19 Juli 2010

Pendakian Gunung Gede-Pangrango (tahun 2009)




Foto-foto bisa dilihat di sini.

Dua kali sudah saya membatalkan rencana trip mendaki ke Gede- Pangrango (3019 dan 2958 mdpl). Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi ketidakkonsistenan saya ini. Tidak perlu saya sebutkan semua, tetapi salah satu di antaranya adalah karena tidak adanya partner dari Surabaya. Agak susah juga kalau saya harus berangkat ke kota nun jauh di sana sendirian. Namun, sepertinya keinginan mendaki ini benar-benar telah mendorong saya untuk tetap berangkat walau sendiri.
ada keinginan yang meragukan
ada harapan yang menjanjikan
ada perkataan yang melemahkan
ada semangat yang menguatkan
dan ada satu hati dan pikiran yang mengambil keputusan
Jumat, 26 Juni 2009
Singkat cerita akhirnya saya berangkat juga ke Jakarta. Setelah perjuangan dua hari sebelumnya dalam berebut tiket kereta dengan calon penumpang lain. Waktu itu musim liburan sudah tiba, jadi dapat dipastikan harga tiket kereta api naik dan tempat duduk sudah terisi nama-nama calon penumpang. Dan sepanjang malam sebelum saya tiba di Jakarta hanya saya lalui sendiri. Bahkan dengan orang sebelah pun saya tidak saling bercakap-cakap. Untungnya tempat duduk saya di kursi D, yang berarti dekat jendela, sehingga saya dapat menghibur diri dengan menikmati pemandangan di luar jendela. Gelap. Romantis sekali meski saya hanya sendiri. Teringat adegan-adegan di sinetron atau film ketika aktornya sedang naik kereta lalu menatap keluar jendela dengan isak tangis meninggalkan kekasih hatinya ataupun tersenyum penuh debaran karena di stasiun terakhir nanti akan ada seseorang yang menunggunya. Memang benar-benar romantis.

“Neng, kenalan dulu, saya Mang Idi,” kata seorang bapak sembari mengulurkan tangannya kepada saya untuk bersalaman. Tidak lupa sesungging senyum tergambar jelas di raut wajahnya yang telah keriput. Sungguh sambutan yang hangat dari dan untuk orang yang baru dikenal. Warung Mang Idi, tempat saya dan beberapa teman mendaki malam itu beristirahat di Cibodas. Sebagian sudah saya kenal pada trip-trip sebelumnya: Om Anwar dalam pendakian ke G. Arjuno-Welirang, Chepot dalam pendakian ke Semeru. Dan yang baru saya kenal hari itu adalah Mbak Ika dan Mz Ari dari Cirebon. Masih ada dua orang lagi kawan dari Jakarta yang hendak mengantar kami sampai Air Terjun Cibeureum, yaitu Mbak Susan dan Mz Arief.

Sabtu, 27 Juni 2009
Menuju Kandang Badak
Pukul 07.15 pagi kami sudah tiba di depan pos informasi dekat basecamp Montana setelah sebelumnya melapor di pos perijinan. Kami mengawali trip ini dengan doa bersama. Sebuah permohonan kepada Allah untuk keselamatan, kegembiraan, dan kemudahan kami dalam mendaki gunung ini. Setelah berjalan kurang lebih setengah jam tibalah kami di Telaga Biru, dan berjalan lagi sekitar 20 menit untuk tiba di Pos Panyangcangan. Tidak perlu terlalu mengkhawatirkan medan yang dilalui, semuanya telah ditata rapi dan Insya Allah aman dilalui. Tidak terlalu menanjak, lumayan untuk sekedar pemanasan pagi hari.


Seperti rencana awal bahwa Mz Arief dan Mbak Susan hanya akan mengantarkan kami samapi Cibeureum, maka kamipun menuju ke sana. Bisa ditempuh sekitar 10 menit dari Panyangcangan. Deburan air terjun yang enak dipandang sambil menikmati sarapan pagi saya. Sarapan nasi bungkus yang saya beli di warung Mang Idi. Dari Cibereum kami kembali ke Panyangcangan. Trip ini dilanjutkan oleh kami berlima.


Butuh sekitar 2,5 jam dari pos Panyangcangan untuk tiba di Pos Air Panas. Jalannya berbatu-batu dan agak menanjak. Jalan yang membosankan. Untung saja tidak panas seperti makadam di jalur pendakian G.Welirang via Tretes. Di sini hutannya memang terjaga. Rindang dan nyaman. Itu kesan saya. Pelajaran berharga dalam mengatur ritme berjalan saya dapat dari Om Anwar. Berjalan di belakangnya dan mengikuti langkahnya membuat saya dengan sendirinya mengatur ritme berjalan, nafas, dan istirahat. Terima kasih, Om…. ^_^

Medan setelah Kandang Batu agak menanjak juga. Cukup menguras energi. Untungnya Om Anwar yang telah mengetahui medan mengajak kami menyempatkan makan siang di sebuah dataran, lima menit dari Kandang Batu di dekat air terjun kecil. Kandang Batu letaknya tidak jauh dari Pos Air Panas, hanya sekitar 10 menit berjalan kaki. Dari tempat itu kami masih membutuhkan waktu satu jam untuk tiba di Kandang Badak. Lega rasanya siang itu kami tiba di Kandang Badak. Sepertinya kami masih sempat untuk mendaki ke puncak Pangrango. Istirahat sebentar lalu mendirkan tenda untuk tidur kami malam ini.

Kandang Badak – Mandalawangi (PP)
Setelah musyawarah untuk mufakat akhirnya disetujui bahwa yang akan ke puncak Pangrango hanya tiga orang, yaitu saya, Mbak Ika, dan Chepot. Sedangkan Mz Arik dan Om Anwar tetap di Kandang Badak. Hutan Pangrango memang lebat dan agak gelap. Banyak pohon tumbang melintang yang harus kami lalui. Jalurnya pun lumayan menguras tenaga. Menanjak dan sesekali harus sedikit memanjat akar-akaran. Sempat terbersit perasaan takut dalam benak saya di awal perjalanan ke puncak waktu itu. Alasannya karena satu-satunya orang yang tahu jalan, Chepot, agak lupa jalan. Bahkan untuk ke persimpangan jalur ke puncak Gede dan puncak Pangrango pun kami harus diantar Om Anwar karena Chepot lupa. Ternyata Chepot sudah lama tidak mendaki ke sana. Wah kacau! Namun karena saya dan mbak Ika telah mempercayakan posisi leader kepadanya maka saya berusaha untuk menghormati dan percaya padanya.

Puncak Pangarango memang biasa saja, tapi perjuangan ke sana menakjubkan. Dari puncak Pangrango kami dapat melihat kawah Gede dan gigiran kawah jalur menuju puncaknya. Sungguh indah! Lalu kami cepat-cepat berlari ke lembah Mandalawangi, tempat yang menjadi alasan utama saya menapaki terjalnya gunung ini. Cakrawala ufuk barat berselimutkan awan dan bertabur warna senja. Indah!



…..
Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu
…..
(Gie ; Mandalawangi-Pangrango)

Lelah telah menggelayuti tubuh kami, tapi kami harus tetap kembali ke Kandang Badak malam ini juga. Kami masih menikmati sebotol susu coklat dan sereal berenergi serta beberapa cemilan sambil melepas senja. Hari mulai gelap dan udara benar-benar dingin. Termometer mbak Ika menunjukkan angka 10o C. Wow..! Padahal masih sore. Kamipun segera kembali ke Kandang Badak dalam sunyi malam, taburan bintang, dan sinar rembulan.













Sepi telah menjeratku di antara akar-akar yang garang
Membayangiku dengan ketakutan dan keraguan
Hanya ada teman
Serta TUHAN
Yang menjadikan malam menjadi nyaman
Dan Ia telah memberikan senyumnya
Lewat selirit bulan sabit yang dijadikan-Nya terang

buka juga ini

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar