25 Desember 2011

Tas dan Dompet Cantik dari Kertas Semen



Pencetus Ide

Tas berbahan kain memang sudah biasa. Namun, bagaimana bila Anda dihadapkan dengan tas berbahan daur ulang. Tak tanggung-tanggung, bahan daur ulang yang digunakan adalah sak semen.
Seperti itulah lead berita saya di detiksurabaya.com tanggal 7 Desember 2011. Saya memang baru meliput pasangan suami istri yang mencetuskan ide pembuatan tas dan dompet dari kertas (sak) semen. Mereka adalah Weny Indrasari (39) dan Sutiono(39), warga Perum TAS 2 Blok R3, Tanggulangin, Sidoarjo.
Seperti yang dikatakannya pada semua orang dan wartawan, hasil karya mereka ini muncul atas ketidaksengajaan. Kebetulan saat itu, sekitar tahun 2010, Pak Sutiono Dan Bu Weny sedang merenovasi pagar belakang rumah. Akibatnya banyak sak sisa semen yang menumpuk.
Di saat bersamaan, ia mendapat tantangan dari sebuah acara bertema daur ulang dalam program Sidoarjo Bersih Hijau (SBH). Mereka pun berpikir seandainya sak-sak semen itu bisa dijadikan tas.
"Semuanya nggak sengaja, pas ada tuntutan membuat kerajinan daur ulang, pas juga ada banyak sak semen bekas renovasi rumah," tutur Weny di rumahnya Rabu (7/12/2011).
Memberi Warna
Sebenarnya Pak Sutiono dan istrinya tidak punya keahlian khusus dalam membuat tas. Waktu punya ide membuat tas, ia pun meminta saran dan bantuan dari tetangga sebelah rumahnya. Ia bertanya teknik pembuatan tas dan dompet. Setelah dilihat-lihat ternyata teknik dasarnya ya itu-itu saja, tinggal bagaimana mengkreasikannya agar terlihat lebih menarik. Apalagi Bu Weny sebelumnya juga bekerja sebagai pembuat kerudung, jadi kemampuan menjahit atau menyulam sudah tidak perlu diragukan lagi.
Saat saya ke sana, mereka sedang mengerjakan pesanan tas sebanyak 200 buah. Jadi saya bisa melihat secara langsung proses pembuatannya. Pak Sutiono dan Bu Weny pun sangat ramah dan tidak segan-segan membagi ilmunya.
Secara singkat akan saya jelaskan. Awalnya kertas semen dibersihkan dari semen dengan menggunakan spon dengan sedikit air. Kedua, kertas semen dicelupkan ke dalam air sebentar. Ketiga kertas semen dimasukkan ke dalam air mendidih yang sudah diberi pewarna (wantek). Dalam memasukkannya ke air mendidih harus ada tekniknya biar merata. Keempat, kertas yang sudah diwarnai diangkat lalu dicelupkan sebentar ke air dingin. Kelima, kertas semen dijemur. Keenam, kertas semen disetrika. Selanjutnya kertas baru bisa diproses seperti dijahit atau disulam. Setelah itu kertas diberi formula tahan air. Terakhir diberi lapisan fernis agar terlihat mengkilap.
Karya Kreatif
Awalnya, semua bahan baku tas dan dompet buatan mereka berasal dari kertas semen. Seiring berjalannya waktu, mereka memberi modifikasi pada bagian dalam tas dan dompetnya dengan menggunakan kain seperti tas pada umumnya.
Itu berarti, keduanya tetap mengguanakan sak semen hanya untuk pelapis luar saja. Sedangkan bagian dalamnya sama seperti tas pada umumnya. Ini memungkinkan tas dan dompet buatannya tidak akan rusak bila terkena air. Selain itu, menurutnya kertas semen cocok untuk dibuat tas ataupun dompet karena seratnya lebih tebal.
"Nggak semua kertas semen bisa dipakai, hanya merek tertentu saja (Semen Gresik) yang seratnya lebih tebal," kata Sutiono.
Dalam sehari Weny dan Sutiono bisa mampu membuat 10 tas atau dompet. Harganya bervariasi mulai Rp 35 ribu sampai Rp 100 ribu. Dari usahanya ini Weny bisa mendapatkan keuntungan 1,5 juta setiap bulan.
Karena keterbatasan tenaga kerja, sementara ini Weny dan Sutiono hanya memasarkan produknya di UKM Provinsi Jatim di Juanda. Namun tidak jarang ada konsumen yang langsung datang ke rumahnya untuk memesan tas maupun dompet. Bahkan produknya sudah pernah dikirim ke Medan, Pontianak dan Samarinda.

Yang Berbeda Setelah Menikah


Saya tidak pernah menyangka jodoh itu datang begitu cepat. Di usia yang masih 21 tahun 8 bulan, saya sudah menjadi istri orang. Tidak, saya tidak menikah karena “kecelakaan”. Saya menikah karena mungkin sudah waktunya, sudah dapat panggilan. Seperti orang berhaji, walaupun secara materi cukup tapi kalau belum merasa dapat “panggilan”  ya nggak akan berangkat, tapi kalau sudah mendapat panggilan dan memang itu rizkinya, taka da sesuatu pun yang bisa menghalangi. Begitu juga dengan saya.
Cerita bahagia dan duka sudah pasti ada, bahkan banyak. Namun, sebenarnya ada sisi lain yang mesti dipahami oleh seorang istri dalam kehidupan berkeluarga. Saya tidak berbicara tentang “ayat” karena saya tidak tahu banyak, takut salah. Saya hanya berbagi sedikit cerita dari apa yang saya alami.
Saya berangkat dari pergaulan yang sedikit bebas dengan teman-teman petualang. Kebetulan saya hobi berpetualang. Namun bebas di sini bukan berarti bebas tanpa syarat dan bebas negatif. Kebebasan yang saya anut adalah bebas bergaul, berpetualang, dolan, naik motor dengan teman-teman petualang tapi tetap dalam batas tertentu. Saya ingat betul pertama kali bermain dengan JPers Jatim pada April 2008 ke Ranupani, dari sekian orang hanya saya sendiri yang perempuan.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya juga begitu, entah itu sekadar nongkrong di FT Unesa, touring, nginep di rumah Mas Tovic (Batu), atau mendaki gunung, saya menjadi minoritas di antara teman-teman cowok. Bukan berarti saya tidak suka berpetualang dengan perempuan, tapi teman petualang perempuan sangat sulit saya temui. Saya nyaman dengan itu semua. Saya juga nyaman pulang malam walaupun naik motor sendirian, karena di belakang saya ada teman-teman JPers yang mengantar seperti Mas Kohan, Mas Hero, Mas Wahyu, Mas Rangga, dll.
Begitulah dari segala petualangan itu saya menemukan “teman hidup”. Sejak saat itu ada peraturan yang lebih kuat yang mengikat saya, salah satunya tentang pergaulan dan pulang malam. Saya boleh berteman dengan siapa saja, mau perempuan atau laki-laki terserah. Hanya saja sekarang saya tidak bisa sembarangan minta bonceng teman cowok. Alasannya?  Ya karena saya sudah punya suami, jadi harus menjaga perasaan suami dari rasa cemburu. Saya juga harus menjaga diri dari fitnah. Kan tidak lucu misalnya saya sedang dibonceng teman cowok eh tiba-tiba ada tetangga yang tahu, dan saya dikira selingkuh. Aw aw aw…. Saya juga sudah tak bisa bebas ikut trip sana sini karena ada tanggung jawab di rumah. Malah kata Ibu saya harus pergi denga suami kalau mau ke mana-mana. Saya bisa, suami nggak bisa, dan sebaliknya. Jadilah setengah tahun ini kami lebih sering di rumah.
Sejak SMA, pulang malam sudah jadi kebiasaan. Semuanya bermula dari OPA Rekgiwa dan teman FPTI Sidoarjo yang isinya orang malam semua. Setiap kali ada rapat mesti baru dimulai pukul 9 malam dan berakhir pukul 1 dini hari. Ketika berteman dengan JPers pun tidak jarang pulang agak larut. Namun, sekarang saya tidak bisa sebebas itu. Bahkan saya seringkali menolak ajakan keluar malam. Alasannya? Suami saya baru pulang kerja pukul 6 sore. Saya kan mesti menyiapkan makan, minum, dan sebagainya. Kan sangat tidak etis kalau suami baru pulang lalu saya tinggal keluar.
Kawan, menikah itu bukan mengekang kebebasan, tapi hanya membatasi. Kita boleh bergaul dan bermain seperlunya asal dalam batas-batas tertentu dan tetap melaksanakan kewajiban di rumah. Jadi jangan heran kalau sekarang saya lebih sering menolak ajakan keluar malam, atau saya membawa serta suami saya dalam pertemuan-pertemuan. Rasanya kok jadi lebih romantis.
Mari belajar jadi istri yang baik!

09 Desember 2011

Suka Duka Jadi Wartawan Magang

Sebulan sudah saya magang di detikSurabaya.com. Sebulan sudah saya merasakan suka duka jadi wartawan. Ya, saya memang masih wartawan-wartawanan, bukan wartawan sesungguhnya, tapi rame-rame rasa itu begitu menggoda saya.

Awalnya, ketika baru memulai dan baru kenal dengan kru, rasa canggung  tidak bisa saya cegah. Bahkan saya sampai enggan ke kantor karena merasa sungkan. Waktu itu sempat terjadi salah persepsi antara kami dengan redaksi. Kami mengira harus mencari berita sendiri dan harus setor berita. Ternyata, yang sebenarnya, kami tidak boleh keluar kantor kalau tidak ada penugasan. Hal ini karena dikhawatirkan kami meliput berita yang tak layak tayang. Apalagi saya tidak punya latar belakang jurnalistik atau ilmu komuniasi. Saya kuliah dan dididik menjadi guru, mentalnya pun mental guru.

"Kasihan kan sudah capek-capek tapi nggak dimuat," begitu kata Mbak Icha, atasan kami.

Semakin hari saya semakin kenal dengan siapa-siapa yang ada di kantor detikSurabaya. Ya, tidak semua, tapi lumayanlah bisa sedikit akrab dengan mereka. Biasa, saya menggunakan jurus SKSD. Ada Mbak Icha (redaktur yang 'memegang' kami), Pak Budi Sugiharto (Kepala Detik Biro Surabaya), Pak Budi Hartadi (redaktur), Mbak Nila (admin), Mas Sis, Mas Mas Gilang, Mas Zainal, Mbak Norma, dan Mas Rois. Semuanya baik. Saya suka.

Suka duka yang lain masih banyak. Baik, mari kita mulai dengan memikirkan duka dulu. Susah-susah dahulu bersenang-senang kemudian.

DUKA:
  1. Meliput sendirian adalah kondisi yang kurang begitu saya sukai. Maklum, saya belum kenal siapa-siapa dan belum punya pengalaman menjadi reporter. Ada kalanya saya seperti orang "hahok" bingung bagaimana harus meliput. Ada kalanya saya kesasar karena belum terlalu kenal Surabaya.
  2. Duka yang kedua adalah duka yang berhubungan dengan kuliah. Sembari magang, saya masih punya kewajiban kuliah setiap hari Selasa s.d. Jumat. Kadangkala tanggung jawab magang sedikit "menyenggol" kepentingan kuliah. Saya juga sempat tidak masuk karena harus ke kantor. Pernah, saya harus kebut-kebutan di jalan untuk mengejar sisa waktu UTS di kampus setelah meliput sebuah berita. Akhirnya saya hanya mengerjakan UTS dalam waktu 15 menit. 
  3. Duka yang ketiga apa ya, mungkin hanya rasa capek karena jaraknya jauh dari rumah. Dan saya harus berkutat dengan tiga tempat, yakni rumah, kampus, dan kantor.
  4. Duka berikutnya adalah dijuteki narasumber (orang Dinas P...). Hihi saya sudah pernah merasakannya. Begitu tidak nyaman.

SUKA:
  1. Saya paling suka kalau melihat tulisan dan jepretan saya di web detikSurabaya. Ada rasa puas dan bangga yang mengalir ke dada, jantung, dan darah. Hehe..
  2. Selain harus berpanas-panasan di Surabaya, sejujurnya saya suka kalau disuruh meliput. hal itu membuat saya lebih cepat hafal dengan jalan di Kota Surabaya. 
  3. Bisa ketemu dan kenalan dengan wartawan senior dari berbagai media. Mendengarkan mereka bercanda dan ikut ngobrol adalah menyenangkan buat saya.
  4. Dapat makan, hehe... Maklum mahasiswa, paling senang kalau dapat yang gratis.
  5. Selain itu semua yang terpenting adalah saya bersyukur bisa mendapatkan pengalaman dan teman baru di sini. Mereka seperti Mbak dan Mas saya sendiri. Suatu saat saya akan merindukan mereka kalau sudah tidak magang lagi.
Tinggal satu bulan saya magang di detikSurabaya.com, semoga saya bisa memberikan yang terbaik buat mereka. Aaaamiiin. :)


19 November 2011

Segarnya Es Yokik Bikin Ketagihan



Siapa yang tak mengenal es yokik? Bagi masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya, es yokik adalah salah satu minuman populer. Es yokik yang berisi campuran bubur kacang hijau, kelapa muda, dan alpukat, dan di atasnya diberi serutan es yang disiram susu kental coklat terasa manis dan segar.
Sebenarnya nama es ini berasal dari nama salah seorang siswa SMA Katolik Sidoarjo. Puluhan tahun lalu Yokik yang anak SMA suka sekali minum es dengan campuran kacang hijau, kelapa muda, alpukat, dan susu. Akhirnya teman-temannya menjuluki es tersebut dengan nama es yokik. Dan dengan segera es ini mulai banyak dijual pedagang kaki lima.
“Dulunya es yokik ini nama anak sekolahan. Dia suka minum es ini, lalu teman-temannya ngasih nama esnya itu es yokik,” kata Pak Wahidi di warungnya di Jalan Raden Wijaya Sidoarjo.
Uniknya, meskipun populer, es ini hanya dijual di Jalan R.Wijaya atau lebih sering disebut Mahkota oleh masyarakat. Beberapa pedagang kaki lima menyajikan es yokik di samping menu es yang lain.
Pak Wahidi mengaku masih banyak pembeli yang suka memesan es yokik. Ia bisa menghabiskan satu kilogram kacang hijau setiap harinya untuk menjual es yokik.
“Rasanya suegerr, bikin ketagihan, dan murah,” kata David, salah satu penggemar setia es yokik sejak sepuluh tahun lalu. Es yang manis dan segar ini memang dijual cukup murah, hanya Rp3.000,- saja.

15 November 2011

Pameran Foto “Dari Pegangsaan Sampai Rijswijk”


Kemarin saya berkunjung ke House of Sampoerna Surabaya khusus untuk melihat pameran foto “Dari Pegangsaan Sampai Rijswijk”. Pameran ini digelar di Galeri Seni HOS dari tanggal 10 November 2011 s.d. 11 Desember 2011. Tadinya saya tidak tahu apa itu Rijswijk, tapi setelah melihat-lihat barulah saya tahu bahwa itu adalah nama lama dari Istana Merdeka.
pose di depan foto
Di dalam pameran tersebut terdapat 66 potret sejarah Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya tahun 1945—1950 yang dicetak di atas bahan aluminium lalu digantung dengan senar berurutan sesuai tahun pengambilan foto. Foto-foto jurnalistik tersebut adalah hasil dari Mendur Bersaudara dan para pewarta foto yang tergabung dalam Indonesian Press Photo Service (IPPHOS). Pameran yang diadakan atas kerjasama dengan Galeri Jurnalistik Fotografi Antara (GJFA) ini diharapkan dapat mengingatkan kembali masyarakat akan perjuangan para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
foto-foto
Mungkin karena saya berkunjung pada hari Senin, jadi pemeran tersebut terkesan sepi pengunjung. Menurut penjaganya, hari itu baru 10 orang yang berkunjung, sedangkan akhir pekan kemarin jumlah pengunjung minimal 20 perhari. Sebebenarnya dengan begitu saya bisa lebih leluasa melihat foto-foto sambil menghubungkannya dengan sedikit pengetahuan saya tentang sejarah, tapi saya juga ingin banyak orang datang dan melihat foto-foto itu. Ada rasa takjub, haru, merinding, lucu, dan lain-lain. Tidak jarang saya tertawa sendiri atau mengucapkan kata “Wow!”. Belajar sejarah itu menyenangkan, terlebih lagi jika belajar melalui foto.


(Sidoarjo, 15 November 2011, 08.26 WIB)

11 November 2011

Panorama Papuma yang Menggoda

(Tulisan ini sudah dimuat di Koran Jawa Pos pada hari Kamis, 10 November 2011 pada kolom journey for her halaman 22.)

Menunggu Fajar
Pantai Pasir Putih Malikan atau lebih sering disingkat dengan Papuma adalah salah satu pantai terindah di Jawa Timur. Keeksotisannya terdengar hampir di seluruh Pulau Jawa. Saya sendiri baru tahu tentang Pantai Papuma beberapa tahun lalu. Apa kata dunia jika saya yang tinggal di Jawa Timur belum pernah mengunjungi salah satu pantai terindahnya di Jember?
Minggu (15/10) kami berangkat. Setelah beberapa jam perjalanan, kami mulai mendekati lokasi Pantai Papuma. Hal pertama yang menyambut kami adalah hutan jati berselimut kabut di kanan kiri jalan. Sinar fajar mulai menyusup di antara daun dan ranting menyibak kabut lalu membentuk garis-garis cahaya (ray of light). Begitu memasuki areal wisata Pantai Papuma dari ketinggian, tampaklah pantai yang berwarna putih di bawah sana. Tak sabar rasanya untuk segera ke sana dan menunggu matahari terbit sempurna.
Laut yang terhampar terlihat putih bak kanvas yang siap dilukis oleh cahaya pagi yang perlahan-lahan muncul. Laut yang tadinya putih perlahan berubah menjadi kekuning-kuningan. Lalu terbentuk siluet kapal nelayan yang berjajar rapi. Di sana-sini wisatawan asik berfoto, begitu juga dengan saya. Tidak seorangpun ingin tertinggal momen indah itu.
Yang khas dari Papuma adalah gugusan batu karangnya. Untuk menuju ke sana saya harus sedikit bergeser ke arah selatan. Di sana saya bisa berjalan di atas hamparan batu-batu karang (sebelum ombak terlalu besar). Namun saya terlambat. Ketika itu air sudah mulai naik dan ombak semakin besar. Saya naik ke atas gardu pandang untuk mencari objek menarik yang bisa saya foto dengan poin utama batu karang besar maskot Pantai Papuma.
Deburan ombak di bawah sana seolah sedang memainkan nada-nada melalui batu-batu karang. Buihnya yang putih terlihat seperti hamparan salju. Panorama tersebut begitu indah dan menggoda saya untuk mengabadikannya. Ahh.., saya tergoda untuk difoto berlatar belakang batu tersebut.
Bersama Sahabat
Puas dengan tempat tersebut saya turun ke pantai. Saya berjalan tanpa alas di pasirnya yang putih. Terasa enak di kaki dan lembut. Tak salah kalau pantai itu dinamai Pantai Pasir Putih Malikan, yakni perpaduan pasir yang putih dengan gugusan batu malikan (batu karang). Beberapa teman hanya berdiri di tepi pantai. Tidak demikian dengan saya. Perlahan saya berjalan mendekati laut, melewati batu-batu karang dengan air dangkal. Semakin jauh dan jauh. Saya menikmati ombak-ombak kecil yang menghantam kaki saya. Tiba-tiba… “Byuuuurrrrr!!!” Ombak besar menghantam dan saya hampir limbung. Untung saya tak sampai terjatuh dan terbawa ombak. Perlahan ombak mengecil. Saya buru-buru menepi. Kaki saya gemetar.
Tidak takut, saya malah ketagihan. Sudah terlanjur basah. Saya kembali bermain-main dengan ombak. Tentu saja tidak sejauh tadi. Teman-teman mulai ikut bermain. Kami tertawa, berbasah-basah, dan berfoto sampai lupa waktu. Seolah hari itu adalah hari kami, kebahagiaan kami, dan pantai itu milik kami.
Cacing-cacing di perut mulai berteriak kelaparan. Kami segera menuju ke salah satu warung dan memesan ikan bakar. Walaupun proses membakarnya agak lama, hasilnya sangat memuaskan. Ikan yang baru ditangkap nelayan pagi itu terasa gurih, nikmat, dan bebas bau amis. Belum lagi sambalnya begitu nendang. Nyammm…! Adakah yang lebih nikmat dari menyantap ikan bakar di tepi pantai eksotis bersama kawan? Nikmatnya terbawa sampai Sidoarjo lho.
Saya bangga sudah mengunjungi Pantai Papuma. Saya bangga karena bisa semakin mengenali keindahan Jawa Timur, keindahan Indonesia. Jika ada orang lain bertanya mengenai Papuma, saya tidak bingung lagi menjawab.
Pergilah dan biarkan keindahannya menyusup ke dalam hatimu.

(Sidoarjo, 28 Oktober 2011 pukul 23.54)

08 November 2011

Kampung Bebek dan Telur Asin Kebonsari


Sejak SMA saya sering sekali main ke rumah sahabat saya di Desa Kebonsari, Candi. Tapi setelah sekian lama (sampai sekarang sekitar enam tahun) saya baru tahu kalau desa tersebut adalah desa peternak bebek dan penghasil telur asin atau sering disebut “Kampung Bebek dan Telur Asin”. Kelompok peternak bebeknya dinamai Sumberpangan dengan anggota 34 orang peternak dan dipimpin oleh Pak Nur Hidayat.
Mata saya terbuka gara-gara mendapat saran dari Pak Budi Sugiharto, Kepala detik.com biro Jawa Timur (detikSurabaya), untuk liputan di sana. O iya, saat ini saya sedang magang di detikSurabaya.
Hari ini (7/11) saya pergi ke desa tersebut sendirian. Walaupun sudah mendengar bahwa di sana banyak yang beternak bebek, saya masih belum tahu harus menuju ke rumah siapa dan di mana. Saya hanya mengikuti kemauan motor saya mau melaju ke mana. Dan singgahlah saya di rumah Pak Sulaiman yang di depan rumahnya terpampang banner bertuliskan “AGEN TELOR ASIN ADON JAYA”.
Jujur saya belum punya konsep pertanyaan untuk mewawancarai Pak Sulaiman. Tadinya saya hendak meliput pembuatan dodol jamur di Kampung Jamur, tapi karena masih musim kemarau mereka sedang tidak produksi jamur. Lalu saya langsung menuju ke Kebonsari. Alhasil saya agak gugup mau bertanya-tanya ke Pak Sulaiman. Untung saya dua orang karyawan Pak Sulaiman sangat ramah dan lucu, membuat suasana lebih nyaman.
Di sana saya hanya mengamati proses pemberian makanan, pencucian, dan pemilahan telur. Sebenarnya saya ingin menyaksikan proses pemeraman telur, tapi apa daya, bata merah halus yang sedang dijemur belum kering, jadi mereka belum bisa memeram telur. Akhirnya saya hanya mendapat penjelasan dari Pak Sulaiman dan istrinya tentang cara memproses telur sampai menjadi asin dan memiliki aneka rasa.
Menurut Bapak yang sudah beternak selama 15 tahun ini, pada dasarnya pembuatan telur asin aneka rasa sama dengan pembuatan telur asin biasa. Perbedaannya hanya pada pemasakan setelah dipanen dari proses pemeraman. Rasa yang ada pada telur tidak diperoleh dari bahan kimia ataupun injeksi (penyuntikan) ekstrak rasa-rasa. Rasa telur asinnya diperoleh dari proses pemasakan yang berbeda-beda. Sebagai contoh untuk telur rasa kepiting harus dimasak dengan cara diasap selama 12 jam, telur asin rasa udang dimasak dengan cara dioven selama 6-7 jam, dan terakhir rasa ikan salmon didapat dengan cara digoreng. Telur asin aneka rasa ini dijual dengan harga Rp2.000 per butir.
Saat ini Pak Sulaiman memiliki 1.500 ekor bebek dengan luas kandang mencapai 25x16 meter. Bebek-bebek ini mampu menghasilkan 1000 butir telur per hari. Karena itulah tidak salah jika Pak Sulaiman mengatakan bahwa omzetnya mencapai Rp200.000 per hari. Kok sedikit ya? Mungkin Pak Sulaiman salah hitung karena dia tidak menggunakan neraca keuangan. Jadi itu hanya jawaban perkiraan saja.
Kendala paling besar yang mereka hadapi adalah mahalnya harga pangan dan musim hujan. Menurut pengakuan  Pak Sulaiman, sudah dua tahun ini desa mereka selalu banjir jika hujan turun dengan lebat. Hal ini disinyalir karena adanya pendangkalan Kali Porong yang disebabkan pembuangan lumpur lapindo ke sungai tersebut. Debit air yang sangat banyak dari Kali Brantas akhirnya juga mengalir melalui sungai-sungai di sekitar Porong.
Bebek adalah salah satu hewan yang gampang stress dengan adanya perubahan cuaca, apalagi jika ditambah banjir dan petir. Bisa-bisa bebek tidak mau bertelur dan otomatis produksi telur asin pun menurun sampai 30%. Namun jika cuaca sudah stabil biasanya bebek pun kembali sehat dan bertelur lagi.
Syukurlah hal ini sudah diadukan ke pemda Sidoarjo. Sekarang permasalahan itu mulai ditangani dengan melakukan pengerukan di sungai-sungai untuk menghindari banjir.
“Jangan putus asa,” kata Pak Sulaiman saat saya bertanya apa rahasianya bisa bertahan selama belasan tahun.

(Senin, 7 November 2011)

07 November 2011

Foto Takbir Idul Adha 1432 H

Malam lebaran tiba-tiba saya ingin hunting foto takbir keliling. Pikiran saya jatuh pada alun-alun Sidoarjo. Biasanya di seputaran masjid agung dan pusat kota ada saja yang melaksanakan takbir keliling. Maka berangkatlah saya sendirian dengan mengendarai motor ke arah alun-alun. Ternyata semua di luar dugaan. Jalan raya Sidoarjo sepi. Bahkan terkesan malam itu bukan malam lebaran. Saya melanjutkan ke arah GOR. Ya, di sana ramai, tapi bukan ramai takbiran, hanya ramai orang jualan.

Kecewa, saya pun melajukan motor ke arah rumah teman di Desa Entalsewu. Tadi dia mengunggah status di fb bahwa di desanya sedang diadakan lomba takbir keliling. Waktu saya tiba di sana acaranya sudah dimulai. Saya langsung memarkir motor di rumah teman dan mulai memotret. Inilah hasilnya... Foto sederhana saya.
Tim Nomor 1

Arak-arakan ke-3

Takbir Keliling

27 Oktober 2011

Mengulang Hari Kelahiran


Hola.. Saat nulis ini, jarum pendek jam masih menunjuk ke angka tiga. Masih teramat pagi buat saya untuk bangun dan memulai aktifitas. Semalam saya tidur lebih cepat, makanya bangun juga jadi lebih cepat. Sebenarnya saya mau salat tahajud, bermunajat mensyukuri banyak nikmat yang Tuhan berikan pada saya, tapi gara-gara lihat si Mac hanya di-sleep hati ini tergoda untuk menuliskan beberapa kata.
Bangun tidur ini sudah ada beberapa SMS, email, dan pesan di facebook  yang berisi ucapan selamat ulang tahun. Sungguh senang. Bila masih ada yang mau mengucapkan selamat ulang tahun padamu artinya masih ada yang peduli dengan kamu. Dan saya sangat bersyukur masih ada yang peduli dengan saya.
Barusan juga suami saya terbangun dan mengecup pipi saya, mengucapkan selamat ulang tahun, dan memeluk saya dengan hangat. (Terima kasih, Cinta. Baru kali ini bisa di dekatmu saat ulang tahun. Tahun lalu engkau masih di Negeri Paman Sam). Lagi-lagi saya bersyukur atas berkah ini.
Lalu apa? Di usia yang ke-22 ini ada banyak impian yang belum tercapai. Tapi saya sedang mencicil untuk menaiki anak tangga kesuksesan itu. Waktu saya semakin pendek. Bayangkan saja, misalnya Tuhan menjatah saya 63 tahun hidup di dunia, lalu dikurangi 22, berarti jatah hidup sa ya tinggal 41 tahun lagi. Masih panjang? Ah tidak juga. Manusia sering lalai dengan umur dan waktu. Semoga saya tidak termasuk di dalamnya.
Permintaan saya sangat banyak kepada Tuhan. Saya ingin punya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, ingin bisa menjadi guru yang baik, menjadi anak yang lebih berbakti lagi pada orang tua, ingin menjadi orang yang bermanfaat, dan saya ingin resolusi kehidupan saya yang telah saya bikin listnya segera tercapai. Tak lupa, saya pun ingin berakhir dengan kepuasan, kelegaan, dan kebahagiaan menghadapi kehidupan akhirat. Ah sebetulnya masih banyak doa yang tak tertulis. Tuhan tahu apa yang saya butuhkan, dan Tuhan tahu kapan harus mengabulkan doa saya. Oh iya, semoga Tuhan juga melanggengkan persahabatan saya dengan Lailatul Maghfiroh, Anis Masitoh, Topan Ari, Wahyu Lukman, dan Tri Handoko. Aamiin.
Yap.. Hari ini adalah hari ulang tahun saya. Hari yang membuat saya lebih banyak mengingat dan bersyukur. Esok harus lebih baik. Insya Allah. Selamat ulang tahun, Nurul. Selamat ulang tahun untuk diri sendiri. J

26 Oktober 2011

Idealisme Kampret


Judul postingan saya itu hasil jiplakan. Judul ini pernah dipakai oleh seorang teman untuk menceritakan cinta di blognya. Sekarang giliran saya, tapi tidak untuk membicarakan cinta. Memang ya idealisme itu kadang menyebalkan. Tapi saya juga tidak bisa menyebut itu idealisme. Saya ragu.
Syahdan, tibalah saatnya bagi mahasiswa untuk mencari tampat PKL. Benyak mahasiswa yang sudah mulai memilih-milih mau ber-PKL di mana. Ada yang di Jawa Pos, JTV, Radar Surabaya, Sindo, Arek TV, SBO TV, dsb. Namun semua itu menjadi percuma karena dosen koordinator PKL tidak masuk beberapa minggu. Buntu. Beberapa mahasiswa mulai melobi media massa melalui ‘orang dalam’, termasuk kelompok saya karena ada salah satu anggota kelompok yang punya teman di JTv.
Tiba waktu pertemuan di Graha Pena hari Minggu. Pukul 11.00 siang, yang juga jam pertemuan, saya masih di kamar, mengotak-atik hp yang menyambungkan saya dengan internet. Saya tidak datang. Dan ketika ditanyai kapan bisa kumpul untuk membahas hal tersebut, saya menjawab, “aku ga jadi ikut, aku mau cari tempat PKL lain”. Keputusan ini sempat merisaukan saya beberapa hari sebelumnya.  Benar atau salahnya keputusan ini tak bisa saya tentukan sekarang.
Di mata orang lain saya akan terlihat bodoh. Sudah ada jalan yang teramat mudah untuk saya bisa ber-PKL di JTV, saya malah mangkir, mencari jalan yang sulit di tempat lain yang belum tentu menerima. Di saat saya masih mencari, mereka sudah mulai bekerja. Saya punya dua alasan untuk menjawab kebodohan saya itu.
Pertama, hati saya tidak mengatakan “Ya” untuk program kerja yang ditawarkan. Saya ingin sekali magang sebagai wartawan ataupun editor. Kalau saya mau di JTV, saya hanya akan bekerja untuk satu program yang tayang seminggu sekali. Keinginan hati saya tidak terpenuhi. Kedua, saya tidak mau terlalu bergantung pada orang lain. Saya ingin memenuhi hasrat saya dengan segenap kemampuan yang mampu saya kerahkan. Saya tidak menganggap itu buruk karena mungkin suatu saat pun saya akan mengandalkan ‘teman’. Tapi kali ini saya benar-benar ingin berusaha sendiri semaksimal mungkin.
Saya tahu mereka jengkel. Hal itu saya biarkan tanpa penjelasan. Paling saya hanya basa-basi sederhana. Yang paling membuat saya kecewa adalah ketidakpedulian seorang sahabat (yang juga di kelompok itu) kepada saya. Sebagai salah satu orang terdekat, saya berharap mendapat dukungan dan pengertian tanpa perlu penjelasan. Katanya sahabat itu bisa saling mengerti hanya dengan berpandangan, tanpa kata-kata. Kenapa kami tidak? Dan lagi hati ini tambah sesak ketika perlahan dia menjauh dan berubah sikap. Asli, saya sangat kecewa. Dia tak bertanya, saya pun tak hendak bercerita. Idealisme yang saya pertahankan, idealisme kampret!

Sidoarjo, 25 Oktober 2011, pukul 23.23

25 Oktober 2011

Yeaayy… Menulis Lagi


Rasanya sudah lama sekali saya tidak menulis. Entah itu menulis puisi, catatan perjalanan, opini, serius, ataupun sekadar cuap-cuap tak penting. Saya seperti mati: mati gaya, mati kutu, mati ide, mati kegiatan, mati berpikir. Parah! Kalau manusia sudah tak bisa berpikir, ia tak pantas hidup. Sia-sia. Jadi selama ini saya hidup sia-sia? Sungguh menyedihkan!
Menulis, apapun bentuknya, bagi saya ia seperti vitamin yang menyegarkan dan menyehatkan, terutama untuk akal pikir. Orang yang menulis pasti mau tidak mau akan berpikir, entah berpikir sederhana atau berpikir tingkat tinggi. Dengan menulis saya telah bersedekah untuk otak saya agar ia tak tumpul. Karena itu sekarang saya mau menulis lagi.
Karena sudah beberapa bulan tak menulis, tentu saya kehilangan banyak hal. Jadi sekarang saya hanya akan merangkumnya menjadi satu. Terakhir kali saya memosting undangan pernikahan. Yap, saya seorang istri sekarang. Waktu itu pernikahan saya berjalan dengan lancar, mulai akad nikah, resepsi, sampai ngunduh mantu. Akad dan resepsi dilaksanakan di rumah saya. Sedangkan ngunduh mantu dilaksanakan di kediaman suami di Purworejo. Saya di sana selama seminggu. Selain untuk mengenal keluarganya lebih jauh, saya juga menyempatkan diri jalan-jalan ke Pantai Jatimalang untuk menikmati seafood dan jalan-jalan ke Dieng untuk melihat Dieng Culture Festival 2. Menyenangkan!
Bulan Juli—September saya disibukkan dengan PPL di SMAN 1 Sidoarjo. Saya berkesempatan mengajar dua kelas, yakni kelas X-1 dan X-5. Mereka menyenangkan dan menantang. Selain PPL tentu saja saya juga sibuk belajar masak untuk suami. Bertepatan dengan bulan Ramadan. Sungguh indah. Itu Ramadan kami yang pertama setelah menikah. Kami memupuk pernikahan ini dengan bersama-sama mendekatkan diri kepada Yang Esa. Hampir setiap hari kami berjalan berdua di subuh dan petang menuju rumah-Nya. Romantis!

Tak ada libur panjang di akhir semester ini. Selepas PPL, saya langsung kembali kuliah dan menekuni mata kuliah ini itu. Ada satu mata kuliah yang saya rasa kurang tepat waktunya, yakni PKL. Jurusan mengharuskan kami untuk ber-PKL selama dua bulan di media massa baik cetak maupun elektronik, sedangkan di waktu yang sama kami harus kuliah setiap hari. Mau bagaimana lagi? Ini adalah cara agar cepat lulus. Oya, untuk memenuhi matkul PKL saya dan tim langsung mencari sasaran media: Jawa Pos, Radar Surabaya, Detik Surabaya, dan Nyata. Namun akhirnya kami hanya diterima di Detik Surabaya dan Nyata. Kami pun memilih Detik Surabaya.
Jenuh saya. Sudah sekian lama tidak mengisi baterai jiwa. Saya butuh perjalanan. Sudah hampir dua tahun saya tidak mendaki gunung dan sudah beberapa bulan sejak ACI 2010 dan Wisata Museum di Jakarta saya tidak bepergian jauh. Jiwa saya kering. Saya mau jalan-jalan. Beruntung ada beberapa teman yang juga ingin bepergian. Sampailah kami di Pantai Papuma. Saya berlari-lari, bermain kamera, bermain air, dan berbasah-basah. Puas!
Sekarang apa lagi? Saya sedang mencari rumah kontrak di Surabaya. Mengapa harus di Surabaya? Karena tempat kerja suami di Surabaya, saya kuliah di Surabaya, dan saya juga PKL di Surabaya. Kami berharap bisa menghemat tenaga dan dana dengan tinggal di sana. Sejujurnya kami agak lelah setiap hari berkutat dengan macet di jalan Surabaya—Sidoarjo.
Wah wah, sudah terlalu panjang. Padahal saya masih ingin cerita. Mungkin lain kali ya. Cukup sekian dan terima kasih. Salam lestari! J

Sidoarjo, 25 Oktober 2011, pukul 21.50

29 April 2011

Pilih Mana, Kuliah atau Nikah?


Kemarin di kampus, saya bertemu teman lama. Dia kakak kelas saya jaman SMA dulu. Nah karena kedekatan saya dengannya maka saya bercerita tentang rencana pernikahan saya bulan Juni nanti. Dia dengan muka kaget berkali-kali berkata, “bener ta Rul?” atau “Ha? Seorang Nurul nikah? Siap ta?” dan sebagainya. Sampai-sampai ketika pulang pun ia masih SMS berkali-kali dan bilang, “I’m still surprise!” dan “I’m still shocked!” hahaha…
Baiklah, saya maklum kok orang lain berkata seperti itu. Lha wong kakak kandung saya saya saja pada awalnya tidak setuju. Alasannya, saya masih kuliah semester 6 dan dikhawatirkan pernikahan akan menghambat kelulusan dan karir saya. Untungnya bapak dan ibu memberi respon positif. Beliau berdua setuju saja asalkan saya bisa melanjutkan kuliah dan bisa tetap menjadi guru Bahasa Indonesia.
Saudara-saudara sekalian, saya menikah bukan tanpa alasan. Keputusan ini sudah saya pikirkan baik-baik. Awalnya saya memang  ragu, bisakah saya menjalaninya dengan baik sedang saya masih berkuliah? Namun berpikir saja tidak akan menyelesaikan masalah, saya harus mencobanya. Setelah proses berpikir dan menimba ilmu, saya yakin, menikah saat kuliah bukanlah awal dari penderitaan dan permasalahan. Justru itulah proses pendewasaan mental dan spiritual dalam menjalani kehidupan. Bukankah suatu kebanggaan jika saya bisa terus kuliah, bekerja, tapi juga bisa menjalani kehidupan berumah tangga dengan baik.
Saya teringat kisah Bunda Siti Khadijah istri Rasulullah SAW yang menghibur dan menenangkan keresahan Rasulullah SAW saat menerima wahyu pertama dari Allah SWT. Nabi yang tadinya menggigil, resah, cemas, tiba-tiba menjadi tenang, damai, dan hilang kecemasannya setelah mendengar kata-kata Siti Khadijah. Nampak sekali bahwa keluarga tidak hanya menjadi tempat menenangkan syahwat yang bergejolak, tapi lebih dari itu, pasangan juga tempat menenangkan jiwa yang dilanda keresahan.
Tahu tidak, saya ingin sekali menjadi istri yang solehah seperti bunda Khadijah. Itu saja. Dan jalan ke sana insya Allah sudah tampak di depan mata. Sabtu, 23 April kemarin Kangmas dan keluarganya jauh-jauh datang dari Purworejo untuk melamar saya. Dua bulan lagi insya Allah akad nikah akan segera dilangsungkan. Mohon doanya semoga dimudahkan segala urusan menuju ikatan suci itu. Amin.