14 Januari 2012

Guru Harus Banyak Pengalaman


“Aku lho ga butuh pengalaman, aku kan ga mau jadi reporter, aku lho mau jadi guru”.


Ketika saya mendengar jawaban itu dari seorang teman, tahulah saya tentang seberapa jauh cara berpikirnya dan bagaimana pola pikirnya. Setelah itu ya sudah, saya tak menimpalinya dengan argumen lain.
Mereka tidak mengerti bahwa sebuah proses itu sama pentingnya dengan hasil, bahkan mungkin lebih penting. Dalam agama yang saya anut saja diajarkan bahwa tugas manusia adalah berusaha semaksimal mungkin, sedangkan hasil adalah hak Tuhan. Toh Tuhan tidak akan membiarkan usaha manusia menjadi sia-sia. Ketika manusia sudah berusaha dengan baik, tapi masih gagal, perlu diketahui bahwa Tuhan punya pilihan lain yang lebih baik untuk manusia itu suatu saat nanti.
Kembali ke kata-kata teman saya tadi. Apakah kalau seseorang hendak jadi guru itu tak butuh pengalaman? Menurut saya, seorang guru harus kaya pengalaman dan wawasan. Dalam bidang jurnalistik saja misalnya, seorang guru harus tahu bagaimana cara mencari berita, menggali informasi dari narasumber, kelengkapan isi berita, sudut pandang berita, dan kelayakan berita.  Jadi, besok kalau sudah jadi guru dan mengajar materi berita, ia bisa menjelaskan kepada murid-muridnya dengan benar, berlandaskan teori dan pengalaman. Bukankah lebih mantab dan menjadi suatu kebanggaan di depan murid-murid? Ada pepatah mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik.
Menurut keyakinan saya, seseorang tidak bisa mengetahui apa pekerjaannya di masa depan. Meskipun sekarang ia kuliah di jurusan pendidikan, belum tentu ia akan menjadi guru. Karena itu jangan hanya belajar tentang ilmu itu saja. Seorang guru perlu mengetahui sedikit-sedikit tentang ilmu lain.
Lalu, kemarahan kepada instansi tempat PKL karena memberi nilai buruk saya rasa tidak perlu. Itu semakin menunjukkan ketidakmampuan seseorang di tempat magang tersebut. Mengapa tidak introspeksi diri lebih dulu? Sudahkah melaksanakan tugas dengan baik dan benar, masuk setiap hari dan tepat waktu, baikkah hasil kerjamu, seberapa produktif, dsb. Yang perlu dilakukan adalah menjadikan hal itu sebagai pemicu diri agar mau belajar lebih banyak. Manusia hanya tahu sedikit, tapi sudah merasa cukup. Ah, sangat disayangkan.
Kekecewaan teman tersebut kepada saya pun sudah saya maklumi. Ini karena kami berbeda visi. Yap, saya yang mengajak mereka magang di sana, bahkan dengan sedikit memaksa. Saya menganggap magang adalah kesempatan untuk mengenal dunia kerja, sehingga saya harus mencari tempat yang punya kredibilitas bagus, bukan yang ecek-ecek. Sedangkan teman saya itu menginginkan tempat magang yang mau memberi mereka nilai bagus dengan belas kasihan, bukan prestasi kerja. Mereka mau magang di tempat yang kerjanya tidak setiap hari, cukup satu atau dua kali seminggu dan bisa dapat nilai A. Ya sudah, maafkan saya telah memaksa.  
“Nilaimu mendingan, Non, makanya ga terlalu kecewa,” kata seseorang. Sekali lagi, ini bukan masalah nilai, Kawan. Ini proses, ini belajar. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar