Menyakitkan. Itulah kesan
pertama ketika berhadapan dengan kematian, baik yang menimpa orang lain, maupun
menimpa diri sendiri. Itu seperti yang saya rasakan sejak seminggu yang lalu.
Kakak ipar saya meninggal. Mendadak. Bagi saya, kematian itu datang terlalu
cepat. Saya belum pernah bertemu dengannya sekalipun. Mas dari suami saya itu
tinggal di Jakarta, dan ia tidak datang pada saat saya dan suami menikah enam
bulan lalu. Bahkan, sampai ajal menjemputnya pun kami belum sempat bertemu.
Malam itu, Sabtu (14/01),
saya online sampai malam. Tiba-tiba Mas Nunung mengajak saya ngobrol via
chating di fb.
“Dek, kamu ga ke
Purworejo ta, di sana lagi panen duren. Kemarin Mas abis dari sana,” kata Mas
Nunung.
Keesokan malamnya (15/01)
tiba-tiba saya mendapat kabar mengenai kepergiannya, dan saya pun segera ke
Purworejo. Saya merasa ada “sesuatu” dengan kata-katanya tadi, entah semacam
isyarat atau apa. Dan kata-kata itu masih sangat terkenang hingga sekarang.
Pipi-pipi basah oleh air
mata. Warna merah seakan enggan pergi dari mata yang menandakan adanya rasa
sakit akan kehilangan. Ibunda, istrinya, anak-anaknya… Duh, betapa nyawa ini
memang milik-Nya yang berhak diambil sewaktu-waktu. Menyakitkan memang, tapi
lebih menyakitkan lagi jika tak ada kesiapan menghadapinya.
Mas Nunung dikenang
sebagai orang yang baik. Ia seorang suami dan ayah yang selalu bekerja keras untuk
keluarganya. Ia pekerja keras dan ulet. Hanya doa yang bisa kami panjatkan agar
lapang kuburnya, dan diampuni dosanya. Selamat jalan, Mas Nunung. Suatu saat
kami pun akan menyusulmu. Semoga putra-putrimu menjadi anak yang soleh dan
dapat menjadi pelapang kuburmu.
Dan Tuhan sudah
mengatakan kalau semua yang bernyawa pasti akan mati. Namun, banyak yang tak
siap, termasuk saya. Sejak peristiwa ini, saya semakin merasa bahwa kematian
sangat dekat dan bisa dating kapan saja. Oh Tuhan.. Kumohon khusnul khotimah,
kematian yang baik untukku, suamiku, dan keluargaku, serta orang-orang yang beriman
kepada-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar