur waktu. Apalagi saat itu kami sempat bertemu beberapa kera yang melompat-lompat di pohon. Lalu ada juga burung (entah burung apa) yang selalu berjalan di depan kami, seolah-olah ingin ikut dengan kami. Malah bergaya dia saat difoto. Burung yang aneh! Entah pukul berapa kami tiba di pos III. Mungkin sekitar setengah satu siang. Di sini kami makan siang ditemani gerimis yang mulai turun. Kami pikir ini bukanlah pendakian dengan target, jadi nyantai, nyaman, aman, dan senang adalah prioritas kami. Tak disangka-sangka kami bertemu tiga orang teman dari Jakarta yang saya ceritakan sebelumnya. Obrolan demi obrolan berlalu begitu saja membuat kami lebih lama di pos III. Mungkin sejaman kami di sana. Hari semakin sore dan kami harus melanjutkan perjalanan ke Ranu Kumbolo sebelum hujan datang. Langit mendung, kadang terdengar gemuruh, rintik-rintik hujan pun kadang menyapa.
Mempercepat langkah agar segera sampai di Ranu Kumbolo nyatanya sia-sia saja. Ketika danau indah itu mengintip kami dari kejauhan, kami seolah-olah tersihir dengan keelokannya. Mz Arief tak lagi menyimpan kameranya di dalam tas. Jepret sana-jepret sini layaknya seorang fotografer handal. Ilmu dari Om Don diterapkannya (hehe). "Aku bosen motretin peri terus, mosok modelku siji thok," katanya pada saya. Saya cuma bisa nyengir. Ranu Kumbolo semakin jelas, tapi semakin lama pula kami tidak segera sampai. Apalagi setelah turunan dan kami menemui bunga-bunga yang merekah indah. Bak kemarau merindukan hujan, itulah gambaran sikap kami. Langit putih mendung, tapi keadaan sekitar masih cerah. Barulah kegiatan bernarsis ria ini kami akhiri ketika kabut pekat tiba-tiba datang dan tak mau pergi. Tiba di pondokan barulah turun hujan padahal belum sempat kami mendirikan tenda. Akhirnya kami tiba di Ranu Kumbolo..... Ranu Kumbolo yang berkabut.. Ranu Kumbolo yang dingin.. Ranu Kumbolo yang romantis..
bersambung ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar