18 September 2010

Pulang Kampung


Sebelumnya saya mengucapkan selamat berlebaran, minal aidzin walfaidzin, mohon maaf lahir batin. Maafkanlah saya yang banyak khilaf dan sering merepotkan ini. Rupanya Ramadan sudah berlalu seminggu, dan sekarang sebagian besar masyarakat Indonesia pun sudah kembali dengan rutinitasnya, ada yang kuliah, sekolah, kerja, atau cuma ongkang-ongkang kaki di rumah setelah mudik atau pulang kampong.

Begitu pun dengan saya. Seminggu yang lalu mulai hari lebaran sampai H+3, saya pulang kampung, ehhmm lebih tepatnya ikut orang tua pulang kampung. Kampung Ibu adalah sebuah desa di kaki Gunung Welirang, dekat dengan wisata pemandian air panas Pacet. Tapi di kampung ibu masih sangat minim sinyal, dan jalanan jelek. Begitu juga kampung bapak, ada di perbatasan Mojokerto dengan Lamongan, di sekitar perbukitan kecil, dan masih agak tertinggal. Setiap tahun sejak kecil saya selalu ikut ibu dan bapak pulang kampung. Setiap kali itu juga saya mengamati lingkungan dan fenomena di sana.

Kampung Kelahiran Ibu
Di sana warganya sudah banyak yang kaya (yang miskin juga masih banyak), sudah banyak yang merantau baik ke luar kota maupun ke luar negeri, sudah banyak yang bergaya orang kota, tapi sayang mereka tidak menyaring pengaruh-pengaruh dari luar dengan membuang yang buruk dan mengambil yang baik. Banyak dari para perantau itu yang kembali ke kampung dengan dandanan menor dan berkata-kata dengan bahasa daerah rantau sok kegaul-gaulan (padahal ngguilani). Sanak saudara mereka pun dijejali gaya hidup yang mewah, hape mahal, perhiasan yang sebenarnya (menurut saya) tidak lebih penting dari MORAL dan ILMU. Harusnya para perantau itu membawa suatu pelajaran berharga dari kota besar, kalau perlu mengajarkan agar sanak sudara mereka melek teknologi informasi dan komunikasi, jadi punya hape bagus itu tidak sekadar untuk SMS dan teplon. Harusnya para perantau itu menunjukkan kepada anak-anak mereka bahwa ilmu pengetahuan dan agama itu PENTING dan menunjukkan bahwa seseorang tidak akan menjadi siapa dan apa tanpa ilmu dan agama. Perantau-perantau itu pun tak akan jadi apa-apa di luar sana tanpa ilmu dan agama. Kosong. Miris sekali saya melihat rumah-rumah bagus tapi plafon musalla yang jebol dibiarkan begitu saja, pun ketika pagi hari mereka shalat Ied siangnya enggan pergi salat Jumat dan malah asik dengan hape. Yang miskin masih miskin, yang berduit malah keblinger. Sekali lagi, orang tanpa ilmu dan agama adalah nol.

Kampung Kelahiran Bapak
Kesamaan kampung bapak dengan kampung ibu adalah keduanya merupakan desa yang agak tertinggal. Namun perhatian saya tertuju pada hal-hal mistis yang masih banyak bermunculan di sana. Setiap kali saya ke sana pasti saya akan mendengar cerita-cerita aneh mulai dari orang yang memelihara tuyul, orang kesurupan, raksasa besar warna hijau di bawah pohon randhu tempat minta nomor togel, juga ular besar yang mendiami rumah salah seorang warga tapi tidak terlihat oleh warga lain, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebenarnya asik juga mendengar cerita seperti itu, apalagi mereka menceritakannya dengan gaya khas pedesaan dan sangat meyakinkan. Saya antara percaya dan tidak percaya. Saya yakin makhluk gaib itu ada, tapi saya tidak pernah melihatnya secara langsung, dan saya cuma bisa tertawa mendengar ada yang minta kepada setan. Lha Tuhanmu di mana, Wong? Hehe…

Cuma itu yang ingin saya ceritakan. Pesan moralnya adalah bekali hidup dengan agama dan ilmu. Mari melihat dan mendengar fenomena sekitar, menelaah, dan menemukan hal-hal positif untuk kita ikuti!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar