19 Juli 2010

Pendakian Merbabu-Merapi (Bag.II)


Foto-foto bisa dilihat di sini.

Bagian II – Merapi jalur Selo
Kisahku bersama Dina, Dedi, Jupi, Dwi, Adip, Dito, dan Ikhwan

27 Desember 2008 Base Camp Selo Merapi

Dari desa Gesikan kami berjalan melewati setapak di antara ladang-ladang sekitar satu kilometer. Setelah menemukan jalan raya kami menumpang sebuah mobil pick up dan membayar Rp 15.000,- sampai di Selo. Di sini kami berpisah dengan Mz Uchit yang harus kembali ke Jakarta dan Mz Tovik yang harus kembali ke Malang karena masalah pekerjaan. Hikkss… Kami tidak lagi ber-13 dalam trip ini.


Di base camp Mz Amsi dan Mba Salma kembali mendatangi kami. Kami berbincang seakan sudah kenal sekian lama. Kami berbagi cerita dan foto. Hehe… Lalu lebih sore lagi Om Jarot menelponku dan mendatangi rombongan kami. Beliau datang bersama Mz Jarody. Aksi foto bersama pun kami lakukan. Dinginnya hujan sore itu seakan sirna oleh kehangatan rasa persaudaraan di antara kami.

Pukul 21.20 WIB Mz Amsi dan Mba Salma pamitan pulang. Lalu aku beranjak tidur meskipun teman-teman yang lain masih asik bermain kartu dan tertawa keras-keras. Aku harus tidur karena aku ingin naik ke Merapi. Sempat terjadi kebimbangan dalam diriku. Akankah aku mampu naik dengan fisik selemah ini. Mungkinkah nanti aku hanya mampu menyusahkan teman-temanku ini. Aku harus tidur.. aku harus sehat.. dan aku akan naik bersama mereka. Insya Allah.

28 Desember 2008
Mendaki Merapi yang Dingin

Pukul 00.10 WIB kami beranjak dari hangatnya SB dan bersiap-siap mendaki Merapi. Hanya kami berdelapan, sedangkan yang lain menunggu di base camp. Pukul 01.00 WIB kami melantunkan doa memohon perlindungan-Nya dalam pendakian ini dan melangkahkan kaki ini menuju puncak.
Alhamdulillah walau sejak siang tadi hujan mengguyur dan kabut menyelimuti, tapi malam itu bintang-bintang masih dapat kami lihat kerlipnya. Kami mendaki santai saja. Mereka tahu kondisi fisikku tidak seberapa bagus. Mz Jupi selalu menanyakan bagaimana keadaanku. Terima kasih untuk perhatianmu kawan.
Saya sempat ditertawakan teman-teman karena mengatakan bahwa saya merasa tanjakan jalur itu tidak seterjal sekarang. Tapi memang benar itu yang saya rasakan.
Kata mereka, “Jangan pake perasaan, Rul. Merapi ya seperti ini”.
Emang Mungkin dulu karena banyak orang yang mendaki di
Jbener ya? Entahlah… saat Agustusan jadi medannya tidak begitu kuperhatikan.
Gunung Merbabu nampak indah sekali berhiaskan kilauan-kilauan di bawahnya.
Merapi juga indah, tentu saja dengan tanjakan-tanjakannya terjalnya.

Selepas Pos II angin begitu kencang, kabutnya tebal. Dingin begitu menusuk kulitku. Teman-teman selalu siaga membantuku, terutama Mz Dwi yang sedari tadi menarik dan memegangiku agar tidak terjatuh. Terima kasih saudara-saudaraku…!


Pasar Bubrah

tak ada sinar surya pagi itu
tak ada hangat sedikit menjengukku
hanya hamparan putih tak tersentuh
membawa dingin yang melukaiku
kutunggu ia mungkin akan segera berlalu
dan hanya bisu yang aku tahu

Tepat pukul 04.45 WIB kami tiba di Pasar Bubrah. Kabutnya begitu tebal dan angin masih kecang. Nampaknya tidak ada sunrise pagi ini. Kami bergantian melaksanakan shalat subuh dalam terpaan angin dingin. Kami menunggu pagi dan menyiapkan kamera. Dan benar saja, sunrise tak hendak menemui kami. Namun kami masih bisa berfoto-foto dengan panorama pagi yang indah. Subhanallah…

Aku enggan ke puncak karena kabut terlalu tebal. Aku tidak yakin ke puncak akan memberi kepuasan, dan juga aku pikir itu berbahaya mengingat medan ke puncak berbatu seperti itu. Tiga orang teman: Dina, Dedi, dan Mz Ikhwan yang belum pernah muncak ke Merapi bersikeras muncak. Karena tidak tega akhirnya Mz Jupi menemani mereka. Berangkat pukul 07.45 dan kembali pukul 10.20. Lama banget!!

Menunggu mereka yang ke puncak kami didera rasa lapar (hehe..), rasa dingin yang semakin menjadi, dan berisik karena Mz Adip bobo’ terus dan menimbulkan suara-suara yang ga nyaring, hehe… Antara sebel dan khawatir menunggu mereka. Kami takut terjadi apa-apa pada mereka. Semoga saja tidak. Amin. Dan syukurlah mereka kembali dengan selamat walaupun Dina sempat menangis karena sedikit kecelakaan. Ternyata mereka melewati jalur yang salah (makanya lama buangeet). Aku senang kawan kita bisa berkumpul lagi

Back to Base Camp
Pukul 11 siang kami kembali ke base camp. Baru saja turun kami sudah diguyur hujan sampai di New Selo. Pukul dua siang kami tiba di New Selo dan langsung menyantap soto hangat dan teh panas. Masya Allah… kakiku yang kemarin sakit gara-gara turun dari Merbabu sekarang dah nggak sakit lagi. Hehe…

Tiba di base camp kami langsung disuruh Mz Cempluk packing karena khawatir tidak ada angkutan tuk pulang ke Jogja. Aku bisa masuk angin nih. Hehe.. Untung dapatLbelum sempet ganti pakaian pinjeman kaos dari Mz Cempluk. Thanks Mz….

Gara-gara keceplosan ngomong, seorang cewek cantik yang sedang rebahan tiba-tiba bangun dan bertanya, “Kamu Nurul ya?”
Hwaaa….. aku kaget! “Iya Mbak,” jawabku,” Mba Hani ya?”
Dan benar itu Mba Hani dari milist Merbabu.com. kemudian aku juga berkenalan dengan Om Afandi, Mz Ajis, dan Mz Amar. Di luar base camp aku juga berkenalan dengan Om Kiting dan Mba Winda. Hihihih… lucu deh!

Tiba di base camp sekitar pukul 13.30 siang. Kami langsung packing karena mengejar angkutan agar bisa ke Jogja. Saat itu Selo ramai akan para pendaki dan masyarakat yang menyambut satu suro dengan acara sedekah gunung. Pukul 16.30 sore kami meluncur ke Boyolali dengan pick up Rp 120.000,- untuk 12 orang. Sekitar pukul 19.00-20.00 malam kami nebeng Pick up lagi dari Boyolali sampai pasar Prambanan. Kami Cuma memberi ucapan terima kasih sebesar Rp 10.000,00. Dilanjutkan naik trans Jogja @Rp 3.000,- tapi kami diturunkan paksa dengan alasan jam operasinya sudah habis (saat itu sekitar pukul 21.30). Jadi kami harus berjalan sekian kilometer di dalam kota (hikksss…) sampai asrama tempat Mz Eko tinggal. Tiba di asrama kira-kira pukul 22.10 WIB. Akhirnya aku bisa tidurrrrr….

Pendakian Merbabu-Merapi (Bag.I)


Foto-foto bisa dilihat di sini.

Desember 2008
Bagian I – Merbabu Jalur Wekas-Selo
Kisahku bersama Dina, Dedi, Uchit, Jupi, Fariez, Eko, Cempluk, Tovik, Hero, Dito, Ikhwan, dan Dwi

Menuju Base Camp

Kami menyusuri aspal jalanan menuju base camp pendakian Gunung Merbabu. Hari sudah beranjak sore ketika itu. Kira-kira pukul 14.00 WIB. Terbayang bagaimana matahari masih sangat menyengat di atas kepala. Keringat setetes demi setetes membasahi kulit-kulit kami. Kami yang tadinya berjalan bersama kini mulai terpecah-pecah. Setelah jalan beraspal, kami menyusuri jalanan makadam yang diadakan perbaikan jalan. Jalanan ini kurasa sangat panjang. Aku mulai lelah dan jalankupun semakin lambat. Kabut mulai datang di antara pinus-pinus tepi jalan. Dingin….

Camp Pos II
Sedikit barmalas-malasan kami melipat SB yang baru kami pakai. Kemudian merasakan dingin air wudhu dan melaksanakan shalat. Mz Cempluk dan Mz Eko sebagai leader karena di antara kami ber-13 hanya mereka yang pernah mendaki gunung ini. Bintang malam tidak hanya bersinar di langit, bahkan mereka berkilau-kilau begitu indah di bawah sana. Bumi seakan menjadi cermin bintang-bintang angkasa. Subhanallah.. Subhanallah.. Dalam lelahku aku merasakan begitu besar keagungan Allah. Mendaki untuk tadabbur alam. Kusaksikan kebesaran-Nya

Tanjakan-tanjakan terjal kami lalui.
Nafasku begitu terengah merasakan lelah di kaki dan berat keril di punggung. Untung saja dome tendaku sudah dibawakan Mz Tovik sehingga hanya framenya saja yang tertinggal di kerilku. Namun begitu, dua kali aku sempat merasakan pusing dan sekilas sekitarku menjadi gelap. Untung saja aku tidak pingsan.

“Wah di atas badai nih. Anginnya gede banget. Ntar kita camp di pos II aja,” kata mz Cempluk. Dan kami semua mengiyakan saja karena tidak mengetahui bagaimana medannya.
Tawa canda masih mewarnai perjalanan kami. Saling bahu membahu membantu teman melewati tanjakan terjal.
Tanganku dingin sekali. Bukan hanya tanganku, tapi seluruh badanku. Gigiku gemeretak. “Ah.. kok aku payah sih, kok aku lemah. Ayo Nurul semangat!” kataku dalam hati tuk menyemangati diriku sendiri. Aku YAKIN aku BISA.
Setapak tidak lagi berupa tanjakan terjal. Aku bisa melangkahkan kakiku dengan agak cepat. Dan di depan sana ada tanah datar yang luas. Ah.. akhirnya… Pos II (mata air). Jam menunjukkan pukul 12.05 WIB. Di sisi kiri di atas bukit jauh di sana nampak pemancar berdiri kokoh dalam dingin.

Kubongkar kerilku, kukeluarkan frame dan kubantu teman-teman mendirikan tenda. Setelah itu aku beristirahat dalam hangatnya SB di dalam tenda yang bergoyang-goyang karena hembusan angin.

Beratnya Menuju Puncak


Kuingat pesan ibuku untuk tidak meninggalkan shalat. Walau sedikit malas, subuh itu aku bangun dan kulaksanakan shalat subuh. Kemudian bersama Mz Uchit menyaksikan lukisan alam yang begitu indah. Hamparan awan kapas dan jajaran Gunung Sundoro, Gunung Sumbing, Telomoyo. Di bawah sana, di jurang dan lembah yang dalam nampak deburan air terjun dan mengalir sebuah sungai berbatu di bawahnya. Subhanallah…
Pukul 09.20 a.m. kami berdoa bersama dan melanjutkan perjuangan ini. Jalan yang kami lalui terasa semakin menanjak. Tumbuh-tumbuhan pun lebat karena musim penghujan. Dan pemandangan alam Merbabu sangat menawan menguatkan tekad untuk mencapai puncak.
“Nduk, arbei tuh.”
“Sek, sek mz, tunggu!! Aku panen dulu, hehe..” kataku begitu senang.
Sejam dua jam kami terus berjalan. Sekian bukit kokoh aku saksikan, kukira itu puncak, tapi ternyata bukan. Hehe… Di balik bukit masih ada bukit lagi. Fuih….!!

Puncak Euy…
Aku tidak tahu apa nama tempat-tempat yang aku lalui. Yang kutahu hanya saat kami menapaki jalan terjal di antara jurang di sisi kiri dan kanannya, itu adalah Jembatan Setan. Merambati tebing menakutkan dalam gerimis yang melicinkan batu pijakan. Basah, kotor, dan dingin… alhamdulillah kami tiba di persimpangan. Waktu itu kira-kira pukul satu siang. Kami beristirahat sebentar kemudian beberapa orang, termasuk aku melanjutkan ke Puncak Syarif (3119 mdpl). Angin kencang dan kabut menyambut kami di puncak.
Tak lama kami kembali ke persimpangan, mengambil keril dan melanjutkan ke puncak Kenteng Songo (3142 mdpl). Betapa haru hatiku. Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena mengijinkan kami menginjakkan kaki di puncak. Kegembiraan kami lampiaskan melalui foto-foto dengan berbagai pose. Beberapa cemilan dan susu kami keluarkan untuk tambahan energi. Sebelum turun aku menyempatkan shalat dhuhur dan ashar yang kujamak, sembari berdoa agar kami selalu dikaruniai keselamatan dan kebahagiaan oleh Allah.

Selo yang Menjadi Seli
Sekitar pukul 15.00 kami turun arah jalur Selo. Kami menuruni lereng bukit yang hijau dan pemandangan di depan mata begitu menggoda. Sungguh indah seakan-akan kata tak mampu menggambarkannya. Setelah di bawah, di persimpangan jalan kami berhenti dan menatap setapak yang baru kami lalui, wow..!!!
Keren!!! Kami melanjutkan perjalanan dengan mengambil percabangan itu ke arah kiri. Tidak lama berjalan di antara semak kami melewati sebuah savana luas yang begitu indah. Rumput-rumput yang hijau namun kecoklatan. Aku benar-benar takjub dengan pemandangan indah ini. Aku jadi teringat Cikasurnya Argopuro.

Kembali kami berjalan mengikuti setapak-setapak di savana itu. Naik bukit dan menuruni lereng-lereng yang kuanggap vertikal karena susah sekali melaluinya sampai terperosok dan tersungkur bersama tanah dan rumputan. Sungguh aku berjalan sangat lambat, paling belakang, dan ditemani Mz Tovik pendaki yang baik hati itu. Makasih ya Mz… Hingga sampailah kami di tempat yang namanya “Batu Tulis”. Di sini kami beristirahat sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.30 p.m. Hari hampir gelap dan kabut sesekali menyapa.

Sempat terjadi kebingungan menentukan percabangan mana yang harus kami lewati untuk tiba di Selo karena di sini terdapat tiga percabangan. Dan di antara kami ber-13 tak seorangpun pernah turun lewat Selo. Tentu saja kami mengambil jalan yang tengah karena merupakan setapak yang paling jelas dan nampaknya sering dilewati.

Hari mulai gelap. Kami hanya berjalan sebelas orang. Dua orang lainnya yaitu Mz Hero dan Mz Eko sudah termat jauh di depan entah di mana. Kami sempat sedikit geram namun khawatir kalau-kalau mereka tersasar. Kami terus menuruni lereng-lereng perbukitan. Kakiku semakin sakit saja, aku tidak terbiasa berjalan selama itu. Ritme perjalanan kami semakin lambat. Aku tahu semuanya lelah dan ingin segera tiba di base camp. Namun, ladang penduduk saja belum kami jumpai. Sempat terdengar adzan magrib di kejauhan. Kami merasa sudah dekat, sebuah harap seakan menerangi gelap hari itu. Kami terus berjalan dan berjalan. Adzan isya’ terdengar, berarti sekitar pukul 19.00 WIB. Terus dan terus berjalan menembus kabut tebal dan gerimis malam itu. Lampu-lampu di bawah sana tak terlihat, apa yang di depan, bukit, jurang atau gunung tak dapat kami lihat. Ladang-ladang penduduk di lereng terjal telah kami lalui. Hingga kami tiba di sebuah pertigaan. Bingung harus ke arah mana. Sedikit mencoba-coba kompas dan GPS yang dibawa Mz Uchit akhirnya kami belok ke kiri.

Tidak lama kemudian Mz Jupi kontak telepon dengan Mz Eko yang sudah tiba duluan di desa. Berikutnya kami dijemput penduduk dan ditunjukkan jalan ke tempat mereka. Kami tiba di rumah penduduk yang entah siapa namanya (lupa, hehe) sekitar pukul 21.30 WIB. Lelah, lapar, sakit di kaki, dan syukur akhirnya aku tak harus berjalan lagi. Desa itu bernama desa Gesikan. Ternyata kami tersasar 6 km jauhnya dari Selo. Kami menamai sendiri jalur tadi dengan sebutan “jalur Seli”, jalur kenangan kami.

Setelah makan nasi dari tuan rumah dan nasi bawaan Mz Amsi dan mba Salma yang jauh-jauh datang menemui kami akupun tertidur pulas berharap esok hari kakiku tak sakit lagi dan bisa melanjutkan ke Merapi. Aku bermimpi indah malam itu, bermimpi berlari-lari di savanna Merbabu.
Aku teramat takjub dengan savanna itu.

Untuk teman-teman seperjalanan, mungkin kita akan merindukan savana itu lagi. Datanglah ke sana dan baca kembali untaian kisah menarik antara Kenteng Songo – Savana indah – Batu Tulis – dan Selo yang menjadi Seli.

Pendakian Gunung Gede-Pangrango (tahun 2009)




Foto-foto bisa dilihat di sini.

Dua kali sudah saya membatalkan rencana trip mendaki ke Gede- Pangrango (3019 dan 2958 mdpl). Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi ketidakkonsistenan saya ini. Tidak perlu saya sebutkan semua, tetapi salah satu di antaranya adalah karena tidak adanya partner dari Surabaya. Agak susah juga kalau saya harus berangkat ke kota nun jauh di sana sendirian. Namun, sepertinya keinginan mendaki ini benar-benar telah mendorong saya untuk tetap berangkat walau sendiri.
ada keinginan yang meragukan
ada harapan yang menjanjikan
ada perkataan yang melemahkan
ada semangat yang menguatkan
dan ada satu hati dan pikiran yang mengambil keputusan
Jumat, 26 Juni 2009
Singkat cerita akhirnya saya berangkat juga ke Jakarta. Setelah perjuangan dua hari sebelumnya dalam berebut tiket kereta dengan calon penumpang lain. Waktu itu musim liburan sudah tiba, jadi dapat dipastikan harga tiket kereta api naik dan tempat duduk sudah terisi nama-nama calon penumpang. Dan sepanjang malam sebelum saya tiba di Jakarta hanya saya lalui sendiri. Bahkan dengan orang sebelah pun saya tidak saling bercakap-cakap. Untungnya tempat duduk saya di kursi D, yang berarti dekat jendela, sehingga saya dapat menghibur diri dengan menikmati pemandangan di luar jendela. Gelap. Romantis sekali meski saya hanya sendiri. Teringat adegan-adegan di sinetron atau film ketika aktornya sedang naik kereta lalu menatap keluar jendela dengan isak tangis meninggalkan kekasih hatinya ataupun tersenyum penuh debaran karena di stasiun terakhir nanti akan ada seseorang yang menunggunya. Memang benar-benar romantis.

“Neng, kenalan dulu, saya Mang Idi,” kata seorang bapak sembari mengulurkan tangannya kepada saya untuk bersalaman. Tidak lupa sesungging senyum tergambar jelas di raut wajahnya yang telah keriput. Sungguh sambutan yang hangat dari dan untuk orang yang baru dikenal. Warung Mang Idi, tempat saya dan beberapa teman mendaki malam itu beristirahat di Cibodas. Sebagian sudah saya kenal pada trip-trip sebelumnya: Om Anwar dalam pendakian ke G. Arjuno-Welirang, Chepot dalam pendakian ke Semeru. Dan yang baru saya kenal hari itu adalah Mbak Ika dan Mz Ari dari Cirebon. Masih ada dua orang lagi kawan dari Jakarta yang hendak mengantar kami sampai Air Terjun Cibeureum, yaitu Mbak Susan dan Mz Arief.

