19 November 2010

JPers Surabaya Pindah Profesi Menjadi Tukang Sate



Rasanya sudah lama sekali JPers Surabaya tidak berkumpul bersama ramai-ramai. Saya sudah rindu. Yang saya rindukan memang bukan pacar, melainkan teman bermain, berkumpul, dan berbagi duka-tawa. Kalau saya ingat-ingat, dulu kami sering sekali berkumpul bersama walaupun Cuma sekadar cangkruk nggak jelas di pelataran FT Unesa.

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kabar bahwa salah seorang dari kami, yakni mas Kohan, akan pindah dari Surabaya untuk mengejar hidup yang lebih baik. Wah.. JPers Surabaya bakal kehilangan salah satu personel nih. Saya berada di antara rasa kehilangan tapi juga senang. Siapa sih yang nggak senang kalau temannya sukses? Ya saya hanya bisa berdoa semoga yang terbaik buat teman-temanku. Amin.
Kebetulan sekali lebaran Idul Adha datang. Saya pun berinisiatif mengajak mereka berkumpul di rumah untuk nyate bareng dalam rangka kumpul bareng dan melepas Mas Kohan bekerja di luar Jatim. Pinginnya sih ramai-ramai, tapi apa daya, saya takut juga kalau misalnya persediaan daging terbatas. Jadi yang diundang hanya lima orang. Tapi sayang pas hari H, salah seorang tak datang, jadi tinggal empat orang. Tak apalah. Meskipun cuma empat orang, rumahku yang sempit itu sudah terasa penuh.

Saya bertugas motongin daging, Mas Kohan dan Mas Fahad yang menusuk-nusuk, Mas Doi tukang kipas-kipas, dan Mas Wahyu tukang foto. Alhasil sate kami berhasil tersajikan di meja walaupun sudah banyak yang dimakan saat nyate. Huuuuu….! Makanan yang sudah tersaji di meja pun segera kami serbu. Mas-mas itu sampai nambah lagi sepiring. Sate pun lenyap, tinggal tusukannya. Gulai tinggal sedikit. Setelah itu mereka tepar kekenyangan di teras rumah.
Terima kasih buat ibundaku yang sudah menyiapkan bumbu untuk bakar sate, bumbu makan sate, rujak buah, es teh, nasi, dan sepanci gulai kambing. Maafkanlah anakmu ini yang membawa bala tentara penghabis makanan ke rumah (hehe..). Dan terima kasih Ibu telah dengan senang hati menerima Mas-masku ini.

Hutan Primer di Tengah Kota, Kenapa Tidak

19 Oktober 2010
Hari kedua perjalanan tim 29 ACI Detikcom
Menurut jadwal dari panitia, hari ini kami akan terbang ke Sintang pukul 13.00 WIB. Meski begitu kami tidak bermalas-malasan di pagi hari. Kami sibuk dengan tulisan dan foto yang harus kami publish ke web ACI. Sekadar informasi, panitian ACI mengharuskan setiap tim untuk mengirimkan dua cerita dan sepuluh foto setiap harinya. Sekalian saya menyelesaikan tugas kuliah –analisis cerpen Seno Gumira- yang harus segera saya kirimkan ke email dosen pengampu mata kuliah tersebut. Tapi otak saya benar-benar “butek” kala itu. Jadi saya mengerjakannya asal-asalan. Asal selesai, asal terkumpul. Maafkan saya, Pak N***d.

Penerbangan dengan Kalstar
Menjelang siang, saya dan partner melaju ke Bandara Supadio. Biaya taxi dari Hotel 95 sampai ke bandara adalah Rp70.000,-. Penumpang pesawat Kalstar (nama maskapai penerbangan dari dan ke Sintang) tidak banyak. Mungkin sekitar 20-an. Tempat duduk ketika di dalam pesawat pun suka-suka. Siapa cepat dia dapat. Kebetulan waktu itu saya masuk belakangan, tinggal kursi paling depan saja yang kosong. Untungnya dekat jendela, jadi saya bisa menikmati pemandangan alam Kalbar dari ketinggian.
Kondisi saat itu sedang berawan. Pesawat kecil itu agak bergetar-getar naik turun. Jujur saya takut. Tapi Alhamdulillah semua berakhir dengan menyenangkan, selamat sampai tujuan dalam waktu satu jam. Bahkan teman saya sangat senang dengan maskapai ini karena pramugarinya masih muda, cantik, dan seksi. Info mengenai maskapai Kalstar bisa dilihat di sini.

