Dua orang yang pernah bersahabat belum tentu memiliki pilihan hidup yang sama. Setiap orang punya keinginan, cita-cita, lingkungan, dan cara pandang yang berbeda, termasuk aku dan sahabatku itu.
Aku tidak yakin kami masih bisa disebut sebagai sepasang gadis yang bersahabat, pasalnya kami sudah lama sekali tidak berjumpa. Kalaupun berjumpa, kami hanya saling melempar senyum dan sapaan singkat. Kami bersahabat selama tiga tahun zaman SMP, kira-kira sejak tujuh tahun yang lalu. Lalu kami dipisahkan oleh pilihan SMA yang berbeda. Takdir membawaku hidup di lingkungan SMA favorit di kotaku yang di dalamnya sangat kental dengan nuansa Islami walaupun itu sekolah negeri. Sedangkan ia masuk di sekolah swasta pinggiran yang siswa-siswinya dikenal sedikit kurang teratur. Aku masuk pagi, dia masuk siang. Kalau malam datang aku jarang keluar karena sudah disibukkan dengan tugas-tugas. Sudah, semakin jauhlah kami berdua.
Lebih kurang seminggu lalu aku sebagai penggagas acara bukber III B mendatanginya. Aku datang kerumahnya dengan ditemani seorang teman gadis dan tiga orang teman pria. Waktu aku datang dia sedang nonton televisi dengan rambut diikat ke belakang, kaos putih ketat, dan hot pants hitam. Dia tidak langsung menemui kami, tapi masuk ke kamarnya beberapa saat. Dan ketika ia keluar kamar aku baru sadar bahwa dia telah banyak berubah dan aku tidak pernah mengikuti perubahan itu.
Aku sungguh risih dibuatnya. Kukira ia akan ganti dengan busana yang lebih sopan, tapi ternyata hanya membenahi dandanan. Alisnya masih nampak tebal seperti dulu, tapi sekarang dengan polesan, bukan alis tebal yang dulu selalu aku sukai. Wajahnya masih cantik, tapi tak seindah dulu, setidaknya itu menurutku. Aku yakin mata teman-teman pria di sebelahku sedang dimanjakan oleh keelokan tubuhnya.
“Kon tambah putih ae,” kata seorang teman pria padanya.
“Halah nggak kok biasa ae,” jawabnya singkat sambil tersenyum malu, terlihat manis sekali dengan lesung pipinya.
Aku risih, malu, dan sedih. Inikah temanku yang dulu itu? Di mana aku saat ia mulai berubah menjadi gadis dewasa yang seperti itu. Pun aku semakin sedih ketika ia dengan bangga bercerita tentang pacar dan selingkuhan-selingkuhannya sejak zaman SMA dulu. Tak malukah engkau bercerita tentang kelincahanmu itu, Kawan? Aku masih ingat beberapa tahun lalu ia berkunjung ke rumahku dan berkata, ”Ayo ngumpul rek, tapi nggowo gendakane dewe-dewe yo!” Terkejut aku dibuatnya. Di SMA-ku kata ”gendakan” hampir tidak pernah terdengar. Kami lebih suka menggunakan kata-kata yang sopan dan itu sudah menjadi kebiasaan kami.
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Pilihan jalan kami sudah berbeda. Aku hanya berharap kami tidak berjalan ke arah yang salah. Jika saat ini kami salah, biarkan kesalahan-kesalahan itu menjadi pengalaman yang dapat menyadarkan kami akan keagungan-Nya dan mendekatkan kami pada-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar