31 Desember 2009

Ranu Kumbolo yang Memanggil

Minggu, 20 Desember 2009

Hangat sekali rumah Pak Buhari, tahu-tahu sudah pagi saja. Kami sarapan nasi goreng buatan tuan rumah dan mulai berkemas. Tidak lupa juga memasukkan 12 biji kentang rebus yang Om Don pesankan pada tuan rumah untuk kami. Wah.. berat juga nih keril (punya Mz Arief sih yang berat, saya mah ringan). Tak lama kamipun berpamitan pada tuan rumah. Melapor sebentar dan tuk.. tuk.. tuk.. kami berjalan selangkah demi selangkah menuju Ranu Kumbolo yang kami rindukan.

lelah

Sedikit terik di awal perjalanan, tapi tak terasa karena setapak menuju Pos I ternyata sangat rimbun. Udara kembali dingin dan sesekali kabutpun lewat. Entah kenapa fisik ini sedikit susah diajak kompromi. Telapak kaki saya sakit dan badan agak lemas. Di setapak paving blok itu saya sempat istirahat dan berbaring. Mz Arief bertanya apakah saya masih sehat. Seandainya saya memang sakit lebih baik tidak dilanjutkan. Saya jadi bimbang juga. Mungkin pengaruh terlalu banyak makan dan tidak pernah berolahraga. Pikir punya pikir akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Sayang kan sudah jauh-jauh ke sini tapi tidak ke Kumbolo. Sungguh pemikiran ceroboh dan egois. Itulah yang mendasari kematian salah seorang pendaki beberapa hari sebelum kami, yaitu memaksakan diri. Tidak begitu dengan pikiran saya, saya hanya merasa sedikit kelelahan di awal perjalanan, dan saya yakin akan membaik nantinya. Sepatu yang tadinya saya pakai diganti dengan sandal jepit punya Mz Arief, sedikit kegedean. Tapi tak apalah.

Perlahan-lahan kami berjalan dan istirahat dengan tempo sesuka-suka kami. Jika lelah kami istirahat, jika lapar kami makan, nongkrong, ngobrol, bahkan mencari buah arbei kesukaan saya. Memang kami sangat lambat di awal perjalanan ini. Dari pos lapor Ranupani pukul 9 dan baru tiba di Pos I kira-kira pukul 10.50. Hampir dua jam kan? Sangat lama. Hehehe... Tiba di Pos I kami berdua langsung makan kentang rebus ditambah biskuit buat tambahan tenaga. Lumayan lama juga kami istirahat di sini. Kira-kira 15-20 menitan, baru kami jalan lagi.

Dari Pos I kemampuan fisik saya sudah membaik. Kami sudah berjalan normal lagi bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Bertemu dengan beberapa pendaki lain yang turun dan saling melempar senyum. Sungguh kebiasaan menyenangkan ketika mendaki gunung. Menyamaratakan manusia dengan status saudara, tak melihat kaya atau miskin, suku, dan agama. Cepat rasanya kami tiba di Pos II. Tepat pukul 11.40. Lalu saya langsung apdet status di fb. Suasana lebih berkabut dari sebelumnya. Hawa dingin mulai menyerang. Istirahat 10 menit, lalu lanjut jalan lagi.

burung yang selalu mengikutiku

Dari pos II ke pos III lumayan jauh. Hikss... Sudah jauh, eh kami malah asik berfoto-foto di jalan. Tentu saja ini mengulur waktu. Apalagi saat itu kami sempat bertemu beberapa kera yang melompat-lompat di pohon. Lalu ada juga burung (entah burung apa) yang selalu berjalan di depan kami, seolah-olah ingin ikut dengan kami. Malah bergaya dia saat difoto. Burung yang aneh! Entah pukul berapa kami tiba di pos III. Mungkin sekitar setengah satu siang. Di sini kami makan siang ditemani gerimis yang mulai turun. Kami pikir ini bukanlah pendakian dengan target, jadi nyantai, nyaman, aman, dan senang adalah prioritas kami. Tak disangka-sangka kami bertemu tiga orang teman dari Jakarta yang saya ceritakan sebelumnya. Obrolan demi obrolan berlalu begitu saja membuat kami lebih lama di pos III. Mungkin sejaman kami di sana. Hari semakin sore dan kami harus melanjutkan perjalanan ke Ranu Kumbolo sebelum hujan datang. Langit mendung, kadang terdengar gemuruh, rintik-rintik hujan pun kadang menyapa.

motretin bunga

Mempercepat langkah agar segera sampai di Ranu Kumbolo nyatanya sia-sia saja. Ketika danau indah itu mengintip kami dari kejauhan, kami seolah-olah tersihir dengan keelokannya. Mz Arief tak lagi menyimpan kameranya di dalam tas. Jepret sana-jepret sini layaknya seorang fotografer handal. Ilmu dari Om Don diterapkannya (hehe). "Aku bosen motretin peri terus, mosok modelku siji thok," katanya pada saya. Saya cuma bisa nyengir. Ranu Kumbolo semakin jelas, tapi semakin lama pula kami tidak segera sampai. Apalagi setelah turunan dan kami menemui bunga-bunga yang merekah indah. Bak kemarau merindukan hujan, itulah gambaran sikap kami. Langit putih mendung, tapi keadaan sekitar masih cerah. Barulah kegiatan bernarsis ria ini kami akhiri ketika kabut pekat tiba-tiba datang dan tak mau pergi. Tiba di pondokan barulah turun hujan padahal belum sempat kami mendirikan tenda. Akhirnya kami tiba di Ranu Kumbolo..... Ranu Kumbolo yang berkabut.. Ranu Kumbolo yang dingin.. Ranu Kumbolo yang romantis..


bersambung ^_^

Berjumpa dengan Om Don Hasman di Napak Tilas Soe Hok Gie

Sabtu, 19 Desember 2009

Pagi di hari kedua saya memaksa Mz untuk menemani saya jalan-jalan ke Ranu Regulo, sekalian saya ingin melihat seberapa ramai peserta napak tilas Gie yang camp bersama di Ranu Regulo. Sambil gemetaran ia menemani saya, tak tega rasanya. Terima kasih ya Mz. ^_^

Selepas bersantap pagi di rumah Bu Nunuk kami sudah siap memulai perjalanan indah ini. Mulai meniti langkah dengan beban di punggung. Lalu nampak seorang bapak tua baru keluar dari rumah sederhana di depan Musholla. Kami saling melempar senyum dan bersalaman. Berkenalan.

”Nurul,” kata saya.
”Don,” jawab beliau.
”Don Hasman ya?” timpal mz Arief dengan nada cepat dan tekanan tertentu.
Akrablah kami bertiga dengan obrolan ringan. Beliau bertanya tentang tujuan kami dan kami jawab dengan jujur hanya akan camp di Kumbolo.
”Sudah, tunda saja besok. Ini acara puncak. Bang Herman lagi di perjalanan,” kata Om Don.


Wah-wah... saya dan Mz saling pandang antara bingung dan tidak percaya. Tapi akhirnya kami tetap disandra Om Don untuk mengikuti acara puncak napak tilas. Dengar-dengar ada Nicholas Saputra dan Mira Lesmana yang sedang jalan-jalan ke Ranu Kumbolo. Bang Herman serta beberapa teman kira-kira seangkatan Om Don di Mapala UI sedang di perjalanan. Saya dan Mz ikut saja kemana Om Don pergi. Pertama-tama beliau mengajak kami ke kemah Ranu Regulo, di sana kami dikenalkan dengan banyak orang yang mungkin sudah saya lupakan nama-namanya. Memang menyenangkan bertemu dengan orang besar, dari setiap gerak-geriknya dapat dijadikan pelajaran. Yang seru lagi saya, Om Don, dan Mz Arief sempat menjadi satu tim dan tanding voli. Ternyata kami menang lho.. Semua gara-gara tangan ajibnya Om Don. Di usianya yang ke-69 staminanya tidak kalah dengan yang muda. Percaya atau tidak jika berjalan sangat cepat dan tidak ngos-ngosan. Orangnya cepat tanggap, terbukti ketika motor salah seorang warga jatuh beliau langsung lari memberi pertolongan. Semua orang disapanya, ternyata beliau sangat supel dan peduli dengan orang lain.



Waktunya makan siang dan Om Don mengajak kami kembali ke rumah Pak Buhari tempat Om Don menginap. Beliau juga mengajak kami menginap di sana. Bersama Mz Fay juga kami berempat menikmati santapan nikmat yang disediakan pemilik rumah. Selepas makan siang di sela-sela gerimis yang membasahai tanah Ranupani kami berempat berjalan lagi hendak ke Ranu Regulo, tapi mampir dulu ke guest house mencari bang Herman. Ternyata bang Herman belum datang, tapi di sana ramai teman-teman Om Don dari mapala UI. Wah ternyata ada bang Maman (Abdurachman) dan beberapa teman lain yang dulu ikut mendaki Mahameru bersama Soe Hok Gie. Asik sekali melihat keceriaan perjumpaan sahabat lama itu. Setelah dikenalkan dengan mereka saya dan Mz hanya menjadi penyimak cerita-cerita mereka yang mungkin sarat makna. Kadang ikut tertawa, ikut berfoto juga. Tapi bukan kamera saya ataupun Mz Arief. Mungkin lain kali saya akan memintanya pada Om Don atau Mz Fay jika mereka sudah pulang dari perjalanan panjang ke Merapi Jatim.

Hari semakin sore, kami cabut ke Ranu Regulo lagi, tentu saja untuk ketiga kalinya di hari ini. Wkwkwkw..... Panitia sibuk dengan persiapan acara puncak. Peserta yang tinggal sebagian ikut membantu. Sempat menunggu-nunggu kapan acara ini dimulai, lalu datanglah sosok yang sudah tidak asing lagi, yaitu bang Herman Lantang. Semua menyambutnya dengan ceria, bersalaman dan berfoto. Om Don yang mungkin sudah lama tidak bertemu dengan bang Herman langsung merangkul dan menggandeng beliau kemanapun. Sebuah persahabatan indah nampak di depan mata saya. Sampai menjelang malam bapak-bapak dan ibu-ibu seangkatan Om Don itu masih melepas rindu. Lalu hujan datang lagi. Berteduh kami bersama-sama. Om Don sangat disiplin, menjelang malam beliau mengajak kami kembali ke Pak Buhari untuk makan malam sebelum acara panjang malam itu. Hihi... tau aja Om perut ini sudah lapar. Wuah... di tengah hujan langkah Om Don semakin cepat saja. Saya sih di belakang aja dengan Mz Fay. Tapi Mz Arief yang bisa mengimbangi langkah Om Don ternyata tidak bisa mengimbangi kestabilan nafas. Mz Arief ngos-ngosan. Hahahaha....


Bersantap malam sambil bercengkerama dan Om Don mengajari kami menghargai pemilik rumah. Kami iuran minimal Rp 15.000.-an maksimal terserah. Tadinya malam ini kami hendak bermalam bersama Om Don, tapi Om Don diajak teman-temannya menginap di Malang. Berkali-kali beliau meminta maaf pada kami karena beliaulah yang mengajak kami menginap bersama, tapi malah beliau yang pergi. Tak masalah bagi kami, Cuma kami masih ingin belajar dari orang hebat seperti beliau.

Lagi, malam itu kami ke Ranu Regulo mengikuti acara puncak. Rasanya mata ini sudah lelah, ingin dipejamkan dalam hangat sleeping bag. Dikuat-kuatinlah! Saat tiba ternyata acara sudah dimulai. Sedang acara talk show dan bedah buku. Saya menjadi penonton setia saja. Malas rasanya mau jeprat-jepret mengambil gambar. Pada acara ini juga diberikan penghargaan kepada pahlawan-pahlawan yang dulu ikut dalam penyelamatan Gie dkk. Dilanjutkan dengan acara musikalisasi puisi. Pukul 9 malam saya dan Mz Arief memutuskan untuk pulang ke Pak Buhari, tentu saja bersamaan dengan Om Don dkk yang hendak meninggalkan Ranupani. Acara belum selesai, Nicholas Saputra belum terlihat batang hidungnya. Hukss... Tak apalah, lebih penting bertemu dan hidup sehari dengan Om Don. Akhirnya sampai juga pada ujung perjumpaan. Sampai jumpa Om Don.. Sampai jumpa Mz Fay....


bersambung...

Dari Tumpang hingga ke Ranupani

Jumat, 18 Desember 2009

Adalah hari yang menyenangkan ketika saya tahu seseorang dari sebuah kota di barat pulau Jawa sana akan tiba di Surabaya pagi itu dan akan menemui saya di terminal Bungurasih. Ini adalah hari pertemuan yang kami sepakati sejak beberapa minggu sebelumnya. Mungkin bagi orang lain ini biasa, tapi bagi saya sangat istimewa. Setelah dua bulan kami tidak bersua, kini saatnya kembali mengukir kenangan manis di sebuah tempat indah bernama Ranu Kumbolo.

Setelah beradu pandang dan membagi seulas senyum salah tingkah kami langsung menuju ke Malang dan dilanjutkan ke Tumpang. Di sana sudah menunggu tiga orang teman dari Jakarta. Namun ketika kami tiba di Tumpang mereka baru saja melaju ke desa Ranupani dengan beberapa pendaki lain dari UI. Tinggallah kami berdua yang bingung memikirkan bagaimana caranya bisa sampai desa tersebut. Awalnya kami hendak naik hardtop dengan tarif Rp 450.000,- tapi menunggu hingga tiga jam sejak pukul satu siang seolah tak ada hasil. Tak satupun pendaki yang tiba. Dilema! Tidak mungkin kami berdua carter jeep dengan harga tersebut. Bisa-bisa uang ini habis sebelum turun gunung. Kami bukanlah tipe pendaki kaya yang bisa membayar mahal demi tercapainya tujuan kami. Kami ini sejenis orang kere. Maunya yang murah-murah, asal bisa jalan dan tiba di tempat tujuan.




Seorang bapak paruh baya yang mengaku sebagai salah satu petugas TNBTS tiba-tiba menyapa saya dan memberikan saya saran agar naik ojek saja atau mencari truk sayur di belakang pasar. Tanpa pikir panjang lagi kami langsung mencari ojek, daripada hari semakin beranjak malam dan beranjak naik pula tarif ojek. Sejuk rasanya mata ini memandang yang hijau-hijau. Pepohonan khas hutan tropis dengan lumutan yang memberikan nuansa alami, jalanan berlubang, tidak rata, menanjak, berkabut, seolah-olah semua beradu tuk merebut kekaguman dari hati kami. Tarif Rp 100.000,- per ojek harus kami bayar dengan senang hati sebagai ganti keindahan dan keramahan bapak tukang ojek. Sejam perjalanan akhirnya kami tiba di rumah Pak Ingot. Beliau sekeluarga menyambut kami dengan hangat. Lama kami saling bercerita, baik itu tentang saya, mz Arief, bahkan hingga nostalgia masa muda Pak Ingot dengan Bu Nunuk. Tak terasa hari sudah malam dan kami belum makan. Dengan meminjam motor Pak Ingot saya dan Mz Arief melaju ke Pos Lapor sekadar untuk mencari makan dan melihat bagaimana sih ramainya malam Ranupani dengan pendaki peserta napak tilas Soe Hok Gie. Hahaha... Lucunya tangan Mz Arief gemetaran karena kedinginan. Motor ini jadi tidak stabil jalannya. Di sekitar Pos Lapor banyak yang berjualan makanan. Sebagian adalah penjual musiman, tergantung ramai atau sepinya pendaki. Saya memilih bakso sebagai santapan malam, ditambah bumbu tawa antara saya, mz Arief, pak bakso, dan beberapa pendaki lain. Sedikit hangat untuk malam Ranupani yang dingin.


bersambung...

28 November 2009

Ricuh Berebut Daging Kurban - Agenda Tahunan Masyarakat

Di Indonesia ketika tiba hari raya haji atau hari raya Idul Adha hampir setiap daerah pasti melakukan penyembelihan hewan kurban sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Dan kini saat peradaban sudah semakin maju, agama Islam berkembang pesat, serta tingkat perekonomian sebagian masyarakat yang meningkat tentunya menjadi salah satu faktor meningkatnya kwantitas masyarakat yang menyembelih hewan kurban baik dilakukan di rumah-rumah maupun diserahkan ke masjid-masjid terdekat agar dapat dibagi-bagi secara merata kepada warga yang lebih membutuhkan.

Sungguh teladan yang baik dalam bersikap. Namun, ternyata perasaan miris muncul ketika kita melihat banyak masyarakat yang saling berebut daging dan saling berdesak-desakan yang kita ketahui dari televisi, internet, maupun media cetak. Ini benar-benar fakta yang sangat menyedihkan di balik agungnya suasana lebaran haji. Misalnya saja ricuh pembagian daging di di kantor Pengadilan Negeri (PN) Surabaya di Jalan Arjuno hari yang meskipun tidak sampai menelan korban jiwa, tetapi pasti tidak sedikit wanita, orang tua, dan anak-anak yang terinjak-injak ribuan massa yang saling berebut. Begitu juga ricuh pembagian daging kurban di Masjid Agung Kauman Semarang. Anak-anak menangis karena didorong ribuan warga yang ingin mendapatkan daging kurban. Dan tentu masih banyak lagi peristiwa-peristiwa ricuh pembagian hewan kurban di berbagai tempat.

Melihat dari berbagai peristiwa di atas nampaknya Idul Adha memang menjadi ajang “perbaikan gizi” nasional oleh masyarakat menengah ke bawah dan kemungkinan besar sudah sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang jarang atau bahkan tidak pernah makan daging kecuali dengan mengharap welas asih orang yang lebih mampu melalui momentum seperti ini. Seperti yang saya kutip dari Kompas.com salah seorang pengantre bernama Imronah (45) berkata, "Saya rela jauh-jauh datang ke Semarang demi anak saya di rumah agar dapat menikmati daging kurban, mau beli tapi tidak punya uang," katanya. Ini merupakan bukti bahwa mereka (para orang tua) rela antre berlama-lama bahkan saling berdesak-desakan demi anak-anak mereka. Hal lain tentu saja karena kondisi perekonomian mereka yang kurang. Tragis dan menyedihkan!

Sepertinya peristiwa seperti ini sudah menjadi agenda tahunan di Indonesia. Meskipun berkali-kali terjadi dan terulang kembali agaknya sikap antisipasi panitia terasa kurang. Tentu saja tidak sepenuhnya salah panitia kurban karena sebetulnya mereka hendak berbuat baik. Namun, mugkin karena sistem pembagian yang kurang tepat memberi celah warga masyarakat untuk berdesak-desakan. Selain itu masyarakat sendiri bersikap seperti itu karena rasa takut tidak akan mendapat jatah daging. Bagaimanapun caranya mereka harus dapat walaud engan berebut. Mungkin sebaiknya panitia memikirkan cara lain agar hal seperti in tidak terulang di tahun-tahun berikutnya, misalnya dengan pembagian kupon serta pembagian dengan didistribusikan ke daerah warga misalnya ke kecamatan masing-masing, biar warga ini tidak tumplek-blek di satu tempat. Lebih baik sedikit repot dan mengeluarkan biaya tambahan daripada harus ada korban jiwa dan seolah-olah tidak memanusiawikan manusia.
Terakhir bagi kita yang bisa merasakan nikmatnya daging kurban, bahkan mendapat berlebih sampai eneg karena terlalu banyak hendaknya bersyukur bahwa kita masih bisa makan daging baik di saat lebaran maupun hari-hari biasa. Jangan kita serakah dengan meminta daging kurban padahal kita mampu, atau jika kita mempunya rizki yang berlebih kita bisa menjadikannya sebagai ladang untuk berbuat kebajikan kepada yang lebih membutuhkan.

Selamat Idul Adha…… ^_^

11 November 2009

Peraturan Oh Peraturan (UU No.2 Tahun 2009)

Beberapa waktu lalu saya sempat terlupa membawa STNK ke kampus. Saat berangkat sih tenang-tenang saja karena saya tidak tahu. Toh perlengkapan saya semua lengkap, mulai dari motor yang utuh, helm, SIM, dan STNK. Saya baru tahu STNK tersebut terlupa ketika hendak pulang dan akan mengambil motor di parkiran. Wooaaahhh... biasa tarik ulur dulu dengan pak penjaga parkir. Gara-gara itu saat pulang jadi was-was. Bagaimanapun saya kan orang yang taat peraturan lalu lintas. hehehe... (narsis mode on). Di bawah ini ada beberapa sanksi pelanggaran lalu lintas menurut UU No.2 tahun 2009:

1. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 1 juta (Pasal 281).

2. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang memiliki SIM namun tak dapat menunjukkannya saat razia dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 288 ayat 2).

3. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang tak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 282).

4. Setiap pengendara sepeda motor yang tak dilengkapi kelayakan kendaraan seperti spion, lampu utama, lampu rem, klakson, pengukur kecepatan, dan knalpot dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 285 ayat 1).

5.Setiap pengendara mobil yang tak dilengkapi kelayakan kendaraan seperti spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu rem, kaca depan, bumper, penghapus kaca dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 285 ayat 2).

6.Setiap pengendara mobil yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 278).

7.Setiap pengendara yang melanggar rambu lalu lintas dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 287 ayat 1).

8.Setiap pengendara yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 287 ayat 5).

9. Setiap pengendara yang tak memiliki Surat Tanda Nomor Kendaraan atau STNK dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 288 ayat 1).

10. Setiap pengemudi atau penumpang yang duduk di samping pengemudi mobil tak mengenakan sabuk keselamatan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 289).



Wah lumayan berat juga ya dendanya. Kalo tidak uang ya kurungan penjara. Apakah setiap kesalahan yang tidak bisa ditebus dengan uang harus mendapat sanksi kurungan penjara?? Tidak adakah alternatif lain?? Dan nampaknya peraturan ini juga tidak dilaksanakan dengan maksimal.Seandainya diterapkan dengan sungguh-sungguh mugkin sudah banyak yang kena denda atu masuk penjara. Faktanya masih ada tuh prosesi suap menyuap antara orang yang ditilang dengan pihak berwajib yang menilang. Ah.. ternyata....! Menyebalkan semua..!!

Tapis aya juga tidak membayangkan seandainya peraturan itu benar-benar diterapkan dan suatu ketika saya lupa membawa SIM atau STNK dan saya harus membayar denda, oh itu sungguh berat. (Dasar Egois!!) hehehe... entahlah... tidak bisakah peraturan ini ditata lagi menjadi lebih bijak tetapi dilaksanakan atau diterapkan dengan sungguh-sungguh. Peraturan oh peraturan...!!

04 November 2009

Gunung Penanggungan (lagi)

Penanggungan, 31 Oktober s.d 1 November 2009

Candi-candi di Gunung Penanggungan


Beberapa candi di bawah ini adalah candi yang saya temui ketika turun dari puncak Gunung Penanggungan melalui jalur Jolotundo. Sebenarnya menurut penelitian terdapat banyak candi dan tersebar di beberapa tempat di Gunung Penanggungan. Namun, tujuan saya saat itu adalah segera turun dan pulang, jadi saya tidak mencari candi-candi yang lain.

Candi Shinta





Candi Gentong



Candi Pure

Candi Putri


Candi/Petirtaan Jolotundo

30 September 2009

Pesona Gunung Lamongan


Foto-foto bisa dilihat di sini.

Bukan sebuah pendakian besar ke gunung yang ketinggiannya sampai beribu-ribu meter. Bukan juga ke gunung yang memiliki jalur sangat ekstrim. Hanya sekedar berjalan bersama kawan. Menyaksikan bumi yang berselimut awan. Dan Gunung Lamongan mempersembahkan keindahannya sebagai bukti kebesaran Sang Pencipta.


















Sabtu, 26 September 2009

Mendadak kami merencanakan perjalanan ini, tepatnya malam hari sebelumnya ketika ada SMS dari seorang teman di Probolinggo yang bersedia mengantar saya mendaki Gunung Lamongan. Lalu saya pun segera menghubungi teman-teman yang sekiranya bisa bergabung dan dapat diajak sekadar melepas penat di hijaunya tanah gunung. Menjelang sore saya dan tiga teman lain berangkat dari terminal Bungurasih, lalu bergabung dengan seorang teman dari Malang, dan tiga orang dari Probolinggo. Kami semua berkumpul di Pasar Klakah, Lumajang. Ya, Gunung Lamongan terletak di Lumajang, Jawa Timur. Jangan kira karena namanya G. Lamongan maka letaknya juga di Lamongan. Sampai sekarang saya masih belum mengerti menGapa gunung ini dinamai Gunung Lamongan, kenapa tidak Gunung Lumajang saja sesuai dengan tempatnya.

Meskipun saya pernah mendaki gunung ini sebelumnya, tapi saya mendapati situasi yang benar-benar berbeda. Kalau setahun yang lalu saya mendakinya hanya bertiga dan itu gadis semua kini saya mendaki berdelapan dengan tiga gadis dan lima lelaki. Rasanya jelas lebih ramai dan lebih tenang jikalau ada apa-apa. Selain itu ternyata ada juga rombongan lain yang ingin mendaki gunung ini, sekitar 40 orang. Tidak seperti tahun lalu yang sepi dan dihantam badai angin dan kabut.


















Singkat cerita setelah satu jam berjalan akhirnya kami tiba di pos Watu Gede. Kami tidak langsung mendirikan tenda, tetapi memilih duduk di atas batu besar tersebut, menikmati udara dingin yang bercampur angin, serta gemintang yang bergantungan di langit. Bulan separuh di arah Barat Daya juga nampak indah walau terkadang malu-malu dan bersembunyi di balik awan. Memang, lagi-lagi ada yang berbeda. Kali ini jalur yang kali lalui untuk ke tempat tersebut adalah jalur baru yang dibuat oleh Tunas Hijau. Kalau tidak salah jalur yang lama ditutup dan digalakkan penghijauan di sekitarnya. Malam itu sebagian dari kami tidur di dalam tenda, sedang sebagian lain memilih tidur di luar.



Minggu, 27 September 2009

Pukul empat pagi kami mulai berjalan lagi dengan tujuan puncak. Hanya berenam, sedang yang du memilih tinggal di tenda. Kondisi saya saat itu sedang kurang fit, sempat mual di awal hingga tiba di medan sebelum hutan basah. Memang jalurnya lumayan berat, yaitu tanah longsoran berupa pasir dan batuan lepas. Baru kemudian masuk hutan dan akhirnya tiba di puncak.















Setelah 2,5 jam akhirnya kai tiba di puncak. Rupanya rekor waktu saya meningkat setengah jam. Pada pendakian pertama ke gunung ini saya menempuh 3 jam untuk dapat tiba di puncak. Sudah agak siang, sekitar pukul 06.30 pagi. Cuacanya cerah sekali. Benar-benar saya menyaksikan negeri di atas awan. Indah. Fantastik. Langitnya biru, bumi terlihat putih tertutup awan, gugusan gunung-gunung pun terlihat jelas. Kawah aktif gunung tersebut juga keren. tidak kalah dengan Gunung Gede di Jabar sana.
Saya hanya dapat berucap syukur kepada Tuhan yang sekali lagi mengijinkan saya menyaksikan kebesaran-Nya dari salah satu atap dunia. Terima kasih juga buat semua teman-teman seperjalanan. I LOVE YOU FULL.

Surabaya - Pasar Klakah (bus): Rp 18.000,-/ orang
pasar Klakah - base camp (mbah Citro- ojek : Rp 15.000,-/ orang

29 September 2009

Peninggalan Jambore Petualang Indonesia di Media


















Selasa, 4 Agustus 2009 | 21:53 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Jambore Petualang Indonesia(JPI) 2009 yang digelar pada 8-9 Agustus 2009 di wilayah Perkemahan Ranca Upas, Ciwedey, Bandung yang akan dihadiri 1000 peserta baik dari dalam maupun luar negeri bakal meriah karena dihadiri tokoh petualang Indonesia, Herry Macan dan Kang Bongkeng.

Acara JPI kali ini terbilang tidak biasa karena sekaligus upaya kampanye melawan Global Development Village bersama LSM lingkungan seperti Green peace, The Nature Conservation, SIOUX (lembaga studi ular indonesia), dan World Wildlife Fund(WWF). "Jambore Petualangan Indonesia merupakan satu bentuk cermin kepedulian anak bangsa terhadap kondisi bumi dan tanah airnya."kata Aji Rahmat, Ketua JPI 2009 di Departemen Kehutanan pada Selasa(4/8).

Tema acara "Jambore Petualang Indonesia" sengaja dipilih karena wujud antusiasme yang besar dari para peserta yang merupakan penggiat kegiatan alam universal yang tergabung dalam komunitas online jejak petualang. "Acara ini akan menjadi ajang reuni penggemar acara petualang di televisi, sebab akan akan mempertemukan para peserta dengan host dari program petualangan dan petualang senior secara langsung." papar Aji.

Mengetengahkan 13 acara di alam terbuka ditemani para nara sumber yang qualified di bidangnya diharapkan mampu menarik minat para peserta. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan Fun Orienteering yang mendapat pengawasan langsung dari Badan Koodinasi survei dan Pemetaan Nasional(Bakorsutanal), bagi peminat fotografi akan didampingi fotografer profesional Roy Genggam.

Pengenalan habitat ular diarahkan para instruktur dari SIOUX, penulisan bertema alam bebas akan diarahkan oleh tim dari komunitas Penulis Pengelana.Selain itu acara sepeda gunung(Mountain Bike)akan berjalan bersama komunitas Bike to Work. Jelajah Survival akan ditemani EAST (Eiger Adventure Service Team).

Pada acara jelajah interpretasi hutan akan diajak membedah hutan di sekitar Ranca Upas oleh praktisi hutan dari Kehutanan Institut Pertanian Bogor(IPB). Program family camp juga akan terasa menyenangkan dengan mengajak keluarga mengenal rusa, kebun strawberry dan beragam permainan lainnya

Bagi mereka yang ingin mengenal keaneka ragaman tanaman obat para pakar dari Kehutanan IPB akan siap membantu. Selain itu terdapat acara "dugem" Duduk Gembira bersama tokoh senior petualang Indonesia dan "meet and greet" bersama host program petualang TV nasional. Beragam lomba menuju Hari Kemerdekaan RI ke-64 tanggal 17 Agustus turut dikemas dalam bentuk fun games.

Acara pun diakhiri dengan mengajak para peserta menanam 1000 bibit pohon eucalyptus di lahan yang disediakan PERHUTANI bersama para duta One Man One Three.

JIE yakin acara akan sukses dan jumlah peserta akan terus bertambah." Saya optimis acara akan sukses karena itu kami akan terus membuka pendaftaran sampai hari H. Kami yakin jumlah tempat yang kami sediakan cukup menampung seluruh peserta." imbuh Aji.

16 Agustus 2009

Persaudaraan FOREVER!

Seperti kata seorang teman:

"Setiap orang melakukan sesuatu pasti ada alasan. Setiap orang itu unik. Setiap orang punya hidup, latar belakang, dan pengalaman yang berbeda-beda. Itu yang membentuk karakter dan sifatnya. Bukan hakmu untuk menilainya, tapi kewajibanmu untuk memahaminya."

Setiap orang punya alasan untuk tersenyum..
Setiap orang punya alasan untuk berbangga..
Setiap orang punya alasan untuk memerintah..
Setiap orang punya alasan untuk marah..

Kadangkala kita memang harus memahami orang lain atas cara berpikir dan bertindaknya yang lain dari cara kita berpikir dan bertindak. Sebuah masalah akan berbeda penyelesaiannya apabila dipandang dari sudut pandang yang berbeda pula. Sikap dan antisipasi setiap orang juga tergantung bagaimana pengalaman hidupnya. Bandingkan saja cara seorang ibu yang baru mempunyai bayi pertama dengan ibu yang telah memiliki bayi ketiga saat memandikan bayinya, saat meredakan bayi dari tangisnya, juga saat menggendongnya. Kebanyakan (tidak mutlak) ibu yang telah memiliki bayi ketiganyalah yang lebih sigap dan lebih tenang karena dia sudah tau apa yang akan dilakukannya berdasarkan ilmu yang didapat dari pengalamannya dulu. Ibu yang baru memiliki bayi pertama mungkin masih agak bingung, kaku, atau 'kagok' karena pengalamannya memang kurang. Apalagi kalau dia tidak pernah menjadi pengasuh bayi sebelumnya. Berarti mengurus bayi ini adalah permasalahan baru baginya. Kadang ia akan salah. Bukan maunya. Ia hanya belum tau. Ini proses pembelajaran baginya sebagai seorang ibu baru. Justru orang-orang di sekitarnyalah yang harus membimbingnya. Marah atau sebal karena dia berbuat salah itu wajar. Hanya saja cara-cara terbaik sebagai seorang manusia harus tetap dipilih. Ini proses pembelajaran!!!

Ya.. Kita manusia dengan perbedaan cara pikir. Kita manusia dengan perbedaan pengalaman. Adalah mulia bila kita saling bahu membahu dalam menyelesaikan sebuah masalah. Bukankah Tuhan itu memberi cobaan tidak lebih dari kemampuan hamba-Nya. Ada banyak cara untuk menang. Ada banyak mukjizat atas jawaban sebuah doa. Allah punya cara sendiri kok. ^_^ Trust me!!!
Hablumminannas..
Hablumminallah..
Hanya kepada sahabat kita saling berbagi. PERSAUDARAAN FOREVER!!

30 Juli 2009

Sri, Pengorbanan atau Kebodohan

Ini kisah nyata. Nama dan tempat disamarkan demi nama baik para pelaku.

Saya sudah lama mendengar cerita tentangnya. Tentang salah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi yang berazazkan Islam. Panggil saja Sri. Saya tahu banyak tentang dia dari seorang sahabat yang juga kuliah di sana, bahkan satu kamar asrama dengannya. Demi kepentingan cerita sebut saja nama sahabat saya Surti. Kemarin saat saya mengunjungi Surti di rumahnya ia banyak cerita tentang Sri. Memang sudah lama sekali cerita mengenai Sri tidak saya dengar. Terakhir saya masih ingat bahwa Sri sering sekali diam-diam keluar malam dengan pacarnya, sebut saja namanya Pras. Mereka pergi ke banyak tempat menghabiskan waktu-waktu bersama. Ke mall, ke taman, ke tempat wisata,dan ke banyak tempat lain di mana dua insan yang dimabuk cinta merasa nyaman. Dan Sri selalu menceritakan kebersamaannya dengan Pras kepada Surti dan enam orang teman sekamar di asrama tersebut. Memang mereka berdelapan sudah seperti saudara sejak setahun yang lalu.

Suatu hari Surti dkk kaget melihat Sri pulang dalam keadaan menangis. Wajahnya sampai terlihat pucat. Mata dan hidungnya berwarna merah. Sepertinya Sri benar-benar tertekan malam itu. Pasti karena suatu hal dan semua temannya sudah tahu itu pasti tentang Pras. Akhir-akhir ini mereka berdua sering bertengkar hebat. Masalahnya? Karena Pras tidak mau lepas dari Sri. Ia ingin memiliki Sri, sedangkan Sri sendiri sudah tidak mau dengannya. Yang teman-teman Sri tahu hanyalah karena Sri sudah punya pacar lain. Itu saja, tidak lebih.

"Sur, tolong Sri tolong!!" sebuah teriakan keras mengagetkan Surti. Setelah ditolehnya, ia baru tahu bahwa Sri yang tadi menangis kini sedang memegang pisau tajam yang siap mengiris kulit dan nadinya. Semua orang di kamar itu langsung mencegah Sri bunuh diri. Mereka berhasil. Sri selamat walaupun kulitnya sedikit terluka. Sri langsung pingsan di tempat. Surti yang dulunya aktif di PMR dengan sigap berusaha menyadarkan Sri, begitu juga teman-temannya yang lain juga berisaha membantunya.

"Emoh... jahat.. jahat...!" teriakan keras berulang-ulang keluar dari mulut Sri. Matanya tetap terpejam. Ia meronta sekuat tenaga. Kulit tubuhnya terasa sangat dingin. Teman-temannya sadar ia sedang kesurupan. Beruntung teman-teman Sri ini pandai soal agama. Dan Sri selalu kesurupan tiap malam lima hari berturut-turut. Bahkan hari terakhir ustad dari kampus tersebut yang menangani Sri karena teman-teman dan para pendamping mahasiswa baru sudah tak sanggup lagi menanganinya.

Teman-teman Sri sadar ada sesuatu permasalahan besar yang dialami Sri hingga ia nekat dan begitu tertekan. Setelah didesak barulah Sri mengaku. Itupun dengan tangis menanggung malu. Ternyata hubungannya dengan Pras sudah begitu parah. Kisah percintaan mereka yang melebihi batas memang sudah sering didengar teman-temannya. Namun ucapan Sri mengenai dirinya sudah sering berhubungan seksual dengan Pras tetap saja mengguncang teman-temannya. Mereka tidak menyangka bahwa Sri bisa rela menyerahkan kehormatannya untuk seseorang yang bukan suaminya. Dan yang membuat Sri lebih terpukul lagi adalah sikap Pras yang memberitahukan hubungan mereka kepada kedua orang tua Sri. Otomatis kedua orang tua yang malang itu marah besar.

Kini Sri sudah minggat dari rumah. Ia tidak mau dinikahkan dengan Pras. Ia benar-benar membenci Pras karena menurutnya alasan Sri mau memenuhi hasrat seksual Pras tidak lebih karena ingin menolong pras dari penyakit kangker otaknya, bukan karena cinta. Ya Pras mengaku sedang terapi untuk menyembuhkan kangker otaknya. Dia tidak boleh tertekan atau kebanyakan pikiran karena akan membuat sia-sia terapinya. Itulah alasan Sri. Dan sekarang Sri kecewa karena Pras telah sembuh tapi tidak pernah mengatakannya, juga karena sikap gegabahnya melaporkan perbuatan intim keduanya kepada orang tua Sri. Sri merasa hidupnya benar-benar hancur. Ia telah jauh dari pacarnya, keluarganya, juga Tuhannya.

Di manapun kamu Sri semoga kamu dapat kembali ke jalan yang benar. Allah Maha Pengampun atas segala dosa. Amin.

21 Juli 2009

Sahabat Komunitas

Wajar saja bila "gesekan" terjadi dalam suatu komunitas. Apalagi di sebuah komunitas besar yang telah memiliki "nama" dan telah dikenal masyarakat pemuda-pemudi dalam skala nasional, internasional mungkin. Tentu ada ratusan bahkan ribuan anggota yang tergabung dari berbagai suku, ras, kebudayaan, dan agama. Akan banyak otak yang saling diadu untuk menghidupkan komunitas, akan banyak hati saling terpaut di sela-sela pertemuan singkat dan cengkrama lewat dunia maya. Ya, komunitas ini tidak mungkin hidup melalui tatap muka langsung saja, tapi hidup dari internet, hubungan dunia maya. Wajar saja dengan banyaknya anggota yang tersebar di seluruh nusantara.

Dunia maya tidak sepenuhnya buruk. Dampak negatif atau positifnya tentu saja tergantung oleh masing-masing individu. Kalau berhati-hati dan bijak tidak menutup kemungkinan bisa menemukan pasangan hati juga beberapa teman dekat. Bahkan sahabat. Jika sembrono suka sruduk sana-sini bisa saja namanya tertulis di daftar blacklist komunitas. Tidak disukai, dijauhi, bahkan dilarang ikut berkegiatan.

Saya sudah bergabung selama hampir dua tahun di komunitas ini. Seperti yang saya katakan bahwa berhasil atau tidaknya hubungan sosial kita ya tergantung diri kita sendiri. Saya tidak tahu berhasil ataukah gugur di tengah jalan. Yang pasti dan selalu saya yakini bahwa saya berhasil menemukan teman-teman dekat. Beberapa di antaranya sangat dekat. Ya kami bahkan sangat bangga dengan persahabatan kami. Main bersama, internetan bersama, nongkrong bersama, dan berkegiatan bersama. Menyenangkan bukan?

Jalan memang tak selamanya mulus, langit tak selamanya biru, laut tak selamanya tenang. Begitu juga persahabatan kami. Mungkin ada yang salah dengan kami. Atau mungkin kami terlalu dekat. Rasa perih seolah memenuhi dada. Saya tidak tau bagaimana menceritakannya. Saya hanya bisa mengatakan bahwa sungguh sangat menyakitkan bertengkar dan 'berjauhan' dengan sahabat yang kita cintai. Mungkin sejak saat ini saya harus belajar untuk sedikit menjaga jarak dengan mereka. Kucing yang sudah jinak pun masih bisa menggigit. Begitu pula sahabat.

14 Juli 2009

Aku untuk Mandalawangi
















Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu

aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu, dan dalam dinginmu
....
(Soe Hok Gie)


Bait pertama puisi Soe Hok Gie yang berjudul Mandalawangi-Pangrango di atas agaknya tepat jika saya bacakan di Mandalawangi. Gie telah menginspirasi saya untuk menjejakkan kaki di sana. Bersama kawan.. Bersama malam....

Seperti senja itu, Sabtu, 27 Juni 2009 ketika saya dengan dua orang teman berlari-lari kecil di setapak dari puncak Pangrango menuju Mandalawangi. Seperti anak kecil yang berlarian dan disuruh berebutan ice cream. Di antara bunga-bunga abadi kami melangkah, disambut sepoi angin yang telah merindukan tawa kami, tawa anak manusia yang mencintainya sepenuh hati. Di hamparan luas itu beberapa tenda telah berdiri. Di dalamnya mungkin beberapa manusia sedang bercengkerama, tertawa, bahkan saling bercerita bagaimana hutan Pangrango yang gelap, melelahkan, namun seolah memberi kenyamanan bagi siapa yang melaluinya dengan rendah hati. Aku datang Mandalawangi, aku datang dengan cinta. Dan kau sambut aku dengan senyum paling indah. Walau hanya 15 menit aku di sana tuk menemuimu, tapi ku tahu aku tlah jatuh cinta. Setidaknya aku pernah menemuimu walau sebentar.















....

kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin
....
(Soe Hok Gie)

Mandalawangi adalah alasan utama saya mendaki Gunung Gede - Pangrango. Bukan Cibodas dengan hangatnya warung Mang Idi, bukan Cibereum dengan deras air terjunnya, bukan Kandang badak dengan kehangatan malamnya, bukan pula Surya Kencana dengan keindahannya yang sering dielu-elukan para pendaki. Aku untuk Mandalawangi. Sore itu saya begitu bersyukur. Terima kasih, Tuhan.















Matahari telah sempurna kembali ke peraduannya ketika kami bertiga perlahan beranjak meninggalkan Mandalawangi. Kembali ke Kandang Badak karena di sana dua orang teman menunggu kami untuk bergabung dengan mereka. Percayalah, pertemuan singkat ini begitu berarti.

Sepi telah menjeratku di antara akar-akar yang garang
Membayangiku dengan ketakutan dan keraguan
Hanya ada teman
Serta TUHAN
Yang menjadikan malam menjadi nyaman
Dan Ia telah memberikan senyuman
Lewat selirit bulan sabit yang dijadikan-Nya terang
(Gunung Pangrango 27 Juli '09)

09 Juli 2009

Iman dalam Cinta

Saya pernah jatuh cinta. Sejak kapan? Entahlah.. Mulai jaman kelas III SMP saya sudah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Entah itu cinta yang bagaimana saya tidak pernah tahu. Mungkin cinta monyet. Cintanya anak-anak ABG seperti saya waktu itu. Malu-malu tapi mau akhirnya saya menerima ungkapan cinta dari seseorang, sebut saja Ismail.

Meskipun kata teman-teman kami sudah jadian, menjadi sepasang ABG yang sama-sama disatukan dengan tali abstrak bernama pacaran, hubungan kami biasa-biasa saja seolah tidak ada yang spesial. Dia tak pernah memegang tangan saya seperti teman-teman kebanyakan. Sayapun tak pernah minta diantarnya pulang. Kami juga tidak mesra. Sesekali hanya saling melempar senyum. Kalaupun sedang duduk berdekatan paling-paling masih berjarak lebih dari 30 cm. Anehnya kami masih bertahan dengan hubungan itu. Alasannya? Saya juga tidak tahu.

Mungkin malu dengan orang tua dan tetangga, tak sekalipun juga ia saya izinkan main ke rumah. Jalan berdua juga tidak pernah tertulis dalam pengalaman pacaran kami. Pada akhirnya sayalah yang menyerah. Bukan karena saya tidak sayang ataupun saya telah menemukan pengganti yang lain. Tapi karena saya tidak bisa memberi sikap yang lebih terhadap dia. Mungkin hal ini pengaruh dari didikan keluarga yang selalu menanamkan kepada saya bahwa antara perempuan dan lelaki terdapat batasan yang tidak boleh dilanggar tanpa adanya status muhrim. Lalu berakhirlah hubungan kami. Sebatang coklat mete masih sempat ia hadiahkan untuk saya. Kartu ucapannya pun masih saya simpan hingga sekarang. Dia cinta pertama saya. Cinta monyet saya. ^_^

Dan lagi-lagi saya jatuh cinta. Juga lagi-lagi saya tidak mengetahui itu cinta yang seperti apa. Sebatang coklat mete pernah saya terima dari tangannya. Coklat yang saya anggap spesial, meski tanpa kartu ucapan. Tapi mengikuti hati tidak selamanya jauh dari kesalahan. Adanya pengakuan dan penerimaan adalah salah satu harapan saya. Saya yakin dia tahu, hanya ia tak mau. Alasannya? Entahlah. Mungkin juga alasannya sama seperti alasan saya waktu itu. Atau karena hal lain. Biar ia saja yang menjawab. Yang saya tahu adalah saya berharap terlalu banyak dan terlalu mengagumi baktinya pada Pencipta. Namun, saya telah memilih. Dan hidup saya untuk masa depan. Cinta saya kepada dia adalah cinta yang indah. Mengingatnya semakin membuat saya kagum akan keagungan sang Pencipta. Dan pilihan saya, semoga dia juga seperti itu. Pilihan yang mampu membawa cinta saya menggapai rangkulan-Nya. Tanpa membandingkan dengan siapaun, saya mohon yakinkan saya dengan "cinta".

12 Juni 2009

Pendaki dan Pencinta Alam

"pendaki gunung sahabat alam sejati
jaketmu penuh lambang, lambang kegagahan
memproklamirkan dirimu pencinta alam
namun maknanya belum kau miliki"
(Pencinta Alam-Rita Rubi H.)

Cuplikan lirik lagu di atas nampaknya sudah merupakan gambaran umum penggiat alam bebas atau pendaki di Indonesia. Pendaki, yang pada umumnya lahir dari komunitas atau organisasi pencinta alam kini jumlahnya semakin banyak, yaitu di sekolah-sekolah menengah, di universitas, di kampung, di instansi-instansi, perusahaan, bahkan komunitas dunia maya melalui internet. Tidak tanggung-tanggung sekarang hampir setiap akhir pekan gunung-gunung menjadi tujuan mereka. Mulai dari pendakian solo, duo, trio, bahkan pendakian massal dengan berpuluh-puluh atau beratus-ratus orang. Refreshing setelah seminggu sibuk dengan rutinitas pekerjaan merupakan salah satu alasan. Alasan lain bisa karena ingin berkencan dengan pacar (padahal ga perlu jauh-jauh ke gunung), rindu udara dingin, olahraga, cari pengalaman, berkumpul dengan teman, hingga sampai pada tujuan komersil, yaitu mencari keuntungan. Hampir semua gunung di Indonesia terjamah oleh manusia yang menyebut dirinya pencinta alam atau pendaki. Tak ada gunung yang sepi, hampir hilang mitos mengenai hutan yang angker. Semua karena manusia.

Seorang teman pernah mengirimi saya SMS yang isinya kira-kira mengatakan bahwa justru pendaki adalah perusak alam yang bersembunyi di balik nama pencinta alam. Singkat cerita, dia "gerah" dengan para pendaki. Ulah mereka di gunung tidak mencerminkan diri sebagai pencinta alam. Saya pikir-pikir ada benarnya juga perkataan teman saya. Saya yang juga mempunyai hobi mendaki dan ketertarikan kepada gunung dan keindahannya seringkali menemui sisa-sisa vandalisme liar. Bebatuan besar hitam bisa menjadi warna warni dengan tulisan-tulisan yang pada umumnya menyebut nama diri, nama komunitas, atau sekedar say love buat pacar. Banyak lagi aksi mereka yang merugikan, seperti membuang sampah plastik sembarangan dan mencemari air sumber atau sungai dengan sabun. Apakah mereka bangga dengan sikap seperti itu? Hanya para pelakunya yang tahu.

Samakah pendaki gunung dengan pencinta alam? Apa makna sesungguhnya di balik kata "pendaki" dan "pencinta alam"? Pendaki menurut saya lebih identik dengan mereka-mereka yang suka menapaki tanah-tanah gunung hingga puncak. Dari satu gunung ke gunung lain. Mencari pengalaman bahkan tantangan. Manfaatnya akan berbeda-beda tergantung bagaimana mereka memaknai sebuah pendakian. Mendaki gunung adalah salah satu aktivitas olagraga outdoor. Kawan-kawannya adalah susur gua, susur pantai, panjat tebing, rafting, diving, terjun payung, dan sebagainya. Sedangkan pencinta alam biasa diidentikkan dengan sebuah komunitas atau organisasi dengan kegiatan-kegiatan lingkungan hidup maupun aktivitas outdoor adventure. Padahal seharusnya semua orang harus menjadi pribadi pencinta alam. Kita semua sama-sama tinggal di bumi, di alam yang telah Tuhan sediakan untuk kita, manusia. Tergabung atau tidaknya kita di komunitas PA bukan menjadi tolak ukur pengabdian kita pada bumi. Pelajar, mahasiswa, guru, tukang becak, menteri, presiden, pendaki, dan sebagainya adalah orang-orang yang WAJIB mencintai alam. Pencinta alam belum tentu seorang pendaki, tapi seorang pendaki HARUS menjadi pencinta alam.

Pendaki-pendaki tercinta, mendakilah dengan santun! Para penikmat alam, nikmatilah alam dengan santun!

SAVE OUR FOREST - SAVE OUR EARTH

Nurul.Aneh

02 Juni 2009

Surabaya-Porong (Kencan tak Romantis)

Rata Penuh

“Hahaha… edan!” mz Kohan mengatakan hal itu di sebelahku saat kami sedang berjalan kaki di trotoar jalan raya Sidoarjo.
“Katene nang endi (mau ke mana)?” tanya ibuku sebelum aku berangkat.
“Nang Porong Buk, mlaku-mlaku ambek mz Kohan (ke Porong Bu, jalan-jalan ama mz Kohan),” jawabku saat itu.
“Laopo panas-panas mlaku-mlaku. Ati-ati! (ngapain panas-panas jalan-jalan. Hati-hati!)” jawab ibuku.

Seandainya kami sepasang kekasih, kami adalah pasangan kekasih yang paling tidak romantis di dunia. Mz Kohan sebagai pasangan lelaki yang paling tega terhadap pacarnya, dan aku adalah pasangan cewek gila yang mau-maunya diajak edan. Untungnya kami bukan pasangan kekasih. Ya… ini karena kami memutuskan untuk ke Porong naik mersikil alias jalan kaki. Sebenarnya ini adalah ide mz Kohan sejak lama dan baru terlaksana Sabtu, 30 Mei 2009 bersamaku. Kenapa aku ikut? Mungkin karena kecewa tidak jadi mendaki ke Lawu dan mungkin juga aku sudah tertular virus edan mz Kohan.

“Mission started. Aku berangkat.” itu isi SMS mz Kohan kepadaku sekitar pukul 05.40 a.m. Saat itu aku masih asik telpon-telponan dengan seseorang di Jakarta sana ^_^. Semalam saat nongkrong di kampus UNESA tiba-tiba pikiran untuk mewujudkan keinginan itu timbul Aku telah menyanggupi ikut dengannya, tapi aku start dari Sidoarjo saja karena rute Surabaya-Porong tentulah melewati jalanan dekat rumahku.

Pukul 09.40 a.m aku berangkat berjalan kaki menuju SMAN 1 Sidoarjo, sekolahku dulu, di mana mz Kohan sedang menungguku untuk menemaninya ke Porong. Akhirnya dia tiba juga di Sidoarjo. ^_^. Untuk apa kami melakukan misi ini? Tenang saja, kami punya jawabannya. Ini bukan perjalanan tanpa arti kok.
Alasan itu antara lain:
1. Memperingati 3 tahun keluarnya Lumpur lapindo (29 Mei),
2. Memperingati ulang tahun kota Surabaya (31 Mei), dan
3. Mengisi buku harian JPers Surabaya dengan cerita-cerita unik dan menyenangkan.
Nggak ada yang salah kan dengan alas an kami? ^_^

Walaupun Porong masuk ke dalam wilayah kabupaten Sidoarjo, tapi menuju ke sana juga sangat melelahkan. Berbeda dengan mendaki gunung di mana kita akan menyaksikan pemandangan indah khas pegunungan yang mendinginkan kalbu walau kaki sudah panas, berjalan di kota ruwet kita akan merasakan fenomena masyarakat sebenarnya. Mulai dari macet, polusi, trotoar untuk pejalan kaki yang berubah fungsi menjadi tempat orang berjualan berbagai macam barang atau jajanan.

Sekitar 15 km kami tempuh. Mz Kohan yang sudah berjalan dari pagi nampak lelah, aku masih fit karena baru memulai perjalanan. Ngobrol ngalor ngidul, duduk sana-sini, foto malu-maluin, dan beli jus buah adalah sekilas apa yang kami lakukan di jalan. Aku tak lupa memakai payung yang dibawa mz Kohan. Semakin lama semakin panas. Kadang kami masih menyempatkan posting di facebook. Barulah sekitar pukul 1 siang bendungan Lumpur lapindo mulai tampak. Akhirnya.. sebentar lagi sampai..!

Mz Doifani sebagai tim penjemput sudah menunggu daritadi. Berturut-turut mz Hero dan Tias juga datang. Kami ngeteh di warung pinggir jalan. Mendinginkan tenggorokan, menyelonjorkan kaki. “Naik motor cepet kok jalan,” ejek mz Hero dan mz Dhoi pada kami sambil tertawa riang. “Yee behno, lapo pean nyusul mrene hayoo (biar, ngapain kalian nyusulin ke sini)?!” balasku ga mau kalah. Toh tadi pagi Mz Dhoi juga sempet mau ikutan jalan kaki, hanya saja dia terlambat. Wkwkw…! Kami akan naik ke atas tanggul kalau Mz Wahyu sudah datang. Sekarang kami minum es buah dulu ^_^.