Hutan Primer Tengah Kota
Setibanya di Bandara Susilo, Sintang, pukul 14.00, kami langsung disambut guide dari Komunitas Pariwisata Kapuas Hulu (Kompakh). Ada Bang Hermas dan Bang Darius. Merekalah yang akan menemani perjalanan kami selama 12 hari. Setelah itu kami langsung diantar ke Hotel Sakura (salah satu hotel paling bagus di Sintang yang menurut saya nggak bagus-bagus amat) untuk berisitrahat sebentar.
Menjelang sore barulah kami mulai jalan-jalan. Yang kami tuju adalah Hutan Wisata Baning, hutan primer seluas 215 ha di pusat kota Sintang. Sebelum ke sana saya membayangkan akan berjalan melewati setapak tanah. Karena itulah saya sempat bertanya kepada guide harus memakai sepatu atau sandal, dan mereka menjawab lebih baik pakai sepatu. Namun, setelah di sana bayangan saya tadi hancur. Bukan setapak tanah yang saya lewati, melainkan jembatan kayu selebar 80 cm yang memanjang dari start sampai finish di seberang hutan nanti. Jembatan ini dibuat karena ini merupakan hutan gambut, sehingga tanahnya selalu basah. Bang Edy, salah satu guide dari Komunitas pariwisata Sintang (Kompas) mengatakan tempat ini sering digunakan untuk jogging track, tempat belajar siswa, dan yang paling tidak menyenangkan adalah tempat untuk pacaran. Memang, tepat di tengah hutan, jembatan ini bercabang dua ke kanan dan kiri (membentuk perempatan) yang di ujungnya terdapat gazebo yang bias difungsikan untuk berbagai jenis kegiatan.
Selain itu, para guide juga menjelaskan beberapa fungsi tumbuh-tumbuhan, baik untuk kesehatan maupun kerajinan. Di hutan ini kami juga menemui banyak sekali sarang semut berbentuk bulat penuh sebesar bola sepak, tupai, serta suara burung-burung. Menarik memang, sayangnya aset wisata Sintang ini tidak dikelola dengan baik sehingga tampak terbengkalai, banyak sampah, dan atap gazebonya rusak di sana-sini. Kalau rusak dan kotor siapa coba yang mau datang?

Makan Malam di Tepi Kapuas

Malam harinya kami makan malam di RM Terapung Saka 3. Letaknya di Jalan Pangeran Muda, Kelurahan Tanjung Puri, Kecamatan Sintang (Komplek Rumah jabatan Bupati Sintang). RM ini terapung di tepi Sungai Kapuas. Jelas saja ikan-ikan yang disajikan pun hasil dari Sungai Kapuas. Ikan yang saya rekomendasikan adalah ikan bawal sungai, dan minumannya adalah es lidah buaya. Sedaaappp!! Yang tidak menyenagkan waktu itu adalah penyediaan makanan yang sangat lama karena terlalu banyak pembeli. Lebih dari sejam kami menunggu, dan makanan itu habis dalam waktu sekejap. Inilah pembalasan orang-orang yang kelaparan. Haha….

16 November 2010

Meraih Mimpi di Kota Khatulistiwa


18 Oktober 2010

Bersama Gigih, Amir, dan Diana, pukul 04.00, aku melaju ke terminal 2F Bandara Soekarno Hatta. Amir dan Diana satu penerbangan dengan kami ke Pontianak. Mereka adalah tim Kalbar 1 yang akan menjelajahi beberapa tempat wisata di daerah hilir, sedangkan aku dan Gigih di daerah hulu Kapuas. Tim Kalbar 1 dan tim Kalbar 2 berpisah di Bandara Supadio, Pontianak, untuk menuju tempat wisata masing-masing. Hari ini aku dan Gigih tidak ditemani oleh seorang guide. Kami baru didampingi guide pada hari kedua. Namun, kami tetap harus menuju tempat yang sudah dijadwalkan oleh panitia, yakni Saham Long House. Saatnya kami meraih mimpi di kota Khatulistiwa. Semangaatt!!
Oiya aku lupa bilang bahwa Pontianak itu PANAS, mungkin karena kota ini dilalui garis Khatulistiwa. Welcome to the hot city, hehehehe....


Mampir ke Tugu Khatulistiwa
Demi kemudahan dan kenyamanan, kami menyewa sebuah mobil dari Pak Samad. Biaya sewanya Rp500.000. Dalam perjalanan ke Saham Long House kami melihat sebuah bangunan/ tugu yang sudah akrab di pandangan mata.
“Itu tugu khatulistiwa, Pak?” Tanya Gigih kepada Pak Samad.
“Iya itu tugu khatulistiwa,” jawab Pak Samad kemudian.
“Pak mampir sebentar ya,” timpal Gigih.
Tugu Khatulistiwa
Belajar dari Museum
Kemudian mobil avanza biru itupun segera memasuki pelataran Tugu Khatulistiwa. Tempatnya tidak terlalu ramai, hanya terlihat beberapa pengunjung saja di sana. Di tempat ini pengunjung tidak ditarik biaya masuk. Pengunjung hanya disuruh mengisi buku tamu. Perlu diketahui bahwa bangunan museum Khatulistiwa ini berbentuk segi delapan. Bangunan dalamnya berbeda dari bangunan luar yang tampak tidak menarik. Ruangan bersegi delapan itu ditata sedemikian apik dengan tugu khatulistiwa tepat di tengah-tengahnya. Di dinding-dinding dipasang tulisan sejarah tugu khatulistiwa, foto-foto, dan beberapa info mengenai Kalimantan Barat. Info selengkapnya mengenai Tugu Khatulistiwa bisa dibaca di sini.
Selain itu, di bagian luar terdapat sebuah taman yang luas dan agak asri. Kemarin saat kami sedang berkunjung ke sana, tempat itu digunakan untuk tempat foto pre wedding oleh sepasang manusia. Mau mencari alternative tempat foto pre wed? Datang saja ke Tugu Khatulistiwa!

Saham Long House
Saham Long House
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke rumah betang Saham. Rumah ini terletak di Desa Saham, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, 120 Km dari kota Pontianak, tidak jauh dari jalan raya Pontianak-Kuching. Kami sempat salah jalan waktu itu sehingga pak sopir minta tambah Rp150.000,-. Apa mau dikata, sudah terlanjur jalan, jadi kami pun sepakat dengan permintaannya. Dan sebenarnya ini salah kami yang kurang jelas memberi informasi di mana letak rumah Saham tersebut.
Setelah tersasar, perjalanan kami diiringi hujan lebat, lalu disusul pohon tumbang. Sudah jauh, jalan berkelok-kelok, banyak halangan pula. Aaarrggghhh…!! Demi ACI, demi Indonesia kami rela! Dan akhirnya kami pun bisa melihat rumah betang yang katanya sudah ada sebelum letusan Krakatau tahun 1883.
Pertama melihat rumah itu aku tercengang. Tiang-tiang penyangganya sangat tinggi. Tak tampak geliat kehidupan di sana. Awalnya kukira tak ada penghuni di dalam rumah itu. Tapi setelah menaiki tangga setinggi tiga meter, aku menemukan seorang bapak tua, Paulus Ngidar (83), yang menjelaskan banyak hal tentang rumah ini, termasuk ketidakpedulian pemerintah untuk merenovasi rumah betang yang sudah rapuh setelah mengangkatnya menjadi salah satu tujuan wisata Kalbar.
Menurut informasi, rumah betang Dayak Kanayan ini adalah yang terpanjang di Kalimantan Barat. Sedangkan rumah betang tertua akan kami kunjungi beberapa hari lagi. Rumah ini awalnya hanya terdiri dari tiga bilik, lalu terus berkembang hingga kini terdapat 34 bilik (34 KK). Saat itu rumah betang terlihat sangat sepi, mungkin penghuni rumah sedang pergi ke ladang. Karena keterbatasan waktu kami harus segera kembali ke Pontianak. Perjalanan yang dimulai sejak pukul 10.00 pagi itu berakhir di Hotel 95, Pontianak, pukul 20.00 WIB.
Tentang Hotel 95
Untuk para traveler berkantong tebal mungkin bisa menginap di hotel manapun. Tapi untuk backpacker yang biasanya berpetualang hemat biaya biasanya mencari hotel murah meriah. Hoel 95 saya sarankan untuk Anda. Letaknya di pusat kota, hanya 25 menit dari Bandara Supadio, dan 10 menit dari pelabuhan, dengan menggunakan mobil. Hotel ini berlokasi di Jalan Imam Bonjol No. 95, Pontianak, Kalimantan Barat. Harga kamar standarnya hanya Rp160.000. Memang sih kasurnya kurang nyaman, tapi ada free hotspot. Dan itu yang kami cari kemarin.