31 Januari 2011

Keluh Masyarakat Dayak Desa



Tempat yang saya kunjungi berikutnya adalah rumah betang Ensaid Panjang. Letaknya di dusun Rentap Selatan. Jalan menuju tempat ini rusak parah dengan kanan kiri perkebunan penduduk dan bukit-bukit. Rumah panjang ini dihuni oleh suku Dayak Desa (“e” pada Desa seperti “e” pada kata depan).

Bentuk rumah betang ini hampir sama dengan betang yang saya kunjungi saat di Pontianak. Hanya saja penghuni rumah ini lebih ramai, mulai dari balita sampai orang tua. Data menunjukkan bahwa rumah ini dihuni oleh 26 KK (105 jiwa). Geliat keramaian penghuni betang ini semakin terlihat di malam hari ketika dua buah televisi yang ada di ujung timur dan selatan rumah betang dihidupkan. Para penghuni rumah bersama-sama menonton acara tv yang mereka sepakati. Biasanya tontonan ibu-ibu adalah sinetron, sedangkan tontonan para pria adalah berita atau bola.
Keramaian semakin terlihat ketika seluruh penghuni betang berkumpul untuk menyaksikan tarian sambutan untuk kami. Penarinya adalah gadis-gadis usia belasan, sedangkan pemusiknya adalah para pria dewasa. Mulai dari yang muda sampai yang tua bergabung menjadi satu, tertawa bersama, dan sebagian memandangi kami seolah ingin tahu. Saya hanya bisa tersenyum karena sebaguan besar dari mereka tidak mengerti bahasa Indonesia. Jika hendak bertanya-tanya saya hanya bisa mengandalkan guide lokal.
Menarik bukan? Lalu apa yang mereka keluhkan? Banyak! Ya, banyak hal yang sebenarnya mereka keluhkan. Hanya saja mereka masih bisa bersabar menghadapinya. Petama adalah masalah listrik. Siapa yang bisa nyaman tanpa listrik? Ketika orang lain di luar sana bisa hidup “terang” kenapa mereka tidak? Untuk menghidupkan dua buah tv dan beberapa bohlam 5 watt mereka harus mengggunakan genset. Sinyal? Jangan ditanya! Saya sudah menggantungkan hp di tiang depan rumah tapi tetap gagal mendapatnkan sebalok sinyal.
Kedua, yakni masalah kelayakan tempat tinggal. Awalnya saya bertanya-tanya mengapa mereka bisa begitu tahan hidup dengan kondisi seperti ini: jalanan rusak, rumah mulai rusak, tanpa listrik, dsb. Ternyata, mereka pun sudah ingin pindah dan membangun rumah baru yang lebih layak tapi oleh pemerintah daerah disarankan untuk tetap tinggal di situ. Keberadaan mereka di situ diharapkan dapat menjaga keutuhan rumah betang agar tetap terawat. Jika rumah betang ini tanpa penghuni maka keadaan rumah akan berubah sebaliknya, dan tentu saja wisatawan akan malas mengunjunginya. Namun, pemerintah daerah tidak banyak membantu masalah renovasi agar rumah betabg tersebut lebih layak huni. Sampai saat ini harapan itu masih tetap sebuah harapan. Harapan orang kecil yang lebih sering –mungkin selalu- disepelekan, entah sampai kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar