19 Juli 2010

Pendakian Merbabu-Merapi (Bag.I)


Foto-foto bisa dilihat di sini.

Desember 2008
Bagian I – Merbabu Jalur Wekas-Selo
Kisahku bersama Dina, Dedi, Uchit, Jupi, Fariez, Eko, Cempluk, Tovik, Hero, Dito, Ikhwan, dan Dwi

Menuju Base Camp

Kami menyusuri aspal jalanan menuju base camp pendakian Gunung Merbabu. Hari sudah beranjak sore ketika itu. Kira-kira pukul 14.00 WIB. Terbayang bagaimana matahari masih sangat menyengat di atas kepala. Keringat setetes demi setetes membasahi kulit-kulit kami. Kami yang tadinya berjalan bersama kini mulai terpecah-pecah. Setelah jalan beraspal, kami menyusuri jalanan makadam yang diadakan perbaikan jalan. Jalanan ini kurasa sangat panjang. Aku mulai lelah dan jalankupun semakin lambat. Kabut mulai datang di antara pinus-pinus tepi jalan. Dingin….

Camp Pos II
Sedikit barmalas-malasan kami melipat SB yang baru kami pakai. Kemudian merasakan dingin air wudhu dan melaksanakan shalat. Mz Cempluk dan Mz Eko sebagai leader karena di antara kami ber-13 hanya mereka yang pernah mendaki gunung ini. Bintang malam tidak hanya bersinar di langit, bahkan mereka berkilau-kilau begitu indah di bawah sana. Bumi seakan menjadi cermin bintang-bintang angkasa. Subhanallah.. Subhanallah.. Dalam lelahku aku merasakan begitu besar keagungan Allah. Mendaki untuk tadabbur alam. Kusaksikan kebesaran-Nya

Tanjakan-tanjakan terjal kami lalui.
Nafasku begitu terengah merasakan lelah di kaki dan berat keril di punggung. Untung saja dome tendaku sudah dibawakan Mz Tovik sehingga hanya framenya saja yang tertinggal di kerilku. Namun begitu, dua kali aku sempat merasakan pusing dan sekilas sekitarku menjadi gelap. Untung saja aku tidak pingsan.

“Wah di atas badai nih. Anginnya gede banget. Ntar kita camp di pos II aja,” kata mz Cempluk. Dan kami semua mengiyakan saja karena tidak mengetahui bagaimana medannya.
Tawa canda masih mewarnai perjalanan kami. Saling bahu membahu membantu teman melewati tanjakan terjal.
Tanganku dingin sekali. Bukan hanya tanganku, tapi seluruh badanku. Gigiku gemeretak. “Ah.. kok aku payah sih, kok aku lemah. Ayo Nurul semangat!” kataku dalam hati tuk menyemangati diriku sendiri. Aku YAKIN aku BISA.
Setapak tidak lagi berupa tanjakan terjal. Aku bisa melangkahkan kakiku dengan agak cepat. Dan di depan sana ada tanah datar yang luas. Ah.. akhirnya… Pos II (mata air). Jam menunjukkan pukul 12.05 WIB. Di sisi kiri di atas bukit jauh di sana nampak pemancar berdiri kokoh dalam dingin.

Kubongkar kerilku, kukeluarkan frame dan kubantu teman-teman mendirikan tenda. Setelah itu aku beristirahat dalam hangatnya SB di dalam tenda yang bergoyang-goyang karena hembusan angin.

Beratnya Menuju Puncak


Kuingat pesan ibuku untuk tidak meninggalkan shalat. Walau sedikit malas, subuh itu aku bangun dan kulaksanakan shalat subuh. Kemudian bersama Mz Uchit menyaksikan lukisan alam yang begitu indah. Hamparan awan kapas dan jajaran Gunung Sundoro, Gunung Sumbing, Telomoyo. Di bawah sana, di jurang dan lembah yang dalam nampak deburan air terjun dan mengalir sebuah sungai berbatu di bawahnya. Subhanallah…
Pukul 09.20 a.m. kami berdoa bersama dan melanjutkan perjuangan ini. Jalan yang kami lalui terasa semakin menanjak. Tumbuh-tumbuhan pun lebat karena musim penghujan. Dan pemandangan alam Merbabu sangat menawan menguatkan tekad untuk mencapai puncak.
“Nduk, arbei tuh.”
“Sek, sek mz, tunggu!! Aku panen dulu, hehe..” kataku begitu senang.
Sejam dua jam kami terus berjalan. Sekian bukit kokoh aku saksikan, kukira itu puncak, tapi ternyata bukan. Hehe… Di balik bukit masih ada bukit lagi. Fuih….!!

Puncak Euy…
Aku tidak tahu apa nama tempat-tempat yang aku lalui. Yang kutahu hanya saat kami menapaki jalan terjal di antara jurang di sisi kiri dan kanannya, itu adalah Jembatan Setan. Merambati tebing menakutkan dalam gerimis yang melicinkan batu pijakan. Basah, kotor, dan dingin… alhamdulillah kami tiba di persimpangan. Waktu itu kira-kira pukul satu siang. Kami beristirahat sebentar kemudian beberapa orang, termasuk aku melanjutkan ke Puncak Syarif (3119 mdpl). Angin kencang dan kabut menyambut kami di puncak.
Tak lama kami kembali ke persimpangan, mengambil keril dan melanjutkan ke puncak Kenteng Songo (3142 mdpl). Betapa haru hatiku. Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena mengijinkan kami menginjakkan kaki di puncak. Kegembiraan kami lampiaskan melalui foto-foto dengan berbagai pose. Beberapa cemilan dan susu kami keluarkan untuk tambahan energi. Sebelum turun aku menyempatkan shalat dhuhur dan ashar yang kujamak, sembari berdoa agar kami selalu dikaruniai keselamatan dan kebahagiaan oleh Allah.

Selo yang Menjadi Seli
Sekitar pukul 15.00 kami turun arah jalur Selo. Kami menuruni lereng bukit yang hijau dan pemandangan di depan mata begitu menggoda. Sungguh indah seakan-akan kata tak mampu menggambarkannya. Setelah di bawah, di persimpangan jalan kami berhenti dan menatap setapak yang baru kami lalui, wow..!!!
Keren!!! Kami melanjutkan perjalanan dengan mengambil percabangan itu ke arah kiri. Tidak lama berjalan di antara semak kami melewati sebuah savana luas yang begitu indah. Rumput-rumput yang hijau namun kecoklatan. Aku benar-benar takjub dengan pemandangan indah ini. Aku jadi teringat Cikasurnya Argopuro.

Kembali kami berjalan mengikuti setapak-setapak di savana itu. Naik bukit dan menuruni lereng-lereng yang kuanggap vertikal karena susah sekali melaluinya sampai terperosok dan tersungkur bersama tanah dan rumputan. Sungguh aku berjalan sangat lambat, paling belakang, dan ditemani Mz Tovik pendaki yang baik hati itu. Makasih ya Mz… Hingga sampailah kami di tempat yang namanya “Batu Tulis”. Di sini kami beristirahat sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.30 p.m. Hari hampir gelap dan kabut sesekali menyapa.

Sempat terjadi kebingungan menentukan percabangan mana yang harus kami lewati untuk tiba di Selo karena di sini terdapat tiga percabangan. Dan di antara kami ber-13 tak seorangpun pernah turun lewat Selo. Tentu saja kami mengambil jalan yang tengah karena merupakan setapak yang paling jelas dan nampaknya sering dilewati.

Hari mulai gelap. Kami hanya berjalan sebelas orang. Dua orang lainnya yaitu Mz Hero dan Mz Eko sudah termat jauh di depan entah di mana. Kami sempat sedikit geram namun khawatir kalau-kalau mereka tersasar. Kami terus menuruni lereng-lereng perbukitan. Kakiku semakin sakit saja, aku tidak terbiasa berjalan selama itu. Ritme perjalanan kami semakin lambat. Aku tahu semuanya lelah dan ingin segera tiba di base camp. Namun, ladang penduduk saja belum kami jumpai. Sempat terdengar adzan magrib di kejauhan. Kami merasa sudah dekat, sebuah harap seakan menerangi gelap hari itu. Kami terus berjalan dan berjalan. Adzan isya’ terdengar, berarti sekitar pukul 19.00 WIB. Terus dan terus berjalan menembus kabut tebal dan gerimis malam itu. Lampu-lampu di bawah sana tak terlihat, apa yang di depan, bukit, jurang atau gunung tak dapat kami lihat. Ladang-ladang penduduk di lereng terjal telah kami lalui. Hingga kami tiba di sebuah pertigaan. Bingung harus ke arah mana. Sedikit mencoba-coba kompas dan GPS yang dibawa Mz Uchit akhirnya kami belok ke kiri.

Tidak lama kemudian Mz Jupi kontak telepon dengan Mz Eko yang sudah tiba duluan di desa. Berikutnya kami dijemput penduduk dan ditunjukkan jalan ke tempat mereka. Kami tiba di rumah penduduk yang entah siapa namanya (lupa, hehe) sekitar pukul 21.30 WIB. Lelah, lapar, sakit di kaki, dan syukur akhirnya aku tak harus berjalan lagi. Desa itu bernama desa Gesikan. Ternyata kami tersasar 6 km jauhnya dari Selo. Kami menamai sendiri jalur tadi dengan sebutan “jalur Seli”, jalur kenangan kami.

Setelah makan nasi dari tuan rumah dan nasi bawaan Mz Amsi dan mba Salma yang jauh-jauh datang menemui kami akupun tertidur pulas berharap esok hari kakiku tak sakit lagi dan bisa melanjutkan ke Merapi. Aku bermimpi indah malam itu, bermimpi berlari-lari di savanna Merbabu.
Aku teramat takjub dengan savanna itu.

Untuk teman-teman seperjalanan, mungkin kita akan merindukan savana itu lagi. Datanglah ke sana dan baca kembali untaian kisah menarik antara Kenteng Songo – Savana indah – Batu Tulis – dan Selo yang menjadi Seli.

3 komentar:

  1. wuasyeeem....hebaaat...banyak gunung2 yang udah kamu daki...lha aq gak seberapa...kebanyakan gunung2 pendek...yang tinggi2 baru merapi, lawu, arjuna...kedepan lanjut welirang, merbabu, gede...untuk tahun ini...

    BalasHapus
  2. waduh-waduhh.. berlebihan itu mas. Hebat apanya tho :)
    yup moga2 kepengenan mas buat mendaki gunung2 itu tercapai yaa

    BalasHapus
  3. pokoke hebat lah...he..he..

    BalasHapus