Judul postingan saya itu hasil jiplakan.
Judul ini pernah dipakai oleh seorang teman untuk menceritakan cinta di blognya. Sekarang giliran saya, tapi
tidak untuk membicarakan cinta. Memang ya idealisme itu kadang menyebalkan.
Tapi saya juga tidak bisa menyebut itu idealisme. Saya ragu.
Syahdan, tibalah saatnya bagi mahasiswa
untuk mencari tampat PKL. Benyak mahasiswa yang sudah mulai memilih-milih mau
ber-PKL di mana. Ada yang di Jawa Pos, JTV, Radar Surabaya, Sindo, Arek TV, SBO
TV, dsb. Namun semua itu menjadi percuma karena dosen koordinator PKL tidak
masuk beberapa minggu. Buntu. Beberapa mahasiswa mulai melobi media massa
melalui ‘orang dalam’, termasuk kelompok saya karena ada salah satu anggota
kelompok yang punya teman di JTv.
Tiba waktu pertemuan di Graha Pena hari
Minggu. Pukul 11.00 siang, yang juga jam pertemuan, saya masih di kamar, mengotak-atik
hp yang menyambungkan saya dengan internet. Saya tidak datang. Dan ketika
ditanyai kapan bisa kumpul untuk membahas hal tersebut, saya menjawab, “aku ga
jadi ikut, aku mau cari tempat PKL lain”. Keputusan ini sempat merisaukan saya
beberapa hari sebelumnya. Benar atau
salahnya keputusan ini tak bisa saya tentukan sekarang.
Di mata orang lain saya akan terlihat
bodoh. Sudah ada jalan yang teramat mudah untuk saya bisa ber-PKL di JTV, saya
malah mangkir, mencari jalan yang sulit di tempat lain yang belum tentu menerima.
Di saat saya masih mencari, mereka sudah mulai bekerja. Saya punya dua alasan
untuk menjawab kebodohan saya itu.
Pertama, hati saya tidak mengatakan “Ya”
untuk program kerja yang ditawarkan. Saya ingin sekali magang sebagai wartawan
ataupun editor. Kalau saya mau di JTV, saya hanya akan bekerja untuk satu
program yang tayang seminggu sekali. Keinginan hati saya tidak terpenuhi.
Kedua, saya tidak mau terlalu bergantung pada orang lain. Saya ingin memenuhi
hasrat saya dengan segenap kemampuan yang mampu saya kerahkan. Saya tidak
menganggap itu buruk karena mungkin suatu saat pun saya akan mengandalkan
‘teman’. Tapi kali ini saya benar-benar ingin berusaha sendiri semaksimal
mungkin.
Saya tahu mereka jengkel. Hal itu saya
biarkan tanpa penjelasan. Paling saya hanya basa-basi sederhana. Yang paling
membuat saya kecewa adalah ketidakpedulian seorang sahabat (yang juga di
kelompok itu) kepada saya. Sebagai salah satu orang terdekat, saya berharap
mendapat dukungan dan pengertian tanpa perlu penjelasan. Katanya sahabat itu
bisa saling mengerti hanya dengan berpandangan, tanpa kata-kata. Kenapa kami
tidak? Dan lagi hati ini tambah sesak ketika perlahan dia menjauh dan berubah
sikap. Asli, saya sangat kecewa. Dia tak bertanya, saya pun tak hendak
bercerita. Idealisme yang saya pertahankan, idealisme kampret!
Sidoarjo, 25 Oktober 2011, pukul 23.23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar