29 November 2020

Menelaah Rasa

    Duduk berselonjor kaki aku dengan punggung bersandar pada sebatang pohon. Menerawang mata menelaah kata-kata dan rasa. Seperti kabut, berpendar tanpa arah bersama angin yang meniupnya. Terbang ke sudut-sudut lembah, bersembunyi ke kedalaman jurang, hingga bertahta di pucuk cemara. Begitu juga hatiku yang tiada tentu arah. Kaki yang berselonjor itu kugerak-gerakkan juga. Beberapa dempul tanah sisa perjalanan panjang yang menempel di sol jatuh ke tanah. Lepas sudah, kembali ke tempatmu bermula. 

    Terpejam mata, kurasakan datangnya titik-titik air pada kabut yang dibawa angin. Dinginnya menembus hidung dan pipi. Dingin kurasakan perlahan semakin dalam hingga singgah di dada. Sesak, sesak kurasa. Dua tangan yang sedari tadi diam bersilang di depan dada, kini kulepas dan bergerak memukul dada. Dug dug dug suaranya. Ingin kugetarkan sesak itu biar runtuh tapi nyatanya tak tersentuh. Jauh.

    Kini aku tahu kenapa adegan memukul dada seringkali muncul dalam film-film di televisi. Kupahami mereka yang ingin memecah lara biar meletup menerjang keluar. Sulit bukan main. Sakitnya pukulan tangan itu tak jua mampu menembus dasar rasa sakit. Sebegitu dalamnyakah sesak menyusup hati?

    Nafas berat kutiupkan. Kubuka mata dengan kepala yang masih bersandar pada batang pohon keras ini. Kosong. Kosong dan sepi. Bahkan kabut pun telah pergi. Kucoba berdiri lalu mengedarkan pandang ke sekeliling. Sedikit kelabu. Tapi di satu sisi langit, tebalnya awan-awan hujan, tak mampu sembunyikan cahaya senja. Ternyata sebentar lagi malam.

    Aku pulang. Aku akan selalu pulang. Meski malam, hutan itu akan tetap kuterjang bersama hati yang telah lebih dulu menggelap pekat.

Hidup Kita

Kuingat kembali percakapan kita di bawa pinus-pinus tinggi

Tentang hari di mana semua bermula

Tentang harapan yang sesekali dipatahkan keadaan


Pada akhirnya kita kembali di sini

Memaknai kabut yang pergi dan datang

Seperti halang rintang kehidupan yang tak jua kelar


Kita tak mengerti, hanya terus menjalani

12 November 2020

Catatan Pendakian Gunung Arjuno Welirang Kembar Jalur Sumber Brantas Batu Cangar

    Sudah lama sekali rasanya saya tidak merasakan sensasi rasa ini. Rasa di mana kamu seperti telah membuang jauh segala masalah yang ada di hidupmu. Bahkan beberapa lama setelah pulang, rasa itu masih ada, dan bisa menyembuhkan suntukmu hanya dengan memandangi foto, video, atau sekadar mengingat momen itu. Ya, itu adalah momen pendakian ke Gunung Arjuno, Gunung Kembar 1, dan Gunung Welirang di akhir Oktober 2020 kemarin.

    Ini tentu bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di gunung tersebut (kecuali Kembar 1), tapi merupakan kali pertama saya lewat jalur ini: Jalur Pendakian Sumber Brantas. Dulu sempat dengar mengenai adanya jalur ini tapi tidak tertarik karena katanya masih banyak pacetnya, jalur kurang jelas, dan pastinya belum ada teman yang mengajak naik lewat jalur sana. Umumnya masih lewat jalur Tretes atau Purwosari. Nah, sekarang jalur itu sudah lebih terkenal atau hits selama beberapa tahun terakhir walaupun tidak terlalu ramai pendaki. baru agak ramai ya karena pandemi corona ini. Masa new normal yang dibuka hanya jalur Sumber Brantas dan Lawang saja.

    Motivasi awal saya untuk lewat jalur ini ada 2: (1) Lembah Lengkean yang terkenal dengan keindahannya hingga banyak orang jatuh cinta, (2) Pohon-pohon cantigi tua dengan dahan dan ranting yang meliuk sempurna dengan banyak percabangan yang memberikan bermacam kesan bagi yang melihatnya. Ada yang memotret keindahannya, ada juga yang menampilkan aura mistisnya. Dan saya meihat foto-foto indah itu di instagram. Lalu bagaimana bisa saya mengabaikan panggilan pohon-pohon itu. Isenglah jari jemari ini membuat sebuah ajakan kepada teman di Malang untuk naik ke sana. Dan, sepertinya semesta langsung mendukung saya untuk berangkat.

    Tibalah hari H pendakian. Rasanya luar biasa antara senang bercampur khawatir. Senang karena pada hari itu saya merasa seperti muda lagi 😂 dan khawatir karena saya tidak mempersiapkan fisik dengan baik selama satu bulan terakhir. Cuma modal bismillah aja. Hari itu ladang wortel, kentang, dan beberapa jenis tanaman lainnya seperti tersenyum dan mengucapkan selamat datang di Sumber Brantas. Mereka berbaris dengan indahnya seluas mata memandang. Nun jauh di ujung, hijaunya ladang tampak menyatu dengan langit biru yang cerah.

   


Setelah ladang, kita mulai masuk hutan yang langsung rapat dengan semak tinggi di kanan kiri serta pohon-pohon besar yang menjulang tinggi lengkap dengan tumbuhan-tumbuhan epifit di batangnya. Medan berupa jalur tanah yang empuk kalau diinjak. Sangat menarik. Btw, partner mendaki saya kali ini ada tiga orang dan semuanya cowok. Lalu, semuanya nggak ada yang doyan foto selfie seperti saya. Mereka asik aja jalan, tapi saya bolak balik minta difotokan sama mas sweeper di belakang saya yaitu Mas Ucil namanya. Jadi formasi jalannya paling depan Mas Suli sebagai leader karena paling tahu jalur tersebut. Kedua ada Mas Majid yang pertama kali juga lewat jalur ini. Di belakangnya ada saya kemudian paling belakang Mas Ucil yang tidak pernah marah walau dimintai foto berulang kali.

 

    Setelah pos 2, vegetasi berubah. Pinus-pinus muda mulai menghiasi jalanan. Sebagian mulai terbuka sehingga kita bisa melihat G.Welirang dan Kembar 1 dengan jelas. Setelah pos 3 masih dengan pinusnya, ditambah beberapa lubang panas dengan uapnya. Lalu berubah menjadi barisan pohon cantigi tua dan rumput yang menandakan bahwa kita sudah hampir tiba di Lembah Lengkean. Dan kami akan nge-camp di Lengkean selama beberapa malam ke depan.


 

     Untuk hari pertama ini kami menghabiskan waktu 6,5 jam perjalanan sejak batas ladang hutan hingga ke Lembah Lengkean. Itu sudah termasuk istirahat lama 2x untuk masak kopi di pos 2 dan makan siang di pos 3, untuk foto-foto, dan tentunya pemanasan ya karena tas masih berat-beratnya nih. Full air. Jalur ini TIDAK ADA SUMBER AIR. Jadi harus bawa dalam jumlah cukup dari bawah. Untuk medannya menurut saya tergolong mudah ke menengah lah. Pastinya sih full tanjakan ya. Namanya juga naik gunung.

    Di Lengkean hari itu angin bertiup lumayan kencang. Namanya juga lembah ya jadi suhu memang lebih dingin kan. Ditambah lagi karena faktor cuaca juga angin dari arah Arjuno terdengar begitu kencang. Saya menggigil. 😂 Iya menggigil karena kedinginan. Jari jemari hampir kebas rasanya tanpa perlindungan sarung tangan. Trus sempat kelamaan foto-foto di luar tanpa pakai jaket. Telat, badan sudah terlanjur kedinginan. Untung saja saya punya teman-teman yang baik dan sigap memasak dan membuat minuman hangat. Mereka juga rajin mbanyol. Ya Allah nikmat mana lagi yang aku dustakan. Bisa tertawa lepas dan lupa sama semua masalah di rumah. Hehe... Malamnya kami tidur dalam kepasrahan kepada Sang Pencipta yang tidak lelah dan tidak tidur. Pasrah dengan suara angin yang begitu kencangnya. Semoga angin tidak kesini dan biarkan langit cerah dan bulan menyinari Lengkean sepanjang malam ini.


    Pagi di hari kedua pendakian, Gunung Kembar telah menyambut kami dengan jelasnya. Ia tersinari matahari pagi hingga tampak berkilauan. Langit biru cerah meskipun angin masih saja bertiup kencang. Sebaai nformasi, dari Lengkean kita bisa menggapai 4 puncak sekaligus: (1) Puncak Arjuno, (2) Puncak Kembar 2, (3) Puncak Welirang via Puncak Kembar 1. Dan kami akan menuju ke puncak Arjuno dulu.

 


    Dari Lengkean arah Arjuno kita akan melipiri G.Kembar 2 dengan jalur dominasi datar dan menurun selama kurang lebih 30 menit sampai ketemu dengan Lapangan Kotak/ Lembah Macan Mati. Dari situ puncak Arjuno terlihat begitu jelasnya, kokoh berdiri di bawah langit biru dan awan-awan putih yang bergerak cepat tertiup angin. Setelah itu, jalur mulai menanjak dan terus menanjak selama 3 jam. Cukup sabar dan terus melangkah saja ya nggak usah terlalu sering dilihat tanjakannya. Pinus-pinus tinggi itu lebih layak untuk diperhatikan daripada cuma fokus dengan tanjakan. 

 


    Sayangnya ketika mendekati puncak, cuaca mendadak berubah. Kabut tebal dengan sedikit gerimis mulai menemani. Kecewa sih karene pendakian-pendakian sebelumnya juga dapat tembok putih pas sampai di puncak Arjuno. Tapi ya, inilah alam. Ia sangat sulit untuk ditebak. Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Dan kuterima puncak putih ini dengan syukur sebesar-besarnya pada Allah pemilik seluruh alam. 

     

    Saat kembali ke Lengkean, alam pun masih belum bersahabat. Kami diguyur hujan deras pas tanjakan yang banyak pohon pinus tingginya sampai persimpangan jalur Cangar dan Tretes. Arrgghh tangan saya seperti mati rasa karena kedinginan. Kalau badan sih meskipun basah masih ada lapisan jas hujan plastik. Kaki juga masih kebungkus sepatu. Sementara jari jemari sudah basah, kena angin pula. Kaku banget. Dan syukur, malam itu Lembah Lengkean lebih hangat dari hari sebelumnya. Saya bisa tidur lelap dan cukup lama.

 

    Hari ketiga pendakian, rencananya hari ini kami akan pulang. Tapi karena sudah di sini, mau ngintip ke G.kembar 1 dulu. Saya kira cuaca juga cukup oke. Matahri bersinar walaupun tidak seterang kemarin.  Kembar 1 ini bisa ditempuh dengan 30 menit saja. Waktu itu masih pagi sekali, masih pukul 7-an ketika kami sampai di puncak. Mau kembali kok ya nanggung. Ya sudah lanjut saja ke Welirang.

    Dari puncak ambil jalur menurun ya ke Taman Dewa, sebuah tanah lapang tempat bertemunya jalur Cangar dengan jalur Tretes yang menuju puncak Welirang. Seperti biasa langit cerah berawan. Kaki ringan saja melangkah walaupun jalur menanjak. Begitu mau sampai di puncak Welirang semuanya terlihat putih karena asap belerang tebal. Ya sesekali terbuka juga. Singkat saja di sini lalu kembali turun.

    Ketika sampai di Taman Dewa petir berbunyi dengan keras tanpa tanda-tanda. Kabut sepertinya mulai banyak di arah Welirang. Kami pun cepat-cepat kembali ke Lengkean. Tanjakan setelah Taman Dewa kami hajar singkat saja walaupun nafas senin kamis. Jangan sampai kehujanan lagi dong. Baju kering tinggal satu-satunya yang nempel di badan. 😆

   


Dan benar saja, setelah sampai di Lengkean, kabut tebal mulai datang. Hujaaaannn!! Yap, hujan turun dengan sangat derasnya. Kabut putih menyelimuti Lengkean. Kami galau karena rencana mau pulang. Hujan mau ngapain, ya tidurlah. Posisi tenda aman dari genangan. Pukul 4 sore hujan sempat berhenti sebentar. Mau segera packing tapi ragu. Terlihat banyak tim yang turun. Dan kami pun memutuskan untuk menginap semalam lagi dengan pertimbangan kalau turun sekarang kita pasti kemalaman di jalan.
Belum lagi antrian jalur kalau sedang banyak yang turun. Jalurnya licin karena jalur tanah semua. Dan kalau melihat kabut dan anginnya sepertinya masih akan hujan. Semua menghawatirkan saya takut ngedrop, ahaha. Baiklah fix semalam lagi.

    Keesokannya, hari kembali pulang, dan saya membawa banyak sekali kesan dan kenangan indah tentang Arjuno Welirang dan menyenangkannya teman seperjalanan kali ini. Semoga lain waktu kita bisa mengulang hari ini dengan tawa yang sama tapi dengan cuaca yang lebih cerah.

 


Rangkuman Estimasi Waktu Pendakian:

1. Ladang - Lembah Lengkean (6 jam naik, 3 jam saat turun)

2.  Lembah Lengkean - Puncak Arjuno (3,5 jam)

3. Lembah Lengkean - Puncak Kembar 1 (30 menit)

4. Puncak Kembar 1 - Puncak Welirang (1,5 jam)

5. Lembah Lengkean - Puncak Kembar 2 (belum nyoba guys, maaf ya, katanya sih sekitar 45-60 menit saja)


Tambahan, jalur ini nggak ada sumber air. Jadi, standarnya sih per orang bawa 6 liter air. Kalau pas hujan seperti pengalaman saya kemarin, kita bisa nadahin air hujan ya buat masak. Saking deresnya kemarin kami punya tambahan 10 botol air hasil kerja keras Mas-Mas teman perjalanan saya. Masih sisa banyak di kolam flysheet bisa buat cebok sampai puas wkwkwkw

 


    






    

06 Juni 2020

Pandemi Covid-19 adalah Takdir, Ikhlas adalah Pilihan

Tiga bulan sudah virus covid-19 mewabah di Indonesia dan sudah sekitar 6 bulan sejak kemunculannya di Wuhan kala itu. Dunia seperti hanya sedang membicarakan corona saja. Situs berita, marketplace, web apapun selalu ada info soal data corona di Indonesia bahkan seluruh dunia. Kita seperti dipaksa untuk fokus pada satu hal saja: corona - covid-19. 

Virus ini memporak-porandakan ekonomi kita. Pabrik-pabrik mulai menurunkan produksi  yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Begitu juga di sektor wisata. Tempat-tempat wisata ditutup, pelaku wisata kehilangan pekerjaan, orang dipaksa diam di rumah untuk menghindari virus. Pekerja hotel dirumahkan bahkan dipaksa pensiun dini. Begitu juga dengan beragam pekerjaan lain yang terdampak adanya pandemi ini.

Saya sendiri juga merasakannya. Toko alat pendakian gunung kami selalu sepi pengunjung selama masa pandemi ini. Omzet menurun drastis, bahkan penjaga toko hampir kami rumahkan, sebelum akhirnya kami putuskan untuk kerja setengah hari saja. Ikhtiar menunggu pembeli apa salahnya.

Kalau boleh cerita sedikit, kami pun tidak lepas dari kesulitan. Bulan Maret itu adalah bulan terakhir kontrakan toko kami. Sudah waktunya kami membayar biaya kontrak untuk satu tahun ke depan. Dan biasanya untuk biaya kontrak toko kami memakai uang pinjaman dari bank. Kami anggap pembayaran tiap bulan itu untuk mencicil biaya kontrak. Begitulah hingga akhirnya uang dari bank sudah di tangan lalu kami pakai untuk membayar kontrakan. Lalu kurva positif covid-19 merangkak naik dengan cepat sementara toko pemasukannya sangat sedikit. 

Dan tibalah hari di mana kami harus membayar cicilan pertama. beberapa saat sebelumnya Pak Jokowi Presiden mengumumkan soal restrukturisasi pinjaman. Namun hal ini belum langsung berjalan di bank. Kami negosiasi dengan pihak bank akhirnya waktu itu tetap membayar tapi dengan uang yang sudah ditangguhkan/ disisakan di rekening. Hamdalah terasa ringan. Toh uang itu memang tidak boleh diambil. Bulan berikutnya program restrukturisasi sudah mulai ada kejelasan. Kami hanya disuruh membayar bunganya saja sementara biaya pokoknya bisa ditunda 3 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun. Pilih mana? Kami pilih 3 bulan dengan harapan wabah ini segera usai.

Kenapa nggak pilih 1 tahun? Duh, kami bukannya tidak mau membayar bank. Kami sangat ingin membayar agar hutang segera lunas. Kami optimis di bulan-bulan mendatang akan ada jalan terang. 

Apakah saya merasa sempit? Alhamdulillah tidak. Gusti Allah melancarkan penjualan sandal saya. Ya, saya punya usaha sampingan selain toko alat gunung, yakni berjualan sandal anak secara online di Shopee saja. Selama pandemi ini penjualan terus meningkat. Kalau untuk sekadar makan itu sudah lebih dari cukup. Pernah saya tanya ke suami, "Yah, perasaan ayah apa sedang dalam kesusahan atau kesempitan?" Jawabannya adalah enggak, biasa aja. Hamdalah. Kami seirama dalam menyikapi kefanaan ini.

Kefanaan saya menyebutnya. Sudah dikatakan bahwa hidup ini hanya sementara. Seberapa majunya teknologi, Allah tetap menjadi pemegang kendali utama. Dunia yang sudah semaju ini porak poranda oleh virus yang tak kasat mata. Dan menurut saya di saat seperti ini menyikapinya pun tidak perlu terlalu merasa susah. Ini bagian dari takdir. Setiap orang sudah ada takdirnya. Dan mengeluh adalah tindakan sia-sia. Marah dengan keadaan lebih sia-sia lagi.

Hal paling tidak sia-sia di dunia ini adalah beriman kepada Allah.
Pasrahkan hidup hanya kepada-Nya.
Sandarkan kesusahan dan kebahagiaan juga pada-Nya.
Berusaha dengan minta pertolongan-Nya
Ikhlaskan yang terjadi memang kehendak-Nya

Maka tidak akan ada kesedihan yang terlalu sedih dan kebahagiaan yang terlalu bahagia.




10 April 2020

Coronavirus Mendunia, Saya di Rumah Saja

Bulan Maret biasanya jadi bulannya para pendaki gunung.

Akhir musim penghujan menyisakan bunga-bunga indah yg bermekaran di atas sana, di antara semak tinggi dan hijau pepohonan.

Tahun ini mungkin mereka akan mekar dengan tenang.

Tidak ada yg sibuk mengajak berfoto, mencabut, atau menginjaknya. 

Mereka mekar dengan riang gembira. 

Bernyanyi bersama kabut dan angin gunung kapanpun mereka mau.


Tahun ini, di bulannya para pendaki, gunung-gunung tersenyum menutup diri. 

Mungkin juga tertawa melihat manusia sedang sibuk bersembunyi.

Manusia yg seringkali merasa gagah menaklukkan puncak, kini lemah di jurang ketidakberdayaan.



Bulan Maret tahun ini, tak lagi untuk para pendaki. Tapi untuk ibu bumi menyembuhkan diri.



Akhir Februari 2020 saya ingin sekali pergi mendaki gunung Arjuno. Terus terang saya ingin melihat bunga-bunga mekar di area Pondokan dan Lembah Kijang. Biasanya di akhir musim penghujan bunga-bunga kuning akan mekar dan mengambil banyak tempat di sana. Tapi melihat situasi saya yang agak sulit meninggalkan anak di rumah, maka saya pun menurunkan target hanya ingin ke Bukit Teletubbies Bromo saja. Di sana pun sama, bunga-bunga kuning akan banyak bermekaran. Saya mulai ajak-ajak kawan. Oke, insya Allah akhir Maret saja kata mereka, agar cuaca semakin bagus. Dan saya pun mengiyakan.

Ingin hanya sekadar ingin. Impian hanya tinggal impian. Menginjak bulan Maret, tiba-tiba saja beberapa warga Indonesia positif terserang virus corona. dari 1-2-3 orang lalu tiba-tiba saja menjadi banyak dan menyebar ke beberapa provinsi. Kontan saja, pemerintah memberikan himbauan untuk masyarakat agar di rumah saja untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Sejak hari itu, semua mulai berubah. Pelan tapi pasti, dunia pariwisata menghening. Yang tadinya sektor pariwisata hanya tidak bisa menerima wisatawan luar negeri, kini tamu dalam negeri pun mulai tidak tampak. Ada yang menjaga diri agar tidak terpapar, ada yang pekerjaannya mulai terdampak, dan banyak pula tempat-tempat wisata yang menutup diri dari para wisatawan. Tujuannya ialah agar menghindari resiko terpaparnya warga setempat dari virus yang mungkin dibawa oleh para wisatawan.

Lalu, tentu saja keinginan saya ke gunung di atas sana harus saya pendam dalam-dalam. Bagaimana tidak, seluruh masyarakat sedikit banyak mendapat dampak dari pandemi corona ini termasuk toko saya yakni toko perlengkapan mendaki gunung. Tidak ada yang mendaki gunung, maka tidak ada yang datang membeli perlengkapan mendaki gunung. Toko menjadi hening seperti di atas sana. Dan yang terjadi pada saya, banyak juga dialami oleh orang lain di seluruh Indonesia, bahkan dunia.

Di sana mereka khusuk berzikir menyebut asma-Nya

Asma pencipta langit bumi dan seisinya

Sementara sebagian manusia di bawah sini lupa merenungi kehendak-Nya

Sibuk dengan dunia yang akan hilang segala


05 Februari 2020

Reuni Kecil Keluarga Reksa Giri Wana (Rekgiwa)


Rasanya baru kemarin saja saya berjalan dengan tas carrier 60 liter di malam hujan, menapaki jalan aspal menanjak dengan air mengalir deras dari atas. Kaki rasanya sudah sangat lelah, punggung berat, juga dingin. Ya ampun, itu malam pertama diklat Rekgiwa angkatan ke-17 SMAN 1 Sidoarjo. 

Rasanya baru kemarin saja mengalami berbagai kesakitan saat diklat. Bayangkan, kami menginjak rumput yang penuh duri di malam gelap tanpa bisa mengeluh. Kami berjalan dengan sedikit air dan harus mencari makanan alternatif agar anggota tim tidak kelaparan dalam pelajaran survival di alam bebas. Kami harus nyasar ke dasar jurang yang basah dan "rungsep" karena salah mengambil arah kompas. Pun, kami harus menyebrang sungai dengan tali. Rasanya pangkal kaki begitu sakit. Hiks..

Rasanya baru kemarin saja kami senior silih berganti memberikan materi dalam perjalanan kami menjadi anggota organisasi pecinta alam baik di kelas maupun di luar kelas. Beberapa perjalanan pun kami lakukan: ke Welirang dengan tragedi anggota hilang selama 3 hari, ke Argopuro  yang bikin kaku kaki-kaki (dulu perlu 6 hari ya, lain jalur dengan sekarang), pun berbagai kegiatan kami lakukan seperti lomba panjat, bersih sungai, LPJ angkatan, dll.


Dan yang katanya rasanya baru kemarin itu ternyata sudah terjadi sekitar 14 tahun lalu. Lama banget kan. Masih ada yang lebih lama, yakni kakak-kakak angkatan dari angkatan pertama hingga angkatan saya yang ke-17. Percaya nggak kalau kami merasa saling terhubung satu sama lain meskipun hanya bertemu pada acara-acara tertentu saja. Malah sekarang mendekat lagi dengan adanya grup whatsapp. Keluarga yang hilang akhirnya berkumpul lagi. Hehee....