Menjelang ashar mz Wahyu datang, lalu kami naik ke tanggul dengan ditarik biaya masuk Rp 5.000,- per motor. Menyisir sisi barat tanggul Lapindo sudah cukup bagi kami karena jika ingin masuk lebih jauh ke sisi timur harus bayar Rp 5.000,- lagi. Ah tidak!! Cukup di tempat itu kami berhenti, duduk, ngobrol, mengibarkan banner JPers, foto, dan memandangi genangan air dan lumpur. Untung sudah sore jadi tidak terlalu panas, bahkan semilir angin sedikit menyegarkan kami.

Tidak berlama-lama kami kembali ke Sidoarjo dan mampir ke warung nasi belut dan nasi wader. Mz Dadang yang tadinya tidak ikut ke Porong akhirnya menyusul ke Sidoarjo. Ada saja tingkah Hero yang menggelitik sore itu. Dia tidak mau makan nasi belutnya karena tidak ada kecap. Akhirnya ia pergi dulu survival kecap entah ke mana, barulah dia mau makan. Dasar Hero aneh!

“Selamaaaatttt.. anda sukses jalan sampai Porong!” itu yang sempat aku dengar dari mulut mz Hero saat ia menyiramkan segelas teh hangat sisa minumku tadi ke badanku. Ah lagi-lagi dikau mengerjaiku. Tapi terima kasih ya udah mau menjemputku dan mz Kohan. Terima kasih JPers Surabaya. Satu lagi cerita-cerita unik tertulis di diary kita.

Pulang (NU Bag.III)

Sekitar pukul 5 p.m kami (kecuali mami Ayu) tiba di rumahku di Sidoarjo. Pelangi warna-warni nampak indah di sisi tenggara menyambut kedatangan kami dari Malang. Ibu mempersilahkan kami masuk dan menyuguhkan minuman hangat buat kami yang baru berbasah-basahan dengan hujan. Kami saling bercerita mengenai keunikan motor Hero selama perjalanan pulang tadi.

Setelah berpisah dengan teman-teman di Cangar kami (aku, Tias, Kohan, Hero, Udin, Dadang, Doifani, Gentong dan mami Ayu) harus segera kembali ke Surabaya dan Sidoarjo. Rute yang akan kami tempuh kira-kira seperti ini: Cangar-Pacet-Mojosari-Sidoarjo-Surabaya. Saat itu hujan yang awalnya rintik-rintik bertambah deras. Jalur Cangar-Pacet adalah jalanan aspal naik turun berbelok-belok dengan kanan kiri vegetasi hutan tropis yang masih hijau lebat. Hero yang terbiasa ngebut dengan motornya saat itu sedikit terhambat dengan adanya hujan. Ban motornya tidak cocok dengan jalanan basah. Aku yang diboncengnya jadi sedikit ketakutan. Terbayang jika tiba-tiba hero lengah, ban selip, dan kami terjatuh dalam jurang-jurang pinggir jalan itu. Naudzubillah….

Tuhan Maha baik kok. Kami semua masih diberi keselamatan. Walaupun aku, Hero, dan Tias basah kuyup karena hujan dan tidak membawa raincoat. Kami memutuskan untuk makan siang dulu di Pacet sembari menunggu hujan deras itu reda. Sekitar satu jam kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju arah Mojosari. Seperti biasa Hero dan aku di depan, mami Ayu di barisan ke dua, kemudian yang lain beriring-iringan menyusul di belakang. Suatu kali Hero berhenti di pom bensin, yang lainpun berhenti. Setelah istirahat dan sholat kami melanjutkan misi pulang ini. Ternyata dari situlah awal keunikan motor Hero terjadi. Mami Ayu melesat cepat di depan, motor Hero ngambek. Berhenti seketika. Tidak bisa distarter. Lalu dibetulkan sebentar – jalan – mogok lagi. Dan akhirnya sang pahlawan bengkel (Gentong dan Doifani) turun tangan tepat di depan sebuah masjid di daerah Mojosari. Entah diapakan, apa yang macet, atau bagaimana, sebagai seorang cewek yang nggak ngerti mesin, aku hanya bisa menunggu, begitu juga teman yang lain.

Lebih dari setengah jam akhirnya motor Hero bisa jalan lagi. Kami lanjut perjalanan. Namun, motor Hero masih ngambek, tidak mau jalan. Lagi-lagi kami berhenti dan mereka bertiga (Hero, Doifani, dan Gentong) membetulkan motor di depan sebuah bengkel. Sekitar setengah jam kami menunggu. Dan nampaknya Hero sedikit capek menangani motornya. Sedari tadi awal motornya mogok, tak sekalipun ia melepas helemnya. Kenapa rO?

Motor jalan…. Tapi setiap beberapa kilometer pasti motor ini berhenti alias ngambek alias mogok. Tinggal membuka penutup bensin sebentar lalu ditutup lagi distarter lagi motorpun jalan lagi. Hal ini terjadi berulang-ulang hingga tiba di rumahku. Berapa kali mogok ya? Mungkin lebih dari 10 kali. Kasihan.. Tapi jadi bahan tertawaan! ^_^

Ah.. JPers!! Ada-ada saja polah tingkah dan pengalaman unik. Pelangi itu suka dengan persahabatan kita, karena itu dia menampakkan diri, agar kita melihat warna-warninya, agar persahabatn kita penuh warna, insya Allah.

Tour de Cangar (NU bag. II)

Malam itu kami terlelap di rumah Mz Tovik di Batu, Malang. Udara yang dingin memberikan kenikmatan tersendiri dalam menikmati hangat sleeping bag kami masing-masing.

Keesokan paginya seperti biasa kamar mandi menjadi rebutan sekitar +/-20 orang dari JPers Jatim dan teman-teman dari Jakarta. Pagi itu kami tidak membeli makanan di warung, tetapi mami Ayu berinisiatif memasak buat kami semua. Beberapa orang ikut membantunya (saya tidak), alhasil jadilah pagi itu kami menyantap sarden, sambel terong pedas, oseng tempe, dll.

Sebelum pukul 10 a.m kami sudah bersiap berangkat ke Cangar, mau mandi air panas, berendam. Sebagian naik mobil dan sebagian yang lain iring-iringan naik motor. Menikmati bukit-bukit yang sebagian telah menjadi perkebunan, jalanan menikung dan naik turun, pemandangan indah menemani kami sampai di wisata air panas Cangar. Tiba di sana semua menjadi agak kikuk karena ramainya orang. Apa boleh buat, ini tempat umum, mau tidak mau ya kami harus berbaur. Rugi dong udah datang jauh-jauh, bayar lagi.. fiuuhh…!!

Kolam air panas jadi sasaran pertama JPers dan SIOUX. Hanya beberapa orang saja yang tetap di atas karena mengemban tugas mengabadikan tiap-tiap momen penting kegilaan kami. Cebur-ceburan ramai sekali di kolam sempit itu. Saling tarik-menarik dan dorong mendorong adalah kebiasaan manusia-manusia ini. Termasuk ketika saya masih bersantai duduk di pinggir kolam, Hero menarik saya hingga “Byuurr…!!”. Cekrik..cekrik..cekrik.. suara kamera mengambil gambar. Fuihh….!

Tak puas di satu kolam saja kami pindah ke kolam lain yang terlihat lebih luas dan bersih. Rupanya kolam biasa (enggak panas) dengan kedalaman 1,5 meter. Aksi tarik-menarik masih terjadi. Tias yang sedari tadi memutuskan tidak berenang akhirnya menjadi korban keganasan mereka. Mau tidak mau yah basah . Yang di atas melemparkan koin atau barang apapun sejenisnya, dan yang di dalam kolam berebutan mencari. Gendong-gendongan sesama teman di kolam begitu menyenangkan. ^_^

Sudah tengah hari saat Mz Aji menginstruksi kami agar segera bersia-siap pulang. Saatnya kami kembali ke peraduan masing-masing . Temen-temen SIOUX harus kembali ke Jakarta, JPers Jatim harus kembali ke rumahnya masing-masing. Hiikkss…. Tak terasa waktu yang singkat ini memberikan kesan sangat hangat di hati yang akan selalu tersimpan sebagai memori-memori unik bersama kawan cyber. Luv you all…!!