Foto-foto lain bisa dilihat di sini.
Sekadar menoleh sedikit ke belakang, meruntut memori yang semakin hari semakin tertutup oleh peristiwa-peristiwa baru. Mencecap kembali wangi persahabatan yang dulu semerbak di bawah perdu pinus lalu tertiup semilir, berbaur dengan wangi edelweiss di puncak itu.
JPers dan Natrek |
Bersama seorang teman dari Jogja, dua orang teman dari Sidoarjo, dan enam orang dari Jakarta , aku mulai pendakian. Itu adalah pendakian ketigaku di gunung tersebut, tapi posisiku pada dua pendakianku sebelumnya masihlah seorang yang baru kenal gunung, belum tau banyak, dan tidak bisa bercerita banyak. Berbeda dengan pendakian kali ini, aku seperti menemukan jiwaku, kesenanganku, juga pengalaman yang teramat mengesankan yang dapat aku bagi kepada orang lain.
Perjalanan ini dimulai tanggal 17 sore dari Pos Pak Tompul dan bermalam di Kokopan (Pos II). Tujuan awal kami sebenarnya adalah Pondokan agar dini hari nanti bisa mengejar sunrise dari puncak Welirang. Namun, apa daya, kelelahan yang diakibatkan jalanan makadam itu memaksa kami beristirahat panjang. Hari pun sudah menjadi gelap dan dingin. Mendaki di malam hari tentu tak akan mengasikkan. Pesona sekitar tersembunyi dalam gelap serta minim oksigen karena di malam hari pepohonan mengeluarkan karbondioksida. Jadilah malam itu kami menikmati Kokopan dan gemerlap kota di bawah sana .
Hari kedua kami segera beranjak ke Pondokan. Target hari ini adalah puncak Welirang agar esok hari bisa ke Arjuna. Masih kuingat hari itu tenggorokanku serasa dikerontangkan terik matahari. Kurasa pepohonan mulai tak rapat dan jalan makadam semakin panjang. Sungguh berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya ketika aku ke sana : belum ada macadam di jalan menuju Pondokan. Jalanan itu dulu masih setapak di antara banyak pepohonan dan rimbunan, becek kalau hujan, dan kering saat kemarau. Hutanku saying hutanku malang .
Sekitar pukul 14.00 sore kami tiba di Pondokan (Pos III). Syukur kami panjatkan kepada Pemilik Alam. Lalu dengan beberapa cemilan, air minum, dan senter kami bergegas ke puncak. Berharap tidak kemalaman di jalan dan bisa kembali dengan selamat. Lelah menggelayuti tubuh kecilku. Setiap tanjakan terasa sangat berat kulewati hingga seorang teman harus rela menjadi korban untuk menarikku. Maaf ya…. Jengkal demi jengkal terlampaui, kami semakin dekat dengan puncak berasap belerang itu. Beberapa pendaki sudah mulai turun, tapi kami masih saja terus mendaki. Sedikit lagi sampai, itu yang ada di benakku. Dan entah mengapa sebuah kekuatan besar tiba-tiba datang dan dapat membuatku berlari mengejar puncak itu. Kugapai pucak Welirang dengan sempurna bersama teman-temanku. Subhanallah.
Mengabadikan setiap momen sudah menjadi ciri khas pendaki. Apalgi yang dapat kami ambil selain bingkai kenangan yang dapat kami lihat kembali di masa mendatang. Sungguh indah puncak itu, apalagi ditambah luberan warna senja yang membias ke dalam kawah, pasir, dan bebatuan. Mahakarya luar biasa dari Maha Indah.
Hari ketiga, sebelum subuh kami sudah siap merealisasikan impian berada di puncak Arjuno. Sempat tersasar ke arah kanan dari setapak yang menuju Lembah Kijang. Untung ada pendaki lain yang memberitahu kami arah jalan yang benar. Fisik kami sudah demikian terkuras malam tadi. Tidur yang hanya sesaat itu tidak mampu mengembalikan stamina seperti semula. Kalau bukan karena indahnya pesona Arjuno sepanjang perjalanan mungkin kami urung ke sana . Bebungaan putih terhampar di riuhnya pohonan, kabut putih berpamitan seiring datangnya sinar pagi, langit membiru ceria menyemangati kami. Perlahan tapi pasti, dan akhirnya puncak itupun dapat kami sambangi. Kami berbagi haru dan ceria bersama pendaki-pendaki lain. Tak lupa memotong pesonanya agar dapat kumasukkan saku sebagai cinderamata pelipur rindu.