Sabtu, 27 Juni 2009
Menuju Kandang Badak
Pukul 07.15 pagi kami sudah tiba di depan pos informasi dekat basecamp Montana setelah sebelumnya melapor di pos perijinan. Kami mengawali trip ini dengan doa bersama. Sebuah permohonan kepada Allah untuk keselamatan, kegembiraan, dan kemudahan kami dalam mendaki gunung ini. Setelah berjalan kurang lebih setengah jam tibalah kami di Telaga Biru, dan berjalan lagi sekitar 20 menit untuk tiba di Pos Panyangcangan. Tidak perlu terlalu mengkhawatirkan medan yang dilalui, semuanya telah ditata rapi dan Insya Allah aman dilalui. Tidak terlalu menanjak, lumayan untuk sekedar pemanasan pagi hari.


Seperti rencana awal bahwa Mz Arief dan Mbak Susan hanya akan mengantarkan kami samapi Cibeureum, maka kamipun menuju ke sana. Bisa ditempuh sekitar 10 menit dari Panyangcangan. Deburan air terjun yang enak dipandang sambil menikmati sarapan pagi saya. Sarapan nasi bungkus yang saya beli di warung Mang Idi. Dari Cibereum kami kembali ke Panyangcangan. Trip ini dilanjutkan oleh kami berlima.


Butuh sekitar 2,5 jam dari pos Panyangcangan untuk tiba di Pos Air Panas. Jalannya berbatu-batu dan agak menanjak. Jalan yang membosankan. Untung saja tidak panas seperti makadam di jalur pendakian G.Welirang via Tretes. Di sini hutannya memang terjaga. Rindang dan nyaman. Itu kesan saya. Pelajaran berharga dalam mengatur ritme berjalan saya dapat dari Om Anwar. Berjalan di belakangnya dan mengikuti langkahnya membuat saya dengan sendirinya mengatur ritme berjalan, nafas, dan istirahat. Terima kasih, Om…. ^_^

Medan setelah Kandang Batu agak menanjak juga. Cukup menguras energi. Untungnya Om Anwar yang telah mengetahui medan mengajak kami menyempatkan makan siang di sebuah dataran, lima menit dari Kandang Batu di dekat air terjun kecil. Kandang Batu letaknya tidak jauh dari Pos Air Panas, hanya sekitar 10 menit berjalan kaki. Dari tempat itu kami masih membutuhkan waktu satu jam untuk tiba di Kandang Badak. Lega rasanya siang itu kami tiba di Kandang Badak. Sepertinya kami masih sempat untuk mendaki ke puncak Pangrango. Istirahat sebentar lalu mendirkan tenda untuk tidur kami malam ini.

Kandang Badak – Mandalawangi (PP)
Setelah musyawarah untuk mufakat akhirnya disetujui bahwa yang akan ke puncak Pangrango hanya tiga orang, yaitu saya, Mbak Ika, dan Chepot. Sedangkan Mz Arik dan Om Anwar tetap di Kandang Badak. Hutan Pangrango memang lebat dan agak gelap. Banyak pohon tumbang melintang yang harus kami lalui. Jalurnya pun lumayan menguras tenaga. Menanjak dan sesekali harus sedikit memanjat akar-akaran. Sempat terbersit perasaan takut dalam benak saya di awal perjalanan ke puncak waktu itu. Alasannya karena satu-satunya orang yang tahu jalan, Chepot, agak lupa jalan. Bahkan untuk ke persimpangan jalur ke puncak Gede dan puncak Pangrango pun kami harus diantar Om Anwar karena Chepot lupa. Ternyata Chepot sudah lama tidak mendaki ke sana. Wah kacau! Namun karena saya dan mbak Ika telah mempercayakan posisi leader kepadanya maka saya berusaha untuk menghormati dan percaya padanya.

Puncak Pangarango memang biasa saja, tapi perjuangan ke sana menakjubkan. Dari puncak Pangrango kami dapat melihat kawah Gede dan gigiran kawah jalur menuju puncaknya. Sungguh indah! Lalu kami cepat-cepat berlari ke lembah Mandalawangi, tempat yang menjadi alasan utama saya menapaki terjalnya gunung ini. Cakrawala ufuk barat berselimutkan awan dan bertabur warna senja. Indah!



…..
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu
…..
(Gie ; Mandalawangi-Pangrango)

Lelah telah menggelayuti tubuh kami, tapi kami harus tetap kembali ke Kandang Badak malam ini juga. Kami masih menikmati sebotol susu coklat dan sereal berenergi serta beberapa cemilan sambil melepas senja. Hari mulai gelap dan udara benar-benar dingin. Termometer mbak Ika menunjukkan angka 10o C. Wow..! Padahal masih sore. Kamipun segera kembali ke Kandang Badak dalam sunyi malam, taburan bintang, dan sinar rembulan.













Sepi telah menjeratku di antara akar-akar yang garang
Membayangiku dengan ketakutan dan keraguan
Hanya ada teman
Serta TUHAN
Yang menjadikan malam menjadi nyaman
Dan Ia telah memberikan senyumnya
Lewat selirit bulan sabit yang dijadikan-Nya terang

buka juga ini

BERSAMBUNG

14 Juli 2010

Jalur Pendakian Gunung Penanggungan via Tamiajeng


Tulisan ini saya buat karena ada permintaan dari seseorang. Bukan cerita pendakian, melainkan tulisan tentang jalur pendakian ke Gunung Penanggungan via desa Tamiadjeng. Kebetulan saya belum pernah menuliskannya walau saya sudah beberapa kali mendaki ke sana via Tamiajeng. Semoga tulisan ini dapat membantu Anda yang membutuhkan informasi.

Desa Tamiajeng bisa ditempuh dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum.

I. Dengan Kendaraan Pribadi
Jika Anda tidak malas menyetir sendiri silakan membawa kendaraan baik motor, mobil, ataupun sepeda. Jalurnya mudah. Dari perempatan terminal Pandaan ambil jalan ke arah Tretes/Trawas (Surabaya ambil kanan, Malang ambil kiri). Lalu mengikuti jalan saja ke arah Trawas. Desa ini tidak jauh dari wisata air terjun Dlundung. Jika Anda kebingungan silakan bertanya kepada orang sekitar yang sudah terbiasa dengan para pendaki. Anda bisa menuju ke warung Mak Ti, tempat para pendaki biasa makan dan menitipkan kendaraan. Tapi saya sarankan Anda tidak menitipkan kendaraan di sini karena masih jauh dari setapak pendakian. Lebih baik Anda lurus terus di jalan yang menuju G. Penanggungan sampai melewati pertigaan dua pertigaan. Tepat di pertigaan yang kedua, di warung rujak dan tukang tambal ban, Anda bisa menitipkan kendaraan. Pemiliknya sangat ramah dan baik hati.


II. Kendaraan Umum
Jika pilihan Anda adalah kendaraan umum, silakan naik angkutan jurusan trawas dari terminal Pandaan. Tarifnya Rp5.000,- s.d. Rp7.000.-. Biasanya Anda akan diturunkan di warung Mak Ti.

Memulai Pendakian
Setelah semuanya siap, perjalanan bisa dimulai. Jangan membawa snack terlalu banyak, secukupnya saja daripada memberatkan tas. Lebih baik sebelum mendaki Anda membeli nasi bungkus di warung Mak Ti biar di atas tidak terlalu repot. Gunung ini dikenal gersang, sehingga tidak ada sumber air. Jadi bawalah air untuk persediaan minum Anda.







Waktu normal penempuhan jalur ini sekitar 4 jam, tidak terlalu santai dan tidak pula terburu-buru. Ikuti saja jalan makadam - tanah - setapak itu meliuk ke kiri dan ke kanan. Lalu belok ke kanan di pertigaan kecil. Di pertigaan itu ada pohon (ga tau namanya) yang di dahannya ada goresan tanda panah, dan di depan pohon itu ada batu seukuran kompor minyak. Setelah belokan itu ya tinggal lurus terus ke atas. Setelah satu jam nanti akan ada pos peristirahatan.

Untuk mengecek Anda salah jalan atau tidak, perhatikan posisi Anda. Bila Anda berada di punggungan dan agak jauh di kiri kanan Anda ada bukit berarti jalan Anda benar.
Bari pos tersebut perjalanan masih sekitar tiga jam lagi. Jalurnya jelas sampai ke puncak. Separuh perjalanan masih melewati hutan (hutan tanpa pohon), separuhnya lagi batu-batuan terjal. Dari bawah ke atas medannya relatif terjal dan berbatu-batu.

Sekadar informasi, 15 menit sebelum puncak ada gua yang bisa ditempati untuk tiga orang (saya pernah enam orang :p ). Anda bisa bermalam di situ tanpa mendirikan tenda atau terus ke puncak dan mendirikan tenda di puncak. Pintu masuknya sempit, tapi di dalam Anda masih bisa berdiri. Terserah Anda saja. Puncaknya sangat luas, dan banyak ditumbuhi rerumputan.






Bila pagi datang rumput yang basah oleh embun itu akan berkilau-kilau betapa indahnya. Bayangan gunung yang kerucut terbentuk di sisi barat gunung (coba perhatikan sendiri). Perkotaan akan dapat Anda lihat begitu jelas tanpa aling-aling pepohonan. Pesan saya: jangan mengharapkan lautan awan!

Oya. saya biasa memulai perjalan di sore hari untuk menghindari terik matahari dan malam harinya bisa beristirahat.
















Selamat mendaki….


note: Ada sedikit perubahan. Saya baru tahu beberapa hari yang lalu. Pertama, sekarang sudah ada pos perijinan pendakian di depan kampus ubaya, biayaya Rp 3.000,-. Kedua, pos perhutani di tengah gunung itu sudah tidak ada lagi. Sekarang bentuknya hanya tanah lapang dan di sekitarnya pun sudah tidak dijadikan ladang.

Tulisan lain tentang Gunung Penanggungan:

  1. Candi-candi di Jalur Pendakian Jolotundo
  2. Journey to The Holy Penanggungan Mountain (edisi pencarian candy)
  3. Pameran foto menelusuri gunung suci penanggungan

10 Juli 2010

Kepergiannya ke Copenhagen

Padahal baru sehari dia tak di Indonesia aku sudah kangen. Sehari semalam penuh sejak pukul 01.00 WIB 9 Juli 2010 ia naik pesawat ke Copenhagen, Denmark. Otomatis hp dinonaktifkan, dan itu berarti kami tak bisa saling kontak. Ia sempat menghubungiku waktu pesawat yang ditumpanginya transit di Qatar, itu sekitar pukul 10.00 pagi. Duhh senangnya hatiku. Tapi tadi malam aku sempat menangis kesepian karena sejak siangnya ia belum memberiku kabar. Aku merasakan hal yang sangat berbeda dari sebelumnya saat ia masih bekerja di Indonesia.

Dulu waktu dia masih di Indonesia meskipun ia sibuk aku masih tetap bisa mengiriminya SMS, dan dia pasti akan membaca dan segera membalas kala punya kesempatan. Malam tadi berbeda. Ia masih di pesawat dan itu tidak memungkinkan kami saling berhubungan. Aku rindu. Sungguh malam tadi aku rindu. Aku rindu perhatian dan suaranya yang ringan. Untung saja di hp ada rekaman suaranya saat kami bertelepon dulu. Itu sedikit menenangkan hatiku yang galau oleh rindu-rindu. Ia telah memlilih bekerja di kapal pesiar. Dan ini adalah perjalanan pertamanya, tentu saja aku tak mau mengganggu semangatnya yang membara itu. Dalam suatu hubungan tidak boleh ada keegoisan yang mendominasi. Memang sulit untuk menyatukan dua pemikiran yang berbeda. Kita harus saling mengerti. Toh ia berjanji tak akan naik kapal lagi setelah kami menikah. Biarlah ia pergi melihat dunia luas. Rindu hanya permasalahan hati. Aku masih bisa menunggu.

Bangun tidur pagi tadi aku bisa tersenyum, meski dengan mata bengkak, mendapati satu SMS darinya yang mengabarkan ia sudah tiba di Copenhagen. Lalu segera aku buka facebook, dan benar saja di sana aku temui beberapa aktivitasnya membalas kalimat rinduku. Bahagianya aku.

Ternyata perasaanku begitu dalam padanya. Perasaan yang terbangun hampir dua tahun. Semoga Allah meridhoi hubungan kami dan segera memersatukan kami dalam ikatan suci setelah ia pulang delapan bulan nanti. Amin.