“Aku lho ga
butuh pengalaman, aku kan ga mau jadi reporter, aku lho mau jadi guru”.
Ketika saya mendengar jawaban itu dari seorang teman, tahulah saya tentang seberapa jauh cara berpikirnya dan bagaimana pola pikirnya. Setelah itu ya sudah, saya tak menimpalinya dengan argumen lain.
Mereka tidak mengerti
bahwa sebuah proses itu sama pentingnya dengan hasil, bahkan mungkin lebih
penting. Dalam agama yang saya anut saja diajarkan bahwa tugas manusia adalah
berusaha semaksimal mungkin, sedangkan hasil adalah hak Tuhan. Toh Tuhan tidak akan membiarkan usaha
manusia menjadi sia-sia. Ketika manusia sudah berusaha dengan baik, tapi masih
gagal, perlu diketahui bahwa Tuhan punya pilihan lain yang lebih baik untuk
manusia itu suatu saat nanti.
Kembali ke kata-kata
teman saya tadi. Apakah kalau seseorang hendak jadi guru itu tak butuh
pengalaman? Menurut saya, seorang guru harus kaya pengalaman dan wawasan. Dalam
bidang jurnalistik saja misalnya, seorang guru harus tahu bagaimana cara
mencari berita, menggali informasi dari narasumber, kelengkapan isi berita,
sudut pandang berita, dan kelayakan berita. Jadi, besok kalau sudah jadi guru dan mengajar
materi berita, ia bisa menjelaskan kepada murid-muridnya dengan benar,
berlandaskan teori dan pengalaman. Bukankah lebih mantab dan menjadi suatu
kebanggaan di depan murid-murid? Ada pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah
guru yang terbaik.
Menurut keyakinan saya,
seseorang tidak bisa mengetahui apa pekerjaannya di masa depan. Meskipun
sekarang ia kuliah di jurusan pendidikan, belum tentu ia akan menjadi guru. Karena
itu jangan hanya belajar tentang ilmu itu saja. Seorang guru perlu mengetahui
sedikit-sedikit tentang ilmu lain.
Lalu, kemarahan kepada
instansi tempat PKL karena memberi nilai buruk saya rasa tidak perlu. Itu
semakin menunjukkan ketidakmampuan seseorang di tempat magang tersebut. Mengapa
tidak introspeksi diri lebih dulu? Sudahkah melaksanakan tugas dengan baik dan
benar, masuk setiap hari dan tepat waktu, baikkah hasil kerjamu, seberapa
produktif, dsb. Yang perlu dilakukan adalah menjadikan hal itu sebagai pemicu
diri agar mau belajar lebih banyak. Manusia hanya tahu sedikit, tapi sudah
merasa cukup. Ah, sangat disayangkan.
Kekecewaan teman tersebut
kepada saya pun sudah saya maklumi. Ini karena kami berbeda visi. Yap, saya
yang mengajak mereka magang di sana, bahkan dengan sedikit memaksa. Saya
menganggap magang adalah kesempatan untuk mengenal dunia kerja, sehingga saya
harus mencari tempat yang punya kredibilitas bagus, bukan yang ecek-ecek.
Sedangkan teman saya itu menginginkan tempat magang yang mau memberi mereka
nilai bagus dengan belas kasihan, bukan prestasi kerja. Mereka mau magang di
tempat yang kerjanya tidak setiap hari, cukup satu atau dua kali seminggu dan
bisa dapat nilai A. Ya sudah, maafkan saya telah memaksa.
“Nilaimu mendingan, Non,
makanya ga terlalu kecewa,” kata seseorang. Sekali lagi, ini bukan masalah
nilai, Kawan. Ini proses, ini belajar. Itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar