24 Desember 2010

Wisata Bukit Kelam yang Bernasib Kelam




Alkisah suatu hari ada seseorang bernama Bujang Beji. Postur tubuhnya besar tinggi, menyeramkan, dan memiliki banyak bulu. Dia hendak meminang seorang putri keraton Sintang yang bernama Dara Juanti. Namun saat itu Putri Dara Juanti sedang berduka karena saudaranya laki-lakinya meninggal sehingga pinangan Bujang Beji pun ditolak. Dia pun marah. Lalu dia pergi ke Kapuas Hulu untuk bertapa. Sang putri bingung dengan apa yang dilakukan oleh Bujang Beji. Ia pun mengamatinya dengan kekuatan magis. Barulah ia tahu bahwa Bujang Beji hendak mengangkat sebuah bukit batu besar untuk menutup muara Sungai Melawi di daerah kekuasaan sang putri.
Demi menggagalkan Bujang beji dalam mengangkat bukit tersebut, Putri Dara Juanti menyuruh putri-putri kahyangan untuk menggoda Bujang Beji. Mengetahui hal tersebut membuat Bujang Beji marah. Ia lalu bertapa membuat tangga ke kahyangan. Ia ingin membuat perhitungan dengan mereka. Ketika hendak sampai atas, tangganya dimakan rayap. Ternyata ia lupa belum memberi sesaji kepada rayap. Gagallah rencananya tersebut.
Ia pun mengangkat bukit itu lagi. Kali ini Dara Juanti yang menggodanya. Ia sibakkan roknya dan memperlihatkan pahanya yang putih tanpa noda kepada Bujang Beji. Bujang Beji lalu meletakkan bukit yang diangkatnya dan mengejar sang putri. Setelah itu baru ia sadar bahwa ia telah dikuasai oleh hawa nafsu. Ketika hendak mengangkat bukit itu lagi, ia sudah tak sanggup. Maka keberadaan Bukit Kelam itu masih menjadi legenda hingga sekarang.
Itulah sedikit paparan singkat versi sejarah yang saya dengar dari Bang Edy, salah seorang dari Dinas Pariwisata Sintang saat mengantar saya ke Bukit Kelam. Saya mendengar cerita itu saat berada di sebuah pendopo pengamatan bukit di kejauhan. Setelah bersitirahat sebentar kami baru menuju ke bukit tersebut.
Sepi… Itulah suasana di depan pintu masuk tempat wisata. Tak Nampak ada geliat penjagaan ataupun wisatawan yang ada di dalamnya. Hanya beberapa orang penduduk lalu lalang di jalan depan tempat wisata. Di pagar semen bagian depan tempat wisata tertera cerita legenda Bukit Kelam dalam bentuk relief. Di dalamnya? Sepi dan terbengkalai. Sangat berbeda dengan yang tertulis dalam buletin pariwisata Kalbar yang saya dapatkan ketika di Bandara Supadio.
Untuk naik ke atas bukit, saya harus melewati jalan setapak yang dilengkapi trap-trap semen. Lumayan melelahkan. Untung saja pemandu wisata saya sangat menyenangkan dan komunikatif. Di atas saya sempat bertemu dengan sekumpulan anak muda yang baru turun kemah. “Kasihan ya, ga ada gunung seperti di Jawa,” pikir saya. Lalu ada air terjun (Cuma batu doang sama air seuprit, hiks) dan juga goa kelelawar yang bau pesingnya sangat menyengat. Kami tidak naik sampai ke atas bukit karena permasalahan waktu. Kabarnya di puncak ada banyak sarang walet. Tentu sarang ini ada yang menjaga dan memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi.
Menurut saya, walaupun bukit ini fenomenal—kabarnya ini merupakan bukit batu terbesar di dunia— jika tidak dikemas dengan menarik tentu tak akan banyak menarik minat pengunjung. Sejujurnya saya tidak “menemukan” apa-apa di bukit ini selain cerita dan keterbengkalaian. Hehe… Maaf ya Sintang.

Kemegahan Museum Kapuas Raya


Masih di Sintang untuk hari ketiga. Tujuan saya selanjutnya adalah museum Kapuas Raya. Saya membayangkan akan menemui kondisi yang sama seperti museum-museum yang pernah saya kunjungi di Jawa. Perjalanan dari Sintang ke museum ini sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja jalannya rusak, sehingga memperlambat laju kendaraan dan tentu saja mengocok perut saya. Akibatnya, saya muntah di selokan depan museum.

Megah.. Itulah kesan saya pada pandangan pertama (meski masih mual), bahkan sangat megah mengingat di sekitar tempat itu rumah penduduk biasa-biasa saja, dan masih banyak hutan. Mungkin ini seperti oase di tengah gurun pasir (lebay ga sih). Dan bayangan saya saat hendak berangkat lagi terpatahkan oleh kenyataan di depan mata.
Saya pun melangkah menuju pintu masuk museum. Di sana sudah menunggu seorang wanita muda (maaf, saya lupa namanya) yang nantinya akan menjelaskan isi museum kepada kami. Dia tersenyum sangat ramah menyambut kami, lalu membantu kami berfoto di depan pintu masuk. Dia memulai penjelasannya dari sini karena di pintu masuk dipasang tiga benda yang menunjukkan keberadaan tiga etnik besar di Sintang, yakni Tionghoa, Melayu, dan Dayak.

Selanjutnya kami diajak melihat foto-foto mengenai kegiatan sehari-hari suku-suku tersebut yang ada di lorong museum, lalu berlanjut ke ruang-ruang berikutnya. Menurut informasi, museum yang baru diresmikan 11 Oktober 2008 lalu ini memiliki sekitar 600 objek koleksi, seperti lukisan, benda-benda dari kayu, tembaga, tulang, ukiran, batu, keramik, dan perak.
Bangunan museum seluas 25x50 m2 tersebut memiliki tiga ruang utama: pertama, ruang sejarah yang berisi tentang sejarah kapan Sintang didirikan; kedua, ruang kebudayaan yang berisi tentang irama kehidupan tiga etnis besar mulai dari kelahiran sampai kematian; dan ketiga ruang tenun ikat yang berisi berbagai macam motif kain tenun ikat dan teknik pembuatannya (ditampilkan dalam dokumenter audio visual).
Sayangnya saya hanya sebentar di sana karena jadwal perjalanan yang begitu padat. Tapi saya sangat menyarankan siapapun yang di/ke/dari Sintang untuk mengunjungi museum ini. Museum ini keren! Gratis lagi. Yuk ke museum!
FYI:
Museum Kapuas Raya, Jl. Sintang-Putussibau Km 14, Kalimantan Barat
Waktu kunjungan:
Senin s.d. Jumat pukul 08.00 – 15.00 WIB
Sabtu dan Minggu pukul 09.00 – 15.00 WIB
Hari libur nasional TUTUP.

21 Desember 2010

Petualang ACI Macam-macam Rupa


Kalau ada sekelompok orang yang terdiri dari anak-anak muda gokil, jail, gratil, aneh, sok imut, urakan, tapi juga plus pinter, kreatif, berwawasan dan selalu berpikir positif, itu pastilah Petualang ACI. 66 orang petualang yang lahir dari sebuah hajatan besar detikcom, Aku Cinta Indonesia.
Komunitasnya sih biasa-biasa aja, maksudnya ngga ada anak pejabat tingginya gitu loh. Tapi justru eksis karena berasal dari segala kalangan dan dari seluruh penjuru tanah air. Petualang ACI menjadi begitu bhineka dengan segala kekhasan serta keberagaman cara berpikir dan bertingkah laku. Namun perbedaan yang ada tidaklah menjadi persoalan bagi mereka. “berbeda bukan berarti tak sama” kata mereka. “ibarat pelangi, warna berbeda justru saling melengkapi, memiliki peran yang sama”.
Keberagaman yang rupa-rupa memang. Sebut saja misalnya Petualang ACI yang dewasa (Agus), yang masih anak-anak (Juput), yang setengah dewasa (Endro), yang setengah anak-anak (Zulvi), yang gimbal (Bhaga), yang pasangannya (Kawanda), yang orang ketiga (Akbar), yang liar (Yudi), yang cunihin (Ewink), yang gila naek gunung (Dede), yang gila gadget (Gilang), yang gila iPad (Heri), yang gila futsal (Ipul), yang gila beneran (Daenk), yang disorientasi (Egir), yang korban (Darto), yang gigih (Gesang), yang gaya tapi banyak disensor (Prama), yang pengamen (Achin), yang pelukis jalanan (Dadang), yang penyair (Harley), yang saudagar (Amad), yang polos (Ayos), yang lebih bernyali (Endi), yang diem-diem tomboy juga (Mahe), yang OKB (Better), yang berbobot (Wahid), yang seniman campur sari (Simbah), yang sok alim (Hadi), yang ngaku-ngaku dayak (Nico Borneo), yang korban bencana (Nico Wijaya), yang pegawai negri (Tata), yang indescribable (Prabu), yang freelance (Calvin), yang kelamaan di aceh (Citra), yang pengen punya agen travel (Topik), yang wartawan tapi gak pernah jalan-jalan (Amir), yang sok seleb (Yuga), yang rajin belajar (Masnur). eh, ada lho Petualang ACI yang udah ikut pemilu enam kali, namanya Mbak Tuti.
Petualang ACI yang cewek juga manis-manis, lucu-lucu, apalagi kalo gelap. Mereka juga ngga kalah beragam, mulai dari yang lagi hamil (Rini), yang lagi puber (Terryna), yang lagi banyak duit (Ucy), yang lagi galau (Ida), yang maskulin (Titis), yang sok imut (Utine), yang pendiem (Sendi), yang -ngerasa- mirip Nadine (Tuteh), yang beruntung (Hanin), yang kurang beruntung (Halida), yang aneh (Nurul), yang jarang muncul (Deewardani), yang gak pernah muncul (Anti), yang rajin menabung (Aci), yang pelupa (Riri), yang TKW (Susan), yang oriental (Diana), yang pengen banget ke jakarta (Jeine), yang ndeso (Alya), yang penulis (Rinda), yang penulis juga (Nonadita), yang anak pesantren (Putri), yang sok eropa timur (Inka), yang suka mandi hujan (Atre), yang mau jadi agen wisata (Bella), yang pengen jadi guru (Desi).
Hmm.. memang beragam ternyata. Tapi bukan berarti ngga kompak, malah mereka kompak banget. Satu dateng semua dateng, satu jalan-jalan semua jalan-jalan, satu makan semua makan, satu pulang semua pulang. Sportif pula. Kalo ditanya, ‘ini coklat siapa..?’ langsung pada ngaku. Kekompakan itu mereka tunjukkan dengan selalu melakukan segala sesuatu bersama-sama. Bagi mereka, mengangkat meja berempat akan terasa lebih ringan daripada mengangkat filing-cabinet sendirian.
Banyak cara bagi mereka untuk terus membina kekompakan. Ada yang dengan membentuk boyband gaya new-kids-on-the-block (Bhaga, Yudi, Ewink, Dede, Endi, Dadang), yang setelah beberapa kali latihan vokal ternyata lebih mirip dengan Masnait Group. Ada pula yang dengan membentuk kelompok belajar online (Egir, Gilang, Amad, Daenk, Zulvi, Mahe, Mbak Tuti, Titis, Hanin, Atre, Tuteh). Nama mereka selalu meramaikan thread-thread di milis ACI dengan pembahasan-pembahasan yang tak pernah final. Bahkan dengan campur tangan Dosen terbang dari Gorontalo sekalipun.
Kelompok lain melakukan kegiatan mulia menolong sesama di daerah bencana (Bhaga, Kawanda, Ucy, Diana, Riri), yang menganggap bahwa kegiatan mereka juga merupakan salah satu bentuk menjaga kekompakan. *yang ini gue gak berani pelesetin, kemanusiaan cuy..*
Beberapa yang lain secara perorangan juga turut andil dalam mempererat persaudaraan. Seperti contohnya Prama yang dengan gayanya secara rutin mengumpulkan temen-temen hanya untuk menceritakan kisahnya di perjalanan. Bahkan sampai ada beberapa Petualang ACI yang hafal betul cerita itu karena telah mendengarnya berulang kali. Lain lagi dengan Harley, yang dengan puisi-puisinya mampu menggugah rasa cinta seseorang.. eh, maksudnya rasa cinta terhadap Indonesia.
Perjalanan Petualang Aku Cinta Indonesia ke tempat-tempat tujuan wisata memang sudah berlalu. Namun kisah-kisah, catatan-catatan dan ingatan-ingatan tentang perjalanan itu masih melekat dan terus menjadi bahan perbincangan setiap kali Petualang ACI berkumpul. Tak akan cukup sepuluh buku tebal untuk menampung cerita mereka. Seakan tak pernah puas, Petualang ACI selalu menyempatkan datang ke suatu tempat untuk kumpul, berbagi cerita, makan, minum, ngomongin orang, mengatur rencana trip selanjutnya, dan pulang..
Memang, sejak awal belum pernah semua Petualang ACI berkumpul secara lengkap. Karena hampir dapat dipastikan, petualang asal Jayapura (untuk tidak menyebut Daenk :p) tidak akan sanggup hadir. Kecuali jika acara kumpul-kumpul itu diadakan di Jayapura. Itupun hampir dapat dipastikan cuma dia yang hadir. Berbeda dengan Agus yang walaupun tinggal di Gorontalo, tapi memiliki daya jelajah yang tinggi. Maklum, meskipun dia seorang dosen, cita-cita sebenarnya adalah menjadi pramugari. Bahkan dia lebih hafal seluk-beluk FX ketimbang anak-anak Jakarta.
Walau sulit, keinginan berkumpul kembali secara lengkap adalah obsesi Petualang ACI. Sehingga bisa bertemu dan mengenal lebih dekat satu sama lainnya, serta tidak ada lagi terdengar kata-kata, “yang pake kaos merah itu siapa sih?” atau “ooo.. ini toh yang namanya (sebutlah) mawar..” atau “yang namanya si A yang mana?” atau bahkan “lu partner gue ya waktu itu?”. Sangat disayangkan bukan?
Menyebut nama-nama Petualang ACI tentu saja tak lepas dari kesuksesan sebuah tim; Indri, Iie, Suhaeng, Ninuk, Ajeng, Izar, dkk. *maaf buat yang ngga kesebut, bukan ngga cinta, tapi ngga kesebut.. :)* yang dengan kerja kerasnya, telah membentuk 66 orang berperilaku menyimpang menjadi lebih menyimpang. Maksudnya, menjadi lebih berkembang, tidak hanya sekedar hobby travelling tetapi juga mampu mengoptimalkan segala aspek dari sebuah perjalanan. Salut deh buat tim detik..! □
-dadang-
tetap sunda, tetap tersenyum, tetap berbuat baik

07 Desember 2010

Menilik Keberadaan Candi-candi di Sidoarjo

Menurut informasi yang saya dengar, di Sidoarjo terdapat enam buah candi. Saya sebagai orang Sidoarjo yang sudah 21 tahun tinggal di sini, jujur belum pernah mengunjungi candi-candi tersebut. Memalukan memang, karena itulah kemarin saat ada kesempatan dan teman, segera saya mengunjunginya. Kami pergi berempat: Hero si baby white, Mas Wahyu, Mba Opay none Jakarte, dan saya dengan mengendarai motor.


Candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Dermo, terletak di Desa Candi Negoro, Kec. Wonoayu, Sidoarjo. Waktu itu saya heran ketika tahu bahwa candi tersebut berada di tengah perkampungan penduduk. Tempatnya tidak luas, hanya 15x15 meter, berpagar kawat (kawatnya difungsikan untuk jemuran pula), dan bersebelahan dengan makam. Tidak ada uang retribusi yang dikenakan untuk pengunjung. Kami hanya disuruh mengisi buku tamu, lalu diberi secarik kertas bertulisan tangan dari Dinas Purbakala mengenai keberadaan Candi Dermo. Candi ini tersusun atas bata merah setinggi 13, 50 m dengan panjang dan lebarnya masing-masing 10,84 m dan 10,77 m. Sisa lahan yang ada ditanami rumput dan beberapa bunga, sekaligus menandakan tempat ini masih terawatt. Sampai saat ini belum dapat diketahui kapan dan oleh siapa candi ini dibangun. Namun, diperkirakan berasal dari abad ke-14 M.

Candi kedua ternyata berbeda dari Candi Dermo. Candi ini hanya berupa tumpukan bata merah. Namanya Candi Medalem. Candi yang ditemukan tahun 1992 oleh Pak Tamaji ini diperkirakan sebagai tempat pembakaran atau mungkin fondasi candi. Tidak ada data pasti mengenai hal ini. Menurut informasi lagi, tataan batu bata merah ini memanjang sampai puluhan meter. Hanya saja kini bata-bata itu sudah terkubur di bahawa pohon-pohon pisang dan rumah penduduk. Nasib candi ini sungguh tragis karena tidak terawat dengan baik. Meski sempat ramai sejak candi ini ditemukan, kini candi ini terlantar tanpa penjaga dan tanpa pengunjung. Kini hanya satu dua orang saja yang datang ke sana, tidak untuk melihat candi, tetapi untuk mengambil air yang dianggap ajaib dari sumur tua di dekat candi. Pengunjung yang datang sebaiknya aktif bertanya kepada penduduk sekitar agar memperoleh informasi karena tidak ada papan informasi si situ. Bahkan papan larangan untuk tidak merusak situs pun sudah rusak dan berkarat.

Selanjutnya kami mengunjungi kompleks Candi Pari dan Candi Sumur yang lumayan terkenal. Letaknya di Dusun Candi Pari Wetan Kecamatan Porong, Sidoarjo. Saya tidak bisa mengeksplor terlalu banyak karena sedang hujan lebat dan tak seorangpun menjaga di sana. Pintu pagar Candi Pari saat itu tertutup, tapi saya masih bisa masuk ke area candi. Halaman/ taman candi ini lumayan luas dan tertata apik dengan rumput dan bebungaan. Langsung saja saya masuk ke dalam bangunan candi. Masih sama seperti candi-candi sebelumnya, candi ini disusun dari bata merah. Badan candi ini memiliki panjang dan lebar 7,80 m dan tinggi 6,30 m dengan atap menyatu dan dihuni beberapa kelelawar. Berbeda dengan Candi Pari, Candi Sumur yang berada 50 meter di dekatnya tampak tidak terlalu terawat meskipun masih bagus. Candi Sumur ini memiliki panjang 8 m, lebar 8 m, dan tinggi 10 m dan keberadaannya dihubungkan dengan Candi Pari.
Kedua candi tersebut diperkirakan dibangun pada abad ke-14 M, semasa dengan pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Selain itu kedua candi dianggap sebagai simbol kemakmuran Kerajaan Jenggolo (sekarang Sidoarjo) pada masa itu. Bahkan, Jenggolo disebut-sebut sebagai lumbung pangan untuk Majapahit. Pengunjung bisa dengan puas membaca sejarah candi yang tertulis di papan informasi.


Candi berikutnya lebih tragis lagi. Subut saja Candi Pamotan, terketak di Desa Pamotan kecamatan Porong. Lebar pintu masuk area candi hanya satu meter. Di sebelah kiri jalan ada kebun pisang dan kandang bebek yang hanya dipisahkan dengan pagar kayu. Candinya sendiri hanya berupa tumpukan bata merah karena atap dan badan candi sudah runtuh. Jika musim hujan, area candi ini akan tergenang hamper satu meter karena bangunannya yang menjorok ke bawah. Candi ini belum bisa dikatakan sebagai peninggalan kerajaan Majapahit meskipun tercatat bahwa candi ini berada di Negara daerah penting pada zaman Majapahit. Untuk informasi, tidak ada retribusi masuk. Namun, pengunjung bisa memberi uang sukarela kepada Ibu Lilik, penjaga candi, yang bertugas mencatat siapa saja pengunjung yang datang.

19 November 2010

JPers Surabaya Pindah Profesi Menjadi Tukang Sate



Rasanya sudah lama sekali JPers Surabaya tidak berkumpul bersama ramai-ramai. Saya sudah rindu. Yang saya rindukan memang bukan pacar, melainkan teman bermain, berkumpul, dan berbagi duka-tawa. Kalau saya ingat-ingat, dulu kami sering sekali berkumpul bersama walaupun Cuma sekadar cangkruk nggak jelas di pelataran FT Unesa.

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kabar bahwa salah seorang dari kami, yakni mas Kohan, akan pindah dari Surabaya untuk mengejar hidup yang lebih baik. Wah.. JPers Surabaya bakal kehilangan salah satu personel nih. Saya berada di antara rasa kehilangan tapi juga senang. Siapa sih yang nggak senang kalau temannya sukses? Ya saya hanya bisa berdoa semoga yang terbaik buat teman-temanku. Amin.
Kebetulan sekali lebaran Idul Adha datang. Saya pun berinisiatif mengajak mereka berkumpul di rumah untuk nyate bareng dalam rangka kumpul bareng dan melepas Mas Kohan bekerja di luar Jatim. Pinginnya sih ramai-ramai, tapi apa daya, saya takut juga kalau misalnya persediaan daging terbatas. Jadi yang diundang hanya lima orang. Tapi sayang pas hari H, salah seorang tak datang, jadi tinggal empat orang. Tak apalah. Meskipun cuma empat orang, rumahku yang sempit itu sudah terasa penuh.

Saya bertugas motongin daging, Mas Kohan dan Mas Fahad yang menusuk-nusuk, Mas Doi tukang kipas-kipas, dan Mas Wahyu tukang foto. Alhasil sate kami berhasil tersajikan di meja walaupun sudah banyak yang dimakan saat nyate. Huuuuu….! Makanan yang sudah tersaji di meja pun segera kami serbu. Mas-mas itu sampai nambah lagi sepiring. Sate pun lenyap, tinggal tusukannya. Gulai tinggal sedikit. Setelah itu mereka tepar kekenyangan di teras rumah.
Terima kasih buat ibundaku yang sudah menyiapkan bumbu untuk bakar sate, bumbu makan sate, rujak buah, es teh, nasi, dan sepanci gulai kambing. Maafkanlah anakmu ini yang membawa bala tentara penghabis makanan ke rumah (hehe..). Dan terima kasih Ibu telah dengan senang hati menerima Mas-masku ini.

Hutan Primer di Tengah Kota, Kenapa Tidak

19 Oktober 2010
Hari kedua perjalanan tim 29 ACI Detikcom
Menurut jadwal dari panitia, hari ini kami akan terbang ke Sintang pukul 13.00 WIB. Meski begitu kami tidak bermalas-malasan di pagi hari. Kami sibuk dengan tulisan dan foto yang harus kami publish ke web ACI. Sekadar informasi, panitian ACI mengharuskan setiap tim untuk mengirimkan dua cerita dan sepuluh foto setiap harinya. Sekalian saya menyelesaikan tugas kuliah –analisis cerpen Seno Gumira- yang harus segera saya kirimkan ke email dosen pengampu mata kuliah tersebut. Tapi otak saya benar-benar “butek” kala itu. Jadi saya mengerjakannya asal-asalan. Asal selesai, asal terkumpul. Maafkan saya, Pak N***d.

Penerbangan dengan Kalstar
Menjelang siang, saya dan partner melaju ke Bandara Supadio. Biaya taxi dari Hotel 95 sampai ke bandara adalah Rp70.000,-. Penumpang pesawat Kalstar (nama maskapai penerbangan dari dan ke Sintang) tidak banyak. Mungkin sekitar 20-an. Tempat duduk ketika di dalam pesawat pun suka-suka. Siapa cepat dia dapat. Kebetulan waktu itu saya masuk belakangan, tinggal kursi paling depan saja yang kosong. Untungnya dekat jendela, jadi saya bisa menikmati pemandangan alam Kalbar dari ketinggian.
Kondisi saat itu sedang berawan. Pesawat kecil itu agak bergetar-getar naik turun. Jujur saya takut. Tapi Alhamdulillah semua berakhir dengan menyenangkan, selamat sampai tujuan dalam waktu satu jam. Bahkan teman saya sangat senang dengan maskapai ini karena pramugarinya masih muda, cantik, dan seksi. Info mengenai maskapai Kalstar bisa dilihat di sini.

Hutan Primer Tengah Kota
Setibanya di Bandara Susilo, Sintang, pukul 14.00, kami langsung disambut guide dari Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu (Kompakh). Ada Bang Hermas dan Bang Darius. Merekalah yang akan menemani perjalanan kami selama 12 hari. Setelah itu kami langsung diantar ke Hotel Sakura (salah satu hotel paling bagus di Sintang yang menurut saya nggak bagus-bagus amat) untuk berisitrahat sebentar.
Menjelang sore barulah kami mulai jalan-jalan. Yang kami tuju adalah Hutan Wisata Baning, hutan primer seluas 215 ha di pusat kota Sintang. Sebelum ke sana saya membayangkan akan berjalan melewati setapak tanah. Karena itulah saya sempat bertanya kepada guide harus memakai sepatu atau sandal, dan mereka menjawab lebih baik pakai sepatu. Namun, setelah di sana bayangan saya tadi hancur. Bukan setapak tanah yang saya lewati, melainkan jembatan kayu selebar 80 cm yang memanjang dari start sampai finish di seberang hutan nanti. Jembatan ini dibuat karena ini merupakan hutan gambut, sehingga tanahnya selalu basah. Bang Edy, salah satu guide dari Komunitas pariwisata Sintang (Kompas) mengatakan tempat ini sering digunakan untuk jogging track, tempat belajar siswa, dan yang paling tidak menyenangkan adalah tempat untuk pacaran. Memang, tepat di tengah hutan, jembatan ini bercabang dua ke kanan dan kiri (membentuk perempatan) yang di ujungnya terdapat gazebo yang bias difungsikan untuk berbagai jenis kegiatan.
Selain itu, para guide juga menjelaskan beberapa fungsi tumbuh-tumbuhan, baik untuk kesehatan maupun kerajinan. Di hutan ini kami juga menemui banyak sekali sarang semut berbentuk bulat penuh sebesar bola sepak, tupai, serta suara burung-burung. Menarik memang, sayangnya aset wisata Sintang ini tidak dikelola dengan baik sehingga tampak terbengkalai, banyak sampah, dan atap gazebonya rusak di sana-sini. Kalau rusak dan kotor siapa coba yang mau datang?

Makan Malam di Tepi Kapuas

Malam harinya kami makan malam di RM Terapung Saka 3. Letaknya di Jalan Pangeran Muda, Kelurahan Tanjung Puri, Kecamatan Sintang (Komplek Rumah jabatan Bupati Sintang). RM ini terapung di tepi Sungai Kapuas. Jelas saja ikan-ikan yang disajikan pun hasil dari Sungai Kapuas. Ikan yang saya rekomendasikan adalah ikan bawal sungai, dan minumannya adalah es lidah buaya. Sedaaappp!! Yang tidak menyenagkan waktu itu adalah penyediaan makanan yang sangat lama karena terlalu banyak pembeli. Lebih dari sejam kami menunggu, dan makanan itu habis dalam waktu sekejap. Inilah pembalasan orang-orang yang kelaparan. Haha….

16 November 2010

Meraih Mimpi di Kota Khatulistiwa


18 Oktober 2010

Bersama Gigih, Amir, dan Diana, pukul 04.00, aku melaju ke terminal 2F Bandara Soekarno Hatta. Amir dan Diana satu penerbangan dengan kami ke Pontianak. Mereka adalah tim Kalbar 1 yang akan menjelajahi beberapa tempat wisata di daerah hilir, sedangkan aku dan Gigih di daerah hulu Kapuas. Tim Kalbar 1 dan tim Kalbar 2 berpisah di Bandara Supadio, Pontianak, untuk menuju tempat wisata masing-masing. Hari ini aku dan Gigih tidak ditemani oleh seorang guide. Kami baru didampingi guide pada hari kedua. Namun, kami tetap harus menuju tempat yang sudah dijadwalkan oleh panitia, yakni Saham Long House. Saatnya kami meraih mimpi di kota Khatulistiwa. Semangaatt!!
Oiya aku lupa bilang bahwa Pontianak itu PANAS, mungkin karena kota ini dilalui garis Khatulistiwa. Welcome to the hot city, hehehehe....


Mampir ke Tugu Khatulistiwa
Demi kemudahan dan kenyamanan, kami menyewa sebuah mobil dari Pak Samad. Biaya sewanya Rp500.000. Dalam perjalanan ke Saham Long House kami melihat sebuah bangunan/ tugu yang sudah akrab di pandangan mata.
“Itu tugu khatulistiwa, Pak?” Tanya Gigih kepada Pak Samad.
“Iya itu tugu khatulistiwa,” jawab Pak Samad kemudian.
“Pak mampir sebentar ya,” timpal Gigih.
Tugu Khatulistiwa
Belajar dari Museum
Kemudian mobil avanza biru itupun segera memasuki pelataran Tugu Khatulistiwa. Tempatnya tidak terlalu ramai, hanya terlihat beberapa pengunjung saja di sana. Di tempat ini pengunjung tidak ditarik biaya masuk. Pengunjung hanya disuruh mengisi buku tamu. Perlu diketahui bahwa bangunan museum Khatulistiwa ini berbentuk segi delapan. Bangunan dalamnya berbeda dari bangunan luar yang tampak tidak menarik. Ruangan bersegi delapan itu ditata sedemikian apik dengan tugu khatulistiwa tepat di tengah-tengahnya. Di dinding-dinding dipasang tulisan sejarah tugu khatulistiwa, foto-foto, dan beberapa info mengenai Kalimantan Barat. Info selengkapnya mengenai Tugu Khatulistiwa bisa dibaca di sini.
Selain itu, di bagian luar terdapat sebuah taman yang luas dan agak asri. Kemarin saat kami sedang berkunjung ke sana, tempat itu digunakan untuk tempat foto pre wedding oleh sepasang manusia. Mau mencari alternative tempat foto pre wed? Datang saja ke Tugu Khatulistiwa!

Saham Long House
Saham Long House
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah betang Saham. Rumah ini terletak di Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, 120 Km dari kota Pontianak, tidak jauh dari jalan raya Pontianak-Kuching. Kami sempat salah jalan waktu itu sehingga pak sopir minta tambah Rp150.000,-. Apa mau dikata, sudah terlanjur jalan, jadi kami pun sepakat dengan permintaannya. Dan sebenarnya ini salah kami yang kurang jelas memberi informasi di mana letak rumah Saham tersebut.
Setelah tersasar, perjalanan kami diiringi hujan lebat, lalu disusul pohon tumbang. Sudah jauh, jalan berkelok-kelok, banyak halangan pula. Aaarrggghhh…!! Demi ACI, demi Indonesia kami rela! Dan akhirnya kami pun bisa melihat rumah betang yang katanya sudah ada sebelum letusan Krakatau tahun 1883.
Pertama melihat rumah itu aku tercengang. Tiang-tiang penyangganya sangat tinggi. Tak tampak geliat kehidupan di sana. Awalnya kukira tak ada penghuni di dalam rumah itu. Tapi setelah menaiki tangga setinggi tiga meter, aku menemukan seorang bapak tua, Paulus Ngidar (83), yang menjelaskan banyak hal tentang rumah ini, termasuk ketidakpedulian pemerintah untuk merenovasi rumah betang yang sudah rapuh setelah mengangkatnya menjadi salah satu tujuan wisata Kalbar.
Menurut informasi, rumah betang Dayak Kanayan ini adalah yang terpanjang di Kalimantan Barat. Sedangkan rumah betang tertua akan kami kunjungi beberapa hari lagi. Rumah ini awalnya hanya terdiri dari tiga bilik, lalu terus berkembang hingga kini terdapat 34 bilik (34 KK). Saat itu rumah betang terlihat sangat sepi, mungkin penghuni rumah sedang pergi ke ladang. Karena keterbatasan waktu kami harus segera kembali ke Pontianak. Perjalanan yang dimulai sejak pukul 10.00 pagi itu berakhir di Hotel 95, Pontianak, pukul 20.00 WIB.
Tentang Hotel 95
Untuk para traveler berkantong tebal mungkin bisa menginap di hotel manapun. Tapi untuk backpacker yang biasanya berpetualang hemat biaya biasanya mencari hotel murah meriah. Hoel 95 saya sarankan untuk Anda. Letaknya di pusat kota, hanya 25 menit dari Bandara Supadio, dan 10 menit dari pelabuhan, dengan menggunakan mobil. Hotel ini berlokasi di Jalan Imam Bonjol No. 95, Pontianak, Kalimantan Barat. Harga kamar standarnya hanya Rp160.000. Memang sih kasurnya kurang nyaman, tapi ada free hotspot. Dan itu yang kami cari kemarin.