
Tulisan ini saya buat agar kelak saya tidak lupa bahwa ternyata saya punya banyak kenangan-kenangan indah, di tempat-tempat yang indah, juga dengan teman-teman yang menyenangkan. Mengapa saya baru menulisnya sekarang? Itu karena saat peristiwa ini berlangsung saya belum mempunyai blog. Maka setelah saya punya blog, saya ingin memasukkannya agar bisa saya baca lagi kelak di kemudian hari.
Jawa Timur, 5-6 April 2008, ini adalah pengalaman saya yang paling berkesan dengan teman-teman JPers karena inilah kali pertama aku mengenal mereka secara langsung dalam sebuah trip “nekat” Ya, saya mengatakan ini nekat karena saat itu saya adalah seorang anak rumahan yang nekat pergi ke Malang sendirian menyusul mereka. Teman-teman JPers sudah di Malang sejak sehari sebelumnya untuk menghadiri acara seminar Jejak Petualang. Saya tidak bisa ikut karena harus mengikuti istighosah di SMA dengan harapan lulus UN. Singkat kata setelah istighosah saya meluncur ke Malang sendirian dengan bus, dan dijemput mas Kohan di terminal Arjosari.
Dari Arjosari kami meluncur ke Ranupani, sebuah desa tertinggi di Jawa. Saat itu senja sudah menghilang di ufuk. Kami meluncur dengan kecepatan sedang mengikuti jalan yang meliuk, menanjak, dan terjal. Udara saat itu sangat dingin, dengan kanan-kiri jalan hutan dan beberapa desa yang geliat kehidupannya sudah berpusat di dalam rumah. Sekali waktu aku harus turun dan berjalan karena motor mas Kohan menyerah pada tanjakan terjal. Sekitar pukul 9 malam kami tiba di desa tersebut, yang sangat dingin, tapi hangat dengan keakraban yang aku temukan di antara hutan dan bebukitan.

“Hwaaa…… mas fotoin aku..!!” teriakku sambil berlarian ke tepi danau. Mas-mas itu hanya senyam senyum saja sambil membidikku dengan kameranya. Betapa indah pemandangan di depanku saat itu. Tampak sebuah danau berwarna putih yang mengambang di atasnya dengan angsa-angsa berkeliaran di sekelilingnya plus puncak Mahameru menyapa di baliknya. Subhanallah….
Kulihat di sana beberapa bapak-bapak sedang memancing. Wow hebat! Padahal udara saat itu masih sangat dingin, mungkin sekitar 15-20 derajat celcius.
“Masih ada lagi, Rul. Di balik pura itu ada terusan danau ini, trus di sebelah sana ada satu danau lagi”terang salah seorang dari mereka.
Kamipun melanjutkan jalan-jalan ke balik pura, dan benar saja, kutemu satu lagi danau berselimut kapas di sana . Cemara-cemara sedikit berayun karena angin, bukit-bukit kokoh tegak berdiri dengan kol dan bawang yang ditanam di sana . Kami menapaki jalan mengelilingi danau dengan penuh kekaguman. Tangan arsitektur besar telah merancang desa ini menajdi sedemikian indah. Tidak hanya di waktu malam, tapi pagi seperti ini semua nampak lain. Kami terus saja mengelilingi danau itu,namanya Ranu Pani, tiba-tiba kami seperti memasuki hutan kecil berhawa lebih dingin, mungkin karena lebatnya pepohonan,
“Ini Ranu Regulo,” kata teman saya.
“Subhanallah… Tak kalah dengan Ranu Pani. Danau ini dikelilingi bebukitan dan rumputan. Ada sebuah rumah panggung di sana yang semakin menambah keeksotisannya. Kulihat beberapa rombongan lain ada yang mendirikan tenda di sana , dan yang membuatku kaget adalah ada yang mandi di sana . Astagaaa!! Apa mereka nggak kedinginan ya???
Semakin lama surya mengintip dari balik bukit. Gambaran mudahnya adalah matahari muncul di antara gundukan dua bukit, seperti yang digambarkan anak SD. Tentu saja hal ini tergantung dari posisi matahari. Semakin tinggi matahari kami semakin merasa hangat. Setelah puas berpose narsis kami pun kembali ke rumah Kades.

Menjelang siang kami melanjutkan perjalanan menuju Bromo. Melalui seperempat bagian jalan yang kami lalui semalam. Di sebuah tempat yang bernama Bantengan kami berhenti. Ini adalah tempat yang kiri kanannya jurang. Kalau jatuh belum tentu selamat. Tapi kami tak kuasa untuk meninggalkan keindahan itu. Sebuah lapangan golf besar dan luas terpampang di depan kami dengan bukit teletubbies berbaris di sebelahnya. Ada seruas jalan di bawah sana yang kukira adalah sungai. Kami berfoto di sana , dan siap melewatinya setengah jam lagi dalam perjalanan menuju Bromo.

Menuju air terjun itu kami harus melewati dan menyeberangi sungai berbatu, meniti setapak, melewati air terjun kecil, hingga sampai pada air terjun utama. Berada di sana seolah-olah berada di bawah dasar tabung raksasa. Gara-gara menolak tawaran jasa penyewaan payung, jadilah kami basah kuyup. Padahal posisi kami tidak berada tepat di bawah air terjun, hanya sedikit mendekat. Sudah terlanjur basah ya sekalian basah-basahan saja. Hehe….